Tulisan Bebas
MEWASPADAI KISAH-KISAH BOHONG SEPUTAR PARA NABI AS
Kajian Aswaja Kwagean
Oleh: Ustadz Asy’ari Masduki
Dalam masyarakat muslim telah menyebar kisah-kisah para Nabi yang dinilai masih kontroversial. Hal itu berawal dari perbedaan cara pandang umat Islam terhadap kedudukan cerita israiliyat dalam tafsir al-Qur’an. Namun mereka bersepakat bahwa cerita Israiliyat yang bertentangan dengan syara’ harus ditolak.
a) Nabi Ibrâhim
Kisah yang menceritakan petualangan Nabi Ibrahim mencari Tuhan demikian populer di telinga umat Islam. Kisah tersebut dikutip dalam buku-buku kisah Nabi dan buku-buku kurikulum di sekolah-sekolah. Sangat sedikit di antara umat Islam yang mengetahui bahwa sumber cerita tersebut berasal dari tafsir fi Zilâl al-Qur’an karya Sayyid Qutb (w.1966 M). Ketika menafsirkan Q.S al-An’âm: 76-79,[1]iamengatakan bahwa Nabi Ibrâhim pernah ragu terhadap Tuhan-nya. Ia menceritakan bahwa ketika Nabi Ibrâhim masih muda, ia memandang ke langit dan melihat sebuah bintang, lalu ia mengira bahwa itulah Tuhannya. Tetapi tatkala bintang itu lenyap, ia berkata: “saya tidak suka kepada yang tenggelam”. Kemudian ia memandang ke langit lagi dan melihat bulan yang lebih terang cahayanya, lalu ia mengira bahwa itulah Tuhannya, tetapi ketika bulan itu terbenam ia pun meninggalkannya dan melanjutkan pengembaraan spiritualnya. Selanjutnya ia melihat matahari dan ia terkesima akan bentuknya yang besar dan tak ragu lagi bahwa pastilah itu Tuhannya, namun sekali lagi matahari itu tenggelam sehingga untuk kesekian kali dugaannya tentang Tuhannya salah.[2]
Penafsiran Sayyid Qutb (w.1966 M) ini kontradiktif dengan al-Qur’an, akal dan ijma’ umat Islam. Penafsiran ayat tersebut harus diserasikan dengan ayat berikutnya Q.S al-An’âm: 79,[3] yang menjelaskan ketegasan Nabi Ibrahim bahwa ia bukan seorang yang musyrik (menyekutukan Tuhan-Nya). Ayat tersebut juga diperkuat dengan Q.S al-Anbiya: 51,[4] yang menjelaskan bahwa sebelum terjadi peristiwa perdebatan antara Nabi Ibrahim dan kabilah Haran yang menyembah bintang, Nabi Ibrahim telah mendapat petunjuk (mengetahui bahwa ketuhanan hanya berlaku bagi Allah dan tidak ada yang berhak disembah selain Allah).[5]
Dalam Q.S al-An’âm: 83,[6] juga dijelaskan bahwa hujjah yang telah disampaikan oleh Nabi Ibrahim kepada kaumnya yang tidak beriman adalah hujah Allah yang telah diberikan kepada sang Nabi-Nya untuk mengahadapi kaumnya. Dengan demikian, pernyataan Nabi Ibrahim dalam surat al-An’am: 76 di atas, harus dipahami bahwa Nabi Ibrahim ketika itu, sedang berdebat dengan kaumnya, untuk menjelaskan kepada mereka bahwa bintang, bulan dan matahari yang mereka sembah tidak layak untuk dijadikan Tuhan. Sebab ketiganya senantiasa berubah-rubah, padahal secara akal sesuatu yang berubah pasti membutuhkan pada sesuatu yang lain yang merubahnya, dan sesuatu yang butuh berarti lemah, dan sesuatu yang lemah bukan Tuhan.
Dalam Q.S Ali Imrân: 67, ditegaskan bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah menjadi seorang Yahudi atau seorang Nasrani, akan tetapi ia adalah seorang muslim yang lurus (jauh dari kesyirikan dan kesesatan), dan dijelaskan juga dalam ayat tersebut bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah menjadi seorang musyrik. Dari sini menjadi jelas bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang muslim yang tidak pernah mensekutukan Allah dengan sesuatupun dari makhluknya sejak ia belum di angkat sebagai utusan Allah.[7]
Penafsiran Sayyid Qutb (w.1966 M) kontradiktif dengan akidah Islam yang yang telah disepakati oleh ulama Islam (ijmâ’) bahwa seluruh para Nabi terjaga (ma’sûm) dari kekufuran.[8] Penafsiran tersebut menurutnya juga bertentangan dengan akal sehat, sebab apabila seandainya seorang Nabi itu pernah melakukan kekufuran, tentu umatnya tidak akan mempercayainya. Karena mereka akan berfikir, bisa jadi suatu ketika ia akan menarik dakwahnya pada Islam dan kembali kepada kekufurannya.[9]
PerkataanNabi Ibrâhim ketika melihat bintang:“hadza rabbî”, mengandung arti istifhâm inkâri (pertanyaan yang berarti pengingkaran). Sehingga seakan-akan Nabi Ibrâhim ingin mengatakan: “Inikah Tuhanku seperti yang kalian katakan?!”. Kemudian ketika tenggelam, Ibrâhim mengatakan: “lâ uhibbu al-âfilîn”, aku tidak menyukai yang tenggelam, maksudnya bahwa bintang ini tidak layak untuk menjadi Tuhan, bagaimana kalian bisa meyakini bintang sebagai tuhan?!.[10]
Dan tatkala kaum Nabi Ibrâhim tidak menangkap maksud perkataan Nabi Ibrahim, dan bahkan mereka tetap pada keyakinan semula, maka Nabi Ibrahim mengulangi perkataannya tersebut, ketika melihat bulan. Dan ternyata mereka tetap bersikukuh dengan keyakinan mereka. Sehingga Nabi Ibrahim menegaskan kepada mereka bahwa dirinya terbebas dari penyembahan terhadap bulan, karena bulan bukanlah Tuhan. Kemudian ketika matahari terbit, beliaupun mengatakan hal serupa, tetapi mereka tidak juga insyaf, akhirnya tidak ada lagi harapan bagi Nabi Ibrahim bahwa kaumnya akan beriman, sehingga beliau tegaskan bahwa beliau terbebas dari penyembahan terhadap matahari.[11]
b) Nabi Yûsuf
Disebutkan dalam tafsir al-Jalâlain ketika menafsirkan surat Yûsuf: 24,[12]bahwa Nabi Yûsuf berkeinginan dan telah bermaksud untuk melakukan zina.[13] Penafsiran senada disampaikan oleh Sayyid Qutb (w.1966 M), ia mengatakan bahwa Nabi Yusûf hampir lemah dan menyerah pada godaan isteri ‘Azîz (penguasa Mesir).[14] Bahkan dalam beberapa buku kisah Nabi, diceritakan bahwa Nabi Yusuf sudah sempat membuka pakaian dan telah siap untuk melakukan perzinan.
Penafsiran di atas tidak tepat, karena kontradiktif dengan kesucian para Nabi dari perbuatan radzâlah (perbuatan yang rendah). Mustahil bagi para Nabi memiliki keinginan melakukan zina sebagimana juga mustahil melakukannya. Penafsiran yang benar menurutnya adalah bahwa Zulaikha (istri ‘Azîz) ingin mendorong Nabi Yusuf agar dia dapat berzina dengannya setelah Yusuf jatuh ke tanah. Sedangkan Nabi Yusuf bermaksud mendorang Zulaikha agar menjauh darinya dan bisa keluar dari pintu, tetapi tidak ia lakukan karena Allah memberikan ilham kepadanya bahwa apabila Nabi Yusuf mendorong Zulaikha, maka hal tersebut akan dijadikan bukti bagi keluarga Zulaikha bahwa Nabi Yusuf mendorong Zulaikha agar bisa berzina dengannya. Nabi Yusuf kemudian tidak mendorong Zulaikha, tetapi ia membalikkan badannya untuk lari ke arah pintu. Tetapi kemudian Zulaikha mengejarnya dan merobek pakaiannya dari belakang, sehingga ini menjadi bukti kebenaran Nabi Yusuf. Apabila Nabi Yusuf memukul atau mendorong Zulaikha meski hanya sekali, tentu ini akan menjadi alasan bagi Zulaikha bahwa Nabi Yusuf yang memaksanya berbuat zina.[15] Ketika suami Zulaikha datang, dengan cepat, Zulaikha mengadu kepada suaminya, bahwa Nabi Yusuf telah berusaha memperkosanya, tetapi ia menolaknya dan melarikan diri darinya. Nabi Yusuf kemudian membela diri, dengan mengatakan bahwa Zulaikhalah yang memaksanya untuk melakukan zina (Q.S Yûsuf: 26).[16]
Selanjutnya pada ayat ke 29,[17] dijelaskan bahwa ketika Nabi Yusuf menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah, Allah menjadikan seorang bayi yang masih dalam ayunan dapat berbicara dan memberi persaksian. Bayi tersebut menjelaskan bahwa apabila baju Nabi Yusuf robek bagian depannya maka Zulaikha yang benar, dan apabila yang robek adalah bagian belakangnya, maka berarti Zulaikha berbohong dan Nabi Yusuf yang benar. Dan ketika diketahui bahwa bagian baju Nabi Yusuf yang robek berada di belakang, maka al-Aziz mengetahui bahwa istrinya yang salah dan Nabi Yusuf benar. Tetapi ia meminta kepada Yusuf agar masalah tersebut dirahasiakan, dan meminta kepada istrinya untuk bertaubat.
Selain itu, penafsiran tersebut juga bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang lainnya. Dalam ayat sebelumnya (Q.S Yûsuf: 23),[18] disebutkan bahwa dengan tanpa ada malu Zulaikha mengajak Yusuf untuk melakukan zina. Akan tetapi Nabi Yusuf adalah seorang Nabi yang ‘afîf (jauh dari kemaksiatan) dan terjaga dari melakukan perbuatan yang rendah. Sehingga dengan tegas Yusuf menolak ajakan tersebut dan meminta perlindungan dari Allah dari perbuatan yang rendah seperti itu, ini adalah makna perkataan Nabi Yûsuf dalam ayat tersebut “ma’adzallah”. Nabi Yûsuf kemudian berkata kepada Zulaikha bahwa suami Zulaikha adalah tuannya, dia yang telah berbuat baik dan menjadikannya mulia, maka ia tidak akan berkhianat kepadanya.[19]
Dengan demikain, penafsiran Q.S Yûsuf: 24 bahwa Nabi Yusuf juga menginginkan berbuat zina bertentangan dengan al-Qur’an.[20]Nas al-Qur’an yang kontradiktif dengan penafsiran tersebut adalah lanjutan dari ayat tersebut yang menerangkan bahwa Nabi Yusuf tidak melakukan perbuatan sû(buruk) dan fahisyah (keji) dan bahwa Nabi Yusuf adalah salah seorang hamba Allah yang ikhlas. Pada ayat ke-51[21] dari surat yang sama juga dijelaskan bahwa di belakang hari, Zulaikha mengakui bahwa dirinyalah yang memaksa Yusuf untuk melakukan zina, dan bahwa Nabi Yusuf sama sekali tidak bersalah dan bahwa ia adalah seorang yang jujur.
Penafsiran tersebut juga kontradiktif dengan ijma’ para ulama yang mengatakan bahwasanya wajib bagi para Nabi al-siyanah. Sehingga mustahil bagi mereka melakukan perbuatan radzalah dan safahah. Memiliki kemauan kuat untuk berzina adalah perbuatan radzalah yang mustahil dilakukan oleh seorang Nabi Allah seperti Nabi Yusuf.[22]
Penafsiran yang paling bagus adalah bahwa kalimat wa hamma biha terikat dengan kalimat sesudahnya “laula an ra`a burhana rabbihi”. Sehingga penafsirannya menjadi bahwa Nabi Yusuf sama sekali tidak memiliki keinginan untuk berzina karena dia telah melihat al-Burhan (penjagaan Allah).[23]
c) Nabi Dâwud
Berdasarkan Q.S Sad: 23,[24] diceritakan bahwa dua orang malaikat dalam bentuk manusia datang kepada Nabi Dawud, untuk memberi peringatan kepadanya perihal perempuan (na’jah) yang telah dinikahinya. Kata “na’jah” dalam ayat tersebut ditafsirkan dengan seorang perempuan.[25] Diceritakan bahwa suatu ketika Nabi Dawud sedang di mihrabnya dan secara tiba-tiba ada seekor merpati yang terbuat dari emas. Nabi Dawud ingin mengambilnya, tetapi merpati itu terbang. Kemudian ia mengejar dan berusaha untuk menangkapnya, sampai kemudian ia melihat seorang perempuan yang sedang mandi, dan membuatnya jatuh cinta kepadanya. Diceritakan bahwa perempuan tersebut adalah istri Uriya, salah satu panglimanya. Agar dapat menikahi perempuan tersebut, Nabi Dawud memerintahkan kepada Uria untuk pergi berperang dan bahkan diserahi bendera perang. Sebelumnya Nabi Dawud sudah menginstruksikan kepada para tentara agar ketika sang panglima maju ke arah musuh, mereka mundur, sehingga ia terbunuh oleh musuh. Sekenario ini terjadi, Uria terbunuh dan Nabi Dawud berhasil menikahi Uria.[26]
Cerita di atas adalah cerita isrâiliyat yang bohong, karena selain dari segi periwayatan tidak sahih, demikian juga dari segi makna tidak benar, sebab para Nabi itu terjaga dari melakukan dosa besar dan kecil yang menunjukkan kehinaan pelakunya.[27] Al-Qur’an suratSad: 23 di atas, menurutnya harus difahami secara zahir, bahwa dua orang yang berseteru dalam ayat tersebut adalah dua orang manusia yang sedang bersekutu dalam seekor kambing. Salah seorang dari keduannya menzalimi yang lainnya, sehingga keduanya datang ke mihrâb (tempat yang paling mulia dirumah Nabi Dawud), sedangkan Nabi Dawud ketika itu sedang beribadah kepada Allah ta’ala.[28] Nabi Dawud tidak mengetahui kedatangan kedua orang tersebut, kecuali setelah keduanya secara tiba-tiba berada di muka Nabi Dâwud. Nabi Dâwud bertanya: “siapa yang memasukkan kalian kesini?”, kemudian mereka menenangkannya dan berkata: “jangankah kamu takut”. Lalu keduanya meminta kepada Nabi Dâwud untuk menghukumi perkara yang sedang mereka hadapi.[29]
Penafsiran terhadap ayat di atas bahwa dua orang yang bersekutu tersebut adalah dua Malaikat sengaja memberikan sindiran kepada Nabi Dâwud yaitu dengan menyebut seorang perempuan dengan na’jah (kambing), untuk mengingatkan Nabi Dawud peristiwa yang dilakukan Nabi Dawud pada istri Uria, adalah tidak benar. Kata “na’jah” dalam ayat di atas, menurut al-Habasyi tidak benar apabila di artikan dengan seorang perempuan, karena tidak ada dalil yang menunjukkan akan hal itu. Sehingga harus dipahami dengan secara zahir, yaitu bahwa kedua orang yang berselisih memang benar-benar sedang berselisih tentang hasil kambing persekutuan mereka.[30] Taqy al-Dîn al-Subki (w.756 H) seperti dikutip oleh al-Habasyi mengatakan bahwa kata “al-na’jah” dalam ayat di atas adalah benar-benar kambing, sedangkan dua orang yang bertikai juga benar-benar manusia.[31] Al-Ghumari (w.1413 H) menyatakan bahwa cerita di atas adalah cerita Israiliyat yang tidak layak bagi kedudukan seorang Nabi dan bertentangan dengan sifat wajib bagi para Nabi beripa al-ismah (terjaga).[32]
Sedangkan istighfâr yang dilakukan oleh Nabi Dâwud bukan karena ia telah melakukan dosa besar sebagimana diceritakan dalam cerita isrâiliyat di atas. Tetapi karena ia telah melakukan dosa kecil yang tidak ada unsur kerendahan jiwa pelakunya, berupa terburu-buru memutuskan hukum terhadap satu dari dua orang yang bertikai sebelum menanyakan kepadanya pengaduannya. Padahal wajib bagi Nabi Dawud ketika mendengar pengaduan dari satu dari dua orang yang bertikai, untuk menanyakan pengaduan dari satu orang lainnya.[33]
d) Nabi Muhammad
Disebutkan dalam tafsir al-Jalalain ketika menafsirkan Q.S al-Hajj: 52,[34] bahwa ketika Rasulullah membaca surat al-Najm di hadapan orang-orang kafir Quraisy, dan sampai pada ayat 19 dan 20,[35] syetan berbicara dengan lisan Nabi, tanpa beliau ketahui. Syetan tersebut mengatakan: “berhala-berhala yang mulia dan syafâ’at mereka benar-benar diharapkan”.[36] Mendengar hal tersebut, orang-orang musyrik gembira, mereka mengatakan bahwa Nabi tidak pernah menyebutkan kebaikan untuk Tuhan mereka sebelum pada hari itu. Kemudian Jibril datang dan memberitahu Nabi bahwa yang dibacanya bukan al-Qur’an. Mendengar hal tersebut, Rasulullah bersedih dan turunlah Q.S al-Hajj: 52, untuk menghibur Nabi.[37]
Riwayat di atas adalah tidak benar, sebab terjadinya pembacaan sesuatu yang bukan al-Qur’an dan disangka al-Qur’an adalah mustahil bagi seorang Rasul. Penafsiran yang benar, adalah bahwa setiap Nabi membaca kitab suci dihadapan kaumnya. Kemudian syetan menyampaikan ucapannya kepada manusia, untuk menimbulkan fitnah di kalangan mereka. Namun kemudian Allah menghapus ucapan syetan tersebut dan menetapkan yang dibaca Nabi.[38]
Komentar senada disampaikan oleh al-Ghumari (w.1413 H),menurutnya penafsiran di atas tidak benar dengan beberapa alasan, pertama penguasaan syetan terhadap Nabi tanpa beliau sadari bertentangan dengan akal yang memastikan keharusan terjaganya seorang Nabi dari penguasaan syetan. Karena kalau tidak demikian, bagaimana Nabi bisa membedakan antara wahyu yang disampaikan Malaikat dan yang disampaikan oleh syetan. Kedua, Nabi tidak mungkin tidak mengetahui adanya pertentangan perkataan yang diucapkannya, antara mencela dan membenci berhala-berhala orang kafir.[39]
Dengan lebih tegas Fakhr al-Dîn al-Râzi (w.606 H), sebagaimana dikutip oleh al-Habasyi mengatakan bahwa orang yang mengatakan bahwa syetan berbicara melalui lidah Nabi berupa pujian kepada 3 berhala, Lâta, Uza dan Manât, maka ia telah kafir. [40]
Indeks :
[1]Dikatakan: “Ketika malam telah gelap, ia melihat sebuah bintang (lalu) ia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam ia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.Kemudian tatkala ia melihat bulan terbit ia berkata: “Inilah Tuhanku”. tetapi setelah bulan itu terbenam, ia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang yang sesat.Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, ia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, ia berkata: “Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan “.
[2]Sayyid Qutb, al-Taswîr al-Fanni fi al-Qur’ân, (Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t), h.113
[3]Maknanya:”….dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan”.
[4]Maknanya: “Dan Sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelumnya”.
[5]Maknanya: Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum ( sebelum diturunkan Taurat kepada Nabi Musa dan Nabi Harun )
[6]Maknanya: “Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya”.
[7]Al-Habasyi, Mukhtasar Bughyah al-Talib, h.23
[8]Al-Tahawi, al-‘Aqidah al-Tahawiyah, h.4
[9]Al-Habasyi, Mukhtasar Bughyah al-Talib, h.23
[10]Al-Habasyi, Mukhtasar Bughyah al-Talib, 24
[11]Al-Habasyi, Risâlah al-Tahdzîr min al-firaq al-Tsalâts, (Bairut: Dar al-Masyari’, 2005 M) h. 5
[12]Dikatakan: “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bemaksud yang sama dengan wanita itu”
[13]Jalal al-Dîn al-Mahalli dan Jalal al-Dîn al-Suyuti, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azîm, (Bairut: Dar al-Fikr, t.t), h.119
[14]Sayyid Qutb, al-Taswîr al-Fanni fi al-Qur’ân, (Kairo: Dar al-Syuruq, t.t) h. 116
[15]Al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar’I al-Wâjib, h.101, lihat juga: al-Habasyi, al-Syarh al-Qawim, h.338, lihat juga: Qism al-Abhats wa al-Dirasat al-Islamiyah pada Jamiyah al-Masyari’, Qasas al-Anbiya` (Bairut: Dâr al-Masyari’, cet.4, 2000 M/ 1421 H) h. 134-137,
[16]Maknanya: “Yusuf berkata: “Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)”, dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: “Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta”.
[17]Maknanya: “Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar.”Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang dia berkata: “Sesungguhnya (kejadian) itu adalah diantara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar.”
[18]Maknanya: “Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan Dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “marilah ke sini.” Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.”
[19]Qism al-Abhats wa al-Dirasat al-Islamiyah pada Jamiyah al-Masyari’, Qasas al-Anbiya` (Bairut: Dâr al-Masyari’, cet.4, 2000 M/ 1421 H) h. 134-137
[20]Al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar’I al-Wâjib, h.101
[21]Maknanya: “… berkata isteri al-Aziz: “sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.”
[22]Qism al-Abhâts wa al-Dirâsât al-Islâmiyyah Jam’iyah al-Masyâri’ al-Islâmiyyah,Qasas al-Anbiyâ’, h.137-138
[23]Al-Habasyi, al-Syarh al-Qawim, h.338
[24]Maknanya: “Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina (na`jah) dan aku mempunyai seekor saja. Maka Dia berkata: “Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan Dia mengalahkan aku dalam perdebatan”.
[25]Jalâl al-Dîn al-Mahalli dan Jalâl al-Dîn al-Suyûti, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azîm, , h.491
[26]Dikutip oleh al-Ghumari dalam Bida’ al-Tafasir, h.108-109
[27]Al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar’I al-Wâjib, h.102
[28]Nabi Dawud membagi hari-harinya dalam seminggu menjadi 3 bagia, hari untuk beribadah, hari untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat dan waktu untuk bekerja. Kedua orang tersebut datang pada hari beribadah. Lihat: al-Ghumari dalam Bida’ al-Tafasir,h.107-108
[29]Qism al-Abhâts wa al-Dirâsât al-Islâmiyyah Jam’iyah al-Masyâri’ al-Islâmiyyah, Qasas al-Anbiyâ’, h.249-250
[30]Al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar’I al-Wâjib, h.102, Lihat juga: Qism al-Abhâts wa al-Dirâsât al-Islâmiyyah Jam’iyah al-Masyâri’ al-Islâmiyyah, Qasas al-Anbiyâ’, h.251
[31]Al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar’I al-Wâjib, h.102
[32] Al-Ghumari, Bida’ al-Tafasir, h. 109
[33]Al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar’I al-Wâjib, h.102. Lihat juga: Qism al-Abhâts wa al-Dirâsât al-Islâmiyyah Jam’iyah al-Masyâri’ al-Islâmiyyah, Qasas al-Anbiyâ’, h.249-250
[34]Maknanya:”Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu”.
[35]Maknanya: “Maka Apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) mengaggap al-Lata dan al- Uzza, Dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?”
[36]Perkataan tersebut berbunyi: تلك الغرانيق العلا وإن شفاعتهن لترتجى
[37]Jalâl al-Dîn al-Mahalli dan Jalâl al-Dîn al-Suyûti, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, h.146
[38]Al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar’I al-Wâjib, h.1, Lihat juga al-Syarh al-Qawim, h.339
[39]Al-Ghumari, Bida’ al-Tafasir, h. 95
[40]Al-Habasyi, al-Syarh al-Qawîm, h. 339
Facebook Comments