Tulisan Bebas

LUZUUM DAN JAWAAZ

pada selasa pagi pekan ini,  materi yang dibahas ialah tentang Akad Jual Beli, dan sebagai tutornya ialah Bpk Muhhib dari PON-PES MAHIR ARRIYADH, RINGIN AGUNG, dan untuk materi pembahasannya sebagai berikut:

♦ LUZUUM DAN JAWAAZ ♦

Pengertian Dan Pembagian

Yang dimaksud luzuum adalah terbebas dari hak khiyaar. Dan yang dimaksud jawaaz adalah keadaan tetapnya khiyaar . Yang dimaksud khiyaar adalah mencari/memilih yang terbaik diantara membatalkan atau mensukseskan aqad. Secara keasalan aqad bai’ adalah aqad yang laazim, akan tetapi syaari’ memberi kemurahan dengan menetapkan hak khiyaar pada aqad bai’. Khiyaar terbagi dua :

Khiyaar al tasyahhy (Khiyaar tarawwiy),

yaitu Khiyaar yang digantungkan pada keinginan muta’aaqidain dan sama sekali tidak tergantung pada wujud atau tidaknya suatu sifat tertentu pada ma’quud ‘alaih. Khiyaar al tasyahhy ini memiliki dua sabab :

  • Pensyaratan khiyaar (dari penjual/pembeli/keduanya). Khiyaar al tasyahhy dengan sabab ini disebut khiyaar syarthi.
  • Keberadaan ‘aaqidain masih berkumpul di majlis aqad. Khiyaar al tasyahhy dengan sabab ini disebut Khiyaar majlis.

Khiyaar al Naqiishah

yaitu Khiyaar yang disebabkan tidak wujudnya suatu sifat yang disangka ada pada ma’quud ‘alaih. Prasangka wujudnya sifat ini bisa muncul karena salah satu dari tiga perkara, yaitu :

  1. Taghriir fi’liy, contoh tashriyah
  2. Qadlaa’ ’urfiy, contoh terlihatnya ‘aib yang mengurangi ‘ain atau qiimah dan secara umum ‘aib tersebut tidak ditemukan pada jenis mabii’tersebut.
  3. Iltizaam syartiy (syarat yang dijanjikan), contoh dalam aqad disyaratkan keberadaan sahaya yang dijual pandai menulis dan kenyataannya tidak.

 

Khiyaar Majlis

Dalam kaitannya dengan khiyaar, aqad terbagi dua, yaitu :

  1. Aqad yang jaaiz[1].

Tidak ada khiyaar majlis dalam aqad yang jaaiz, baik jaaiz dari dua sisi (semisal : syirkah, wakalah, qiraadl, wadii’ah, dan ‘ariyyah) ataupun jaaiz dari salah satu sisi dan laazim dari sisi yang lainnya (semisal : aqad dlaman, dan kitaabah).

  1. Aqad yang laazim dari dua sisi.

Aqad yang laazim dari dua sisi terbagi dua, yaitu :

  1. Aqad yang maurid-nya manfaah

Tidak ada Khiyaar majlis dalam aqad yang maurid-nya manfaah. Diantara aqad yang maurid-nya manfaah adalah nikaah, shadaaq, ijarah dan musaaqaah. Sesuai pendapat yang mu’tamad tidak ada khiyaar majlis dalam aqad ijaarah baik ijaarah ‘ain ataupun ijaarah dzimmah[2].

  1. Aqad yang maurid-nya ‘ain

Khiyaar majlis tsubut (ditetapkan syara’) dalam setiap mu’awadlah[3] mahdlah[4] yang laazimah dari dua sisi[5], maurid-nya berupa ‘ain[6], tidak memuat tamalluk qahriy[7], dan tidak menempati posisi rukhshah[8]. Semisal : sharf (tukar menukar uang emas/ perak), jual beli makanan dengan sesamanya, aqad salam, tauliyah, isyraak, shulh al mu’aawadlah dan sesamanya.

 

Pemutus Khiyaar Majlis

Khiyaar majlis akan terputus dengan salah satu dari dua perkara, yaitu :

  1. Takhaayur dari ‘aaqidain (bi al qaul).

Maksudnya ‘aaqidaani memutuskan untuk me-luzuum-kan (mensukseskan) aqad bai’. Bila yang mengambil keputusan hanya satu pihak, maka pihak lawan masih memiliki hak khiyaar [9] sampai pihak tersebut mengambil keputusan atau terjadi perpisahan dari majlis aqad.

  1. Berpisahnya ‘aaqidain dari majlis aqad (bi al fi’li).

Dengan berpisahnya[10]aqidain dari majlis aqad maka gugurlah hak khiyaar keduanya. Begitu juga (gugur hak khiyaar dari keduanya) dengan berpisahnya salah satu ‘aaqidain dari majlis aqad[11]. Batasan disebut berpisah adalah ‘urf. Setiap hal yang secara ‘urf dikategorikan sebagai perpisahan, maka memutus khiyaar majlis, dengan perincian sebagai berikut :

  1. Bila ‘aaqidain tidak berjauhan maka :
  • Bila keduanya berada di area yang sangat luas semisal lapangan atau pasar, maka perpisahan terjadi dengan memalingkan punggung dan berjalan sedikit.
  • Bila keduanya didalam rumah yang besar (luas), maka perpisahan terjadi dengan keluarnya salah satu dari keduanya dari kamar tempat aqad atau naik ke lantai diatasnya.
  • Bila keduanya didalam rumah yang kecil (sempit), maka perpisahan terjadi dengan keluarnya salah satu dari keduanya dari rumah tersebut, atau naik ke lantai diatasnya.
  • Bila ‘aaqidain berjauhan, maka perpisahan akan terjadi bila salah satu dari ‘aaqidain meninggalkan tempat hingga mencapai batasan yang andaikan mereka berdekatan akan dianggap berpisah. Hal ini bila memang tidak berjalan mendekat kearah lawan.
  • Bila aqad jual beli dengan surat, maka perpisahan akan terjadi bila penerima surat meninggalkan tempat dia meng-qabul[12]. Akan tetapi dalam Hasiyah al Syarwani dijelaskan bila jual beli dilakukan dengan surat maka khiyaar penerima surat akan terputus dengan meninggalkan majlis tempat menerima khabar dan khiyaar pengirim surat akan terputus dengan meninggalkan majlis tempat dia berada saat penerima surat menerima khabar.

 

Catatan :

  • Bila dua orang yang kembar siam (jawa : dempet/kelet) melakukan jual beli maka khiyaar majlis hanya bisa hilang dengan takhaayur.
  • Bila seorang bapak menjual harta anaknya pada dirinya sendiri / menjual hartanya pada anaknya (ijaab dan qabuul dilakukan oleh sang bapak), maka khiyaar akan hilang dengan meninggalkan majlis aqad.
  • Tafarruq ataupun takhaayur ini akan memutus khiyaar majlis kalau memang dilakukan tidak karena dipaksa (ikraah). Bila salah satu dari ‘aaqidain meninggalkan majlis karena dipaksa, maka hak khiyaar-nya tidak terputus, akan tetapi hak khiyaar lawan akan terputus bila dia tidak membuntutinya, kecuali bila lawan juga dipaksa untuk tidak membuntuti.
  • Bila salah satu dari ‘aaqidain meninggal, maka khiyaar majlis tidak terputus dan digantikan pada ahli warits. Khiyaar yang di-warits ini akan terputus bila ahli warits meninggalkan majlis penerimaan khabar. Bila sebagian ahli warits mem-faskh maka aqad ter-faskh sebatas prosentase dari jatah warisan yang dia dapat.

 

Peleraian Sengketa Dalam Khiyaar Majlis

Bila ada dua orang datang bersamaan kehadapan qaadli dan salah satunya mendakwakan telah terjadi tafarruq dan aqad bai’ telah laazim, akan tetapi lawannya mengingkari dan ingin mem-faskh aqad, maka pihak yang mengingkari dimenangkan bila bersedia bersumpah kecuali si pendakwa mendatangkan saksi. Hal ini dikarenakan tidak adanya perpisahan adalah hal yang sesuai dengan keasalan.

Bila ada dua orang datang kehadapan qaadli dan keduanya sepakat telah terjadi tafarruq akan tetapi salah satunya mendakwakan bahwa dia telah mem-faskh sebelum terjadi tafarruq, dan lawannya mengingkari, maka pihak yang mengingkari dimenangkan bila bersedia bersumpah kecuali si pendakwa mendatangkan saksi. Hal ini dikarenakan tidak adanya faskh adalah hal yang sesuai dengan keasalan[13].

 

Khiyaar Syarth

  1. Ketentuan-ketentuan khiyaar syarat

Aqidaani atau salah satunya diperbolehkan mensyaratkan khiyaar dengan ketentuan :

  • Masa khiyaar yang disyaratkan tidak melebihi tiga hari.
  • Masa khiyaar yang disyaratkan harus ditentukan dan maklum.
  • Masa khiyaar yang disyaratkan harus berturut-turut.
  • Masa khiyaar yang disyaratkan dihitung mulai pensyaratan (baik disyaratkan pada saat aqad atau setelah aqad di majlis aqad).
  • Masyruuth lah (penerima hak khiyaar ) harus ditentukan atau tidak disebutkan sama sekali. Bila disyaratkan khiyaar untuk salah satu dari ‘aqidain tanpa di-ta’yiin, maka aqad batal[14]. Bila tidak disebutkan sama sekali, maka hak khiyaar dimiliki ‘aaqid yang mensyaratkan tersebut[15].

Tempo khiyaar yang disyaratkan kedua ‘aaqid tidak harus sama, sehingga boleh disyaratkan khiyaar dua hari untuk penjual dan satu hari untuk pembeli.

  1. Syaarith dan masyruuth lah (pemasang syarat dan penerimanya)

Pemberian (pemasangan) khiyaar syarat merupakan hak ‘aaqid (pelaku aqad baik baai’, musytariy atau wakil) dengan kata lain syarith-nya adalah ‘aaqid.

Khiyaar syarat ini bisa diperuntukkan ‘aaqid, muwakkil ataupun ajnabiy (masyruuth lah-nya bisa ‘aaqid, ataupun ajnabiy[16]), akan tetapi wakil hanya boleh mensyaratkan khiyaar untuk dirinya sendiri atau muwakkil-nya artinya wakil tidak boleh mensyaratkan khiyaar untuk lawan aqad-nya ataupun ajnabiy tanpa izin muwakkil. Orang yang telah mensyaratkan khiyaar untuk ajnabiy tidak punya hak khiyaar kecuali ajnabiy tersebut mati pada zaman khiyaar (karena dengan matinya ajnabiy hak khiyaar pindah pada orang yang mensyaratkan).

Catatan:

  • Massyruuth lah harus sudah baaligh walaupun safiih.
  • Pensyaratan Khiyaar untuk orang lain bukan merupakan taukil tapi tamliik jadi masyruuth lah tidak harus menjalankan yang terbaik bagi syaarith.
  • Al Milku fii zamani al Khiyaar

Secara mendasar mabii’ dan semua hal yang diaqadi dengan aqad-aqad mu’awadlah yang lain akan dimiliki dengan sempurnanya aqad[17]. Pada masa khiyaar kepemilikan atas mabii’ dan tawaabi’-nya[18]   teruntuk orang yang memiliki khiyaar . Bila khiyaar dimiliki ‘aaqidain, maka kepemilikan digantungkan, artinya bila nantinya aqad nyata-nyata sukses, maka diketahui bahwa mabii’ dan tawaabi’-nya adalah milik pembeli sejak selesai aqad bila aqad gagal (karena di-faskh) maka diketahui bahwa mabii’ dan tawaabi’-nya adalah milik penjual dan kepemilikan atas mabi’ dianggap tidak pernah hilang darinya[19]. Semua ini berlaku untuk khiyaar syarat dan juga khiyaar majlis[20]. Bila mabii’ dihukumi milik pembeli maka tsaman dihukumi milik penjual, begitupun sebaliknya. Bila kepemilikan atas mabii’ digantungkan, maka kepemilikan atas tsaman pun digantungkan.

  1. Aqad-aqad yang tersentuh khiyaar syarat

Khiyaar syarth diperbolehkan dalam setiap aqad yang tersentuh khiyaar majlis kecuali dalam :

  • Aqad salam
  • Jual beli ribawy
  • Jual beli terhadap hal-hal tidak tahan lama (akan busuk sebelum masa khiyaar yang disyaratkan habis).
  • Jual beli budak terhadap pembeli yang budak tersebut akan merdeka bila dimilikinya[21]. Dalam hal ini khiyaar syarat tidak diperbolehkan bagi pembeli.
  • Jual beli hewan yang di-tashriyah. Dalam hal ini khiyaar syarat tidak diperbolehkan bila disyaratkan tiga hari bagi baai’[22].
  • Cara faskh dan ijazah pada masa Khiyaar

Cara faskh dan ijazah terbagi dua :

  • Dengan qaul

Untuk faskh dengan mengucapkan semisal : fasakhtu al bai’a (saya batalkan jual beli), istarja’tu al mabii’a (saya ambil kembali mabii’) dan sesamanya, dan untuk ijaazah dengan mengucapkan semisal : ajaztu al bai’a ( saya sukseskan jual beli) dan sesamanya.

  • Dengan tasharruf (fi’li atau yang disetarakan dengan fi’li[23])

Mentasharrufkan mabii’ oleh penjual yang memiliki hak khiyaar [24] adalah bentuk faskh. Tasharruf yang dimaksud semisal wathi, memerdekakan, menikahkan, menjual, mewaqafkan, menyewakan. Semua tasharruf tersebut sah akan tetapi hukumnya wathi haram kecuali khiyaar murni hanya untuknya (penjual).

Tasharruf tersebut merupakan ijaazah bila dilakukan oleh pembeli yang memiliki khiyaar [25]. Memerdekakan mabii’ dari pembeli yang punya khiyaar hanya akan sah bila diizini penjual atau tidak diizini akan tetapi khiyaar murni hanya untuk pembeli. Bila khiyaar milik mereka berdua dan tanpa izin maka memerdekaan mabii’ mauquuf (ditaruhkan) sah atau tidaknya. Adapun wathi dari pembeli maka hanya halal bila khiyaar murni milik pembeli dan haram bila khiyaar milik keduanya walaupun wathi tersebut dengan izin penjual[26]. Selain wathi dan memerdekakan maka sah bila khiyaar murni milik pembeli atau milik berdua akan tetapi dengan izin penjual. Bila khiyaar milik berdua dan tidak ada izin maka batal.

Catatan:

  • Wahti dari penjual akan jadi faskh dan dari pembeli akan jadi ijaazah bila mabii’ yang di-wathi nyata-nyata perempuan.
  • Sekedar menawarkan mabii’ pada zaman khiyaar untuk dijual kepada pihak ketiga bukanlah bentuk faskh dari penjual dan bukan bentuk ijaazah dari pembeli. Begitupun izin untuk menawarkannya (bukan faskh dan bukan ijaazah).

 

Khiyaar Naqishah

Diatas telah diterangkan bahwa Khiyaar al Naqiishah disebabkan tidak wujudnya suatu sifat yang disangka ada pada ma’quud ‘alaih, dan prasangka tersebut muncul karena salah satu dari tiga perkara, yaitu : taghriir fi’liy, iltizaam syartiy (sifat yang dijanjikan) dan qadlaa’ ’urfiy.

Khiyaar yang muncul karena taghriir fi’liy

Hukum taghriir fi’liy ini adalah haram. Bentuk dan macam-macamnya beraneka ragam, diantaranya:

  • Memerah-merahi pipi budak, menyemir rambutnya, dan mengkritingkannya saat akan dijual.
  • Tashriyah. Yaitu sengaja tidak memerah susu suatu hewan ternak dalam tempo tertentu sebelum menjualnya agar tampak memiliki banyak susu. Bila hal tersebut terjadi tanpa kesengajaan (semisal karena lupa sehingga tidak memerah susunya) maka apakah pembelinya mendapat hak khiyaar ? Terjadi khilaf. Al Imam al Ghazali mantab tidak dan al Qadli juga al Adzraí merojihkan tetapnya khiyaar bagi pembelinya.
  • Dan lain-lain.

Catatan :

  1. Bila dalam penjualan hewan yang di-tashriyah pembeli mengembalikan mabii’ maka pembeli mengembalikan mabii’ disertai satu sha’ kurma kering[27] sebagai ganti susu yang telah dia perah[28]. Hal tersebut bila :
  2. Mabii’ merupakan hewan yang halal dagingnya.
  3. Keduanya tidak sepakat untuk mengembalikan tanpa disertai apaapun atau disertai selain satu sha’ kurma.
  4. Pembeli telah memerah susunya.
  5. Tiada hak khiyaar atas kerugian besar yang ditanggung pembeli dalam semisal : pembeli menyangka kelereng sebagai mutiara dan membelinya dengan harga yang sangat tinggi.

› Khiyaar yang muncul karena terjadi iltizam syartiy

Khiyaar ini muncul karena ‘aaqid menyanggupi (mensyaratkan/ menjanjikan) suatu sifat dalam ma’quudalaih dan kenyataannya sifat tersebut tidak wujud dalam ma’quud ‘alaih. Sifat yang disaratkan tersebut terbagi dua yaitu :

  1. Sifat yang berkaitan dengan suatu maksud tertentu[29] yang secara ‘urf dituju secara dzatiy oleh mayoritas orang. Contoh : pensyaratan budak yang dijual pandai menulis. Bila sifat ini disyaratkan dalam jual beli dan tidak ditemukan dalam mabii’ maka hak khiyaar tsubuut.
  2. Sifat yang tidak berkaitan dengan suatu tujuan tertentu. Contoh : pensyaratan budak yang dijual menyandang cacat, dungu (sangat bodoh), senang mencuri atau zina. Pensyaratan sifat ini tidak berpengaruh apapun (tidak mendatangkan hak khiyaar ).

Catatan:

  • Khiyaar yang muncul karena tidak tercapainya syarat yang disanggupi ini merupakan khiyaar fauriy (harus disegerakan), sehingga khiyaar ini akan batal bila diakhirkan[30].
  • Bila ‘aaqidani bersengketa akan hamil atau tidaknya hewan yang menjadi mabii’ dalam jual beli yang disyaratkan hamil maka penjual disumpah dan dia dimenangkan, sebab dalam keasalan musytari tidak punya hak mengembalikan mabii’.
  • Untuk memenuhi sifat yang disaratkan tersebut cukup dengan wujudnya sifat tersebut dan tidak harus mencapai derajad baik kecuali disyaratkan baik, maka harus baik secara ‘urf, contoh disyaratkan mabii’ bisa menulis, maka asal sudah dianggap cukup asal mabii’ bisa menulis walaupun jelek tulisannya (tidak ada Khiyaar), bila disyaratkan mabii’ bisa menulis dengan tulisan yang baik maka mabii’ harus bisa menulis dan secara ‘urf tulisannya dianggap baik.

 

› Khiyaar yang muncul karena qadla ’urfi

Khiyaar ini tsubut sebab terlihatnya ‘aib yang memenuhi semua kriteria sebagai berikut :

  • Musytari tidak tahu adanya ‘aib
  • Secara ghaalib dari jenis mabii’ tidak mengandung aib tersebut. Bila mabii’-nya budak yang tua, maka bila ternyata tidak perawan atau giginya ada yang tanggal, maka tidak mendatangkan khiyaar walaupun mengurangi qiimah karena hal tersebut ghaalib pada budak yang tua.
  • Mengurangi ‘ain mabii’ tersebut sekira menghilangkan suatu gharadl shahih atau mengurangi qiimah-nya. Bila mabii’-nya semisal budak dan ternyata dibetisnya ada sedikit luka yang tidak menghilangkan suatu gharadl shahih dan tidak dianggap sebagai hal yang mencemari/menodahi penampilan maka tidak mendatangkan khiyaar .
  • Aib belum hilang hingga faskh
  • Aib telah ada sebelum diterima pembeli (sebelum qabdl), atau baru ada setelah qabdl akan tetapi karena sebab yang telah ada sebelum qabdl, contoh: sebelum qabdl mabii’ yang berupa budak melakukan tidak jinaayat dan akhirnya setelah pembeli menerima tangannya dipotong karena jinaayat Bila mabii’ yang berupa budak tersebut dibunuh karena dia murtad sejak sebelum qabdl maka penjual harus mengembalikan tsaman-nya. Bila budak yang menjadi mabii’ mati karena sakit yang telah diderita sejak sebelum qabdl maka hak pembeli adalah meminta arsy (jawa: tambelan) yaitu selisih harga diantara mabii’ dalam keadaan sehat dan sakit.

Contoh ‘aib yang memenuhi kriteria tersebut (yang mendatangkan khiyaar ) adalah : mabii’ berupa budak suka mencuri, suka zina, suka berbohong, suka berkata kotor atau suka kabur (jawa: minggat-an), sering ngompol ditempat tidur untuk budak yang telah berusia sembilan tahun lebih, dikuasai jin jahat untuk mabii’ berupa rumah, banyak kera berkeliaran mencari makan untuk mabii’ berupa sawah dan lain sebaginya.

Catatan:

  • Bila ‘aaqidani berselisih akan wujudnya ‘aib, musytari mengatakan: “aib wujud sebelum qabdl” dan penjual menjawab : “aib tidak wujud saat qabdl tapi setelahnya”, maka penjual disumpah seperti jawabannya atas dakwa pembeli dan penjual dimenangkan.

 

  • Musqith Khiyaar Naqishah

Hal-hal yang menggugurkan khiyaar naqishah ada 4 yaitu :

  • Pensyaratan terbebas dari urusan ‘aib.

Bila[31] dalam jual beli disyaratkan penjual terbebas dari urusan aib yang ada pada mabii’, maka :

  • Bila mabii’ selain hewan maka penjual tidak terbebas secara muthlaq.
  • Bila mabii’ berupa hewan maka penjual terbebas dari segala urusan yang terkait aib yang :

›  Bathin[32]. Bila aibnya dhahir (baik si penjual mengetahuinya atau tidak) maka penjual tidak terbebaskan darinya.

› Telah ada pada saat aqad. Bila aib datang setelah aqad dan sebelum qabdl maka penjual tidak terbebaskan darinya.

› Tidak diketahuinya (tidak diketahui penjual). Bila penjual mengetahui ‘aib bathin tersebut maka penjual tidak terbebaskan darinya.

  • Bila dalam jual beli disyaratkan penjual terbebas dari segala aib yang akan muncul setelah aqad dan sebelum qabdl maka syarat tersebut tidak sah karena merupakan bentuk pengguguran sesuatu sebelum tsubuut. Adapun aqad bai’-nya tetap sah.
  • Bila dalam jual beli disyaratkan penjual terbebas dari aib yang ditentukan, maka :
  • Bila aib tersebut tidak bisa dilihat langsung secara nyata (semisal mabii’ suka mencuri) maka penjual bebas dari aib tersebut karena penyebutan hal tersebut merupakan bentuk pemberitahuan bahwa mabii’memuat aib tersebut.
  • Bila aib tersebut merupakan aib yang bisa dilihat langsung secara nyata (semisal mabii’ memiliki penyakit barash) maka penjual tidak terbebas bila tidak menunjukkan aib tersebut pada pembeli (sekedar mensyaratkan baraa-ah tidak cukup).

Musytari tidak mungkin mengembalikan mabii’

Hal ini dikarenakan empat sebab :

  • Halaak– nya mabii’.

Contoh halaak semisal mabii’ berupa hewan telah mati, mabii’ berupa makanan telah dimakan atau mabii’ berupa pakaian telah terbakar. Bila aib qodim yang ada pada mabii’ baru diketahui setelah mabii’ halaak (halaak terjadi setelah di qabdl musytari) maka tidak mungkin lagi ada pengembalian karena yang akan dikembalikan tidak wujud lagi. Dalam kasus ini pembeli berhak menerima arsy dari penjual[33], yaitu prosentase tertentu dari tsaman sesuai prosentase berkurangnya qiimah mabii’ dalam keadaan cacat dari qiimah mabii’ dalam keadaan tidak cacat. Contoh : mabii’ dibeli dengan harga 200rb, sedangkan qiimah mabii’ tidak cacat 100rb, qiimah mabii’ menyandang cacat 90rb, berarti qiimah mabii’ menyandang cacat berkurang 10rb dari qiimah mabii’ tanpa cacat, sehingga prosentase berkurangnya qiimah adalah 10rb/100rb = 10%. Dalam contoh ini arsy-nya 10% dari tsaman = 10% X 200rb = 20rb. Alhasil dalam contoh tersebut musytari berhak mendapat pengembalian arsy dari penjual sejumlah 20rb.

Catatan : qiimah yang diambil adalah qiimah terendah mulai penjualan hingga qabdl.

  • Mabii’ tidak mungkin dipindah tangan-kan lagi.

Contoh mabii’berupa sahaya telah dimerdekakan, telah jadi ummi al walad, atau telah diwaqafkan. Bila aib qodim yang ada pada mabii’ baru diketahui setelah mabii’ tidak mungkin dipindahkan milik maka sama dengan kasus halaak.

Catatan : bila seseorang membeli budak yang merdeka bila dia miliki (semisal anaknya atau orang tuanya) kemudia diketahui adanya ‘aib qadii, maka menurut pendapat yang ditarjih al Imam al Subkiy pembeli tersebut berhak mendapat arsy. Begitupun dalam kasus jual beli budak dengan syarat dimerdekakan, dan setelah dimerdekakan diketahui adanya ‘aib qadiim (pembeli berhak mendapat arsy).

  • Hilangnya kepemilikan musytari

Hilangnya kepemilikan musytari ini bisa dikarenakan telah di-hibah-kan (dan di-qabdl-kan), dijual atau yang lain. Bila setelah kepemilikan musytari atas mabii’’hilang dan diketahui adanya ‘aib qadiim, maka musytari tidak berhak mendapat arsy akan tetapi musytari berhak mengembalikan mabii’ bila mabii’ kembali menjadi miliknya (baik karena musytari kedua mengembalikan padanya lagi karena aib, dengan dia beli kembali, dengan iqalah atau yang lain).

  • Mabii’ terikat hak yang mencegah pengembalian.

Contohnya semisal mabii’ digadaikan. Hukumnya sama dengan mabii’ yang tidak lagi dimiliki musytari, yaitu musytari tidak berhak arsy akan tetapi bisa mengembalikan mabii’ setelah terlepas dari ikatan gadai.Bila mabii’ digadaikan dengan hutang yang tidak bertempo (kontan) dan musytari kuasa untuk membayarnya, maka untuk bisa mengembalikan mabii’ yang masih dalam gadai tersebut, musytari harus segera melunasi hutang, bila tidak maka hak mengembalikan mabii’ hilang sepenuhnya[34].

 

Catatan :

  1. Bila ‘aib qadiim baru diketahui setelah mabii’ di-ghashab maka hukumnya sama dengan kasus mabii’ yang tidak lagi dimiliki musytari, yaitu musytari tidak berhak arsy akan tetapi bisa mengembalikan mabii’ setelah kembali pada musytari dari ghaashib. Begitupun dalam kasus mabii’-nya ibaaq (kabur/ jawa: minggat), diaqadi kitaabah yang shahiihah, atau di-ijaarah-kan/ disewakan (hal ini bila penjual tidak ridla dengan pengembalian mabii’ dalam keadaan masih disewakan).
  2. Bila musytari berhak mengembalikan mabii’ dan mabii’ dia kembalikan dan ternyata tsaman telah halaak/ dimerdekakan/ terikat gadai maka musytari berhak mengambil badal berupa mitsl-nya bila tsaman merupakan mitsliyyaat atau qiimah-nya bila tsaman mutaqawwim (qiimah terendah mulai penjualan hingga tsaman di qabdl).

 

  1. Teledor setelah mengetahui adanya aib

Perlu digaris bawahi bahwa hak mengembalikan mabii’ ini bersifat fauriy, sehingga bila musytari mengetahui adanya ‘aib qadiim pada mabii’, maka hak khiyaar akan gugur kecuali musytari segera melakukan salah satu dari dua perkara, yaitu :

  • Mengembalikannya pada penjual/ wakilnya/ ahli waritsnya/ walinya/ muwakkil-nya (bila penjual adalah wakil). Pengembalian ini bisa dilakukan oleh pembeli/ wakilnya/ ahli waritsnya/ walinya/ muwakkil-nya (bila pembeli adalah wakil).
  • Melaporkan pada hakim (lapor pada hakim ini lebih disarankan bila penjual tidak diluar daerah dan wajib bila penjual diluar daerah).

Catatan :

  1. Bila musytari tidak mewakilkan akan tetapi berangkat sendiri untuk mengembalikan mabii’ atau lapor pada hakim, maka bila diperjalanan dia menemukan orang yang adil musytari juga wajib mempersaksikan faskh[35].
  2. Bila dalam pengembaliannya pembeli mewakilkan maka saat mewakilkan dia harus mempersaksikan faskh pada orang yang ‘adil (satu atau dua). Bila tidak menemukan orang yang adil, maka musytari tidak wajib mengucapkan shighat faskh .
  3. Bila musytari dikenai ‘udzur dari mengembalikan mabii’, mewakilkannya atau lapor pada hakim karena dia sakit atau diluar daerah, atau ada khauf (masalah keamanan) maka musytari juga wajib mempersaksikan faskh. Bila tidak menemukan orang yang adil maka musytari tidak wajib mengucapkan shighat faskh.
  4. Setelah mustariy mengetahui adanya ‘aib qadiim pada mabii’ maka dia tidak boleh memanfaatkannya, karena dengan tetap memanfaatkannya menunjukkan dia ridla dengan adanya aib pada mabii’. Bila mabii’ berupa pakaian dan ‘aib qadiim diketahui saat dipakai musytari, maka harus segera dilepas kecuali pelepasan baju mendatangkan dlarar (kebahayaan) atau musytari masih ditengah jalan besar (syaari’)[36] dan melepas baju bisa menjatuhkan reputasinya. Bila mabii’ semisal kuda dan untuk mengembalikan pada penjual sangat sulit untuk dituntun atau digiring maka boleh dinaiki.
  5. Yang dimaksud faur disini tidaklah harus tergesa-gesa sekali dalam mengembalikan mabii’ akan tetapi faur disini sesuai adat sehingga bila ‘aib qadiim diketahui saat waktu shalat atau waktu makan datang maka musytari boleh mengundurkan pengembalian mabii’ untuk menjalankan shalat atau makan tersebut, dan dalam perjalanan menemui penjual pun tidak harus berlari-lari atau ngebut. Untuk semisal mabii’ berupa budak yang diketahui menyandang cacat dalam keadaan dia kabur maka pengembalian setelah dia kembali ditemukan seperti keterangan diatas.
  6. Bila musytari mengakhirkan pengembalian mabii’ karena ketidak tahuan hukum faur ini, maka dimaafkan bila sejak lahir dia jauh dari ‘ulama’, atau baru masuk Islam.

 

Munculnya ‘aib baru

Bila ‘aib qadiim diketahui setelah munculnya catat yang baru pada mabii’ maka gugurlah hak qahriy untuk mengembalikan mabii’, artinya bila penjual ridla terhadap aib yang muncul setelah qabdl (‘aib haadits) , pembeli boleh mengekang (tidak mengembalikan mabii’) tanpa minta arsy[37] (untuk ‘aib qadiim) dan juga boleh mengembalikan mabii’ tanpa memberikan arsy[38] (untuk ‘aib haadits/ aib yang muncul setelah qabdl). Bila penjual ridla terhadap aib hadits, maka tafshiil:

  • Bila ada kesepakatan faskh dengan arsy untuk ‘aib haadist maka dilakukan faskh dan pembeli harus memberikan arsy untuk ‘aib haadist.
  • Bila ada kesepakatan ijaazah (mensukseskan aqad) dengan arsy untuk ‘aib qadiim maka aqad disukseskan dan penjual harus memberikan arsy untuk ‘aib qadiim.
  • Bila tidak ada kesepakatan maka siapa yang ungin mensukseskan aqad dia yang dimenangkan.

Catatan :

  • Tafshiil tersebut berlaku untuk selain mabii’ ribawi, bila mabii’-nya ribawiy, maka bila penjual tidak ridla dengan ‘aib haadits aqad harus di faskh dan musytari harus memberikan arsy untuk ‘aib haadits.
  • Bagi pembeli yang mengetahui adanya ‘aib qadiim setelah munculnya catat yang baru pada mabii’ diharuskan segera memberitahu penjual atas wujudnya dua aib tersebut, bila ditunda tanpa ‘udzur maka gugurlah hak mengembalikan atau mendapat arsy (seperti tafshiil diatas).
  • Bila ‘aib haadits telah hilang sebelum ‘aib qadiim diketahui, maka pembeli berhak mengembalikan mabii’. Bila ‘aib qadiim hilang sebelum pengambilan arsy-nya maka pengambilan arsy
  • Bila ‘aib qadiim baru bisa diketahui dengan mendatangkan ‘aib hadits (semisal semangka yang busuk separo[39] dan hanya bisa diketahui dengan melubanginya) maka pembeli berhak mengembalikan mabii’ tanpa memberikan arsy untuk ‘aib haadits. Hal ini bila memang dalam melubangi semisal semangka tidak melebihi kebutuhan untuk melihat ‘aib qadiim.
  • Bila dalam mabii’ ditemukan dua aib, dan ‘aqidani sepakat bahwa salah satu aib adalah ‘aib qadiim, akan tetapi penjual mengingkari dakwaan pembeli bahwa bahwa aib yang satunya juga ‘aib qadiim (penjual menyatakan bahwa aib yang satunya merupakan ‘aib hadits), maka penjual disumpah dan dimenangkan.
  • Wujudnya ziyadah munfashilah tidak mencegah dari hak mengembalikan mabii’ dan ziyadah munfashilah ini dimiliki oleh orang yang memiliki mabii’ sebelum dikembalikan. Ziyadah munfashilah yang dimaksud semisal anak[40] dari kehamilan mabii’ setelah aqad, ujrah penyewaan mabii’. Adapun anak dari kehamilan yang telah ada saat aqad maka ikut dikembalikan. Sedangkan Ziyadah muttashilah maka ikut dikembalikan bersama mabii’ semisal : bertambahnya daging hewan, tambah pandainya budak.
  • Bila semisal dua budak dijual dalam satu aqad (satu shafqah) kemudian terlihat adanya ‘aib qadiim baik pada kedua budak tersebut atau pada salah satunya saja pembeli maka pembeli boleh mengembalikan keduanya, akan tetapi tidak boleh mengembalikan salah satu saja tanpa kesepakatan penjual, karena akan mengakibatkan tafriq al shafqah yang merugikan penjual tanpa adanya darurat.
  • Bila aqad bai’ telah iníqaad (sah) maka tidak akan bisa di-faskh kecuali dengan salah satu dari tujuh[41] sebab, yaitu khiyaar majlis, khiyaar syarat, khiyaar ‘aib, khiyaar khulfi al masyruuth al maqshuud (khiyaar yang muncul dari iltizaam syarthiy), iqalah[42], tahaaluf, dan rusaknya mabii’ sebelum qabdl (akan dibahas pada season setelah ini).

 

[1] Dalam ta’liiqaat kitab al yaaquut al nafiis halaman 77 diterangkan: aqad yang jaaiz dari dua sisi ada 12, jaaiz dari satu sisi ada 8, laazim dari dua sisi ada 15.

[2] Menurut sebagian ulama’(diantaranya Imam Qaffal) khiyar majlis secara pasti ada pada ijarah dzimmah.

[3] qaid ini mengeluarkan hibah tanpa konpensasi (tsawaab), ibraa’, dan shulh al hathiithah, karena shulh al hathiithah dalam dain (piutang) merupakan bentuk ibraa’, dan shulh al hathiithah dalam áin merupakan bentuk hibah.

[4] qaid ini mengeluarkan nikah dan khulu’.

[5] qaid ini mengeluarkan syirkah, qiraadl, rahn, kitaabah.

[6] atau berupa manfaah tapi diselamakan (di-takbiid) dan diaqadi dengan lafadl bai’, sehingga qaid ini mengeluarkan ijarah.

[7] qaid ini mengeluarkan syufáh.

[8] qaid ini mengeluarkan hawalah, penjualan sahaya pada dirinya sendiri, dan bai’ dlimniy. Ini sesuai keterangan dalam tuhfat al habiib, dalam tuhfat al muhtaah Ibn Hajar berkata:

ولا يرد بيع القن من نفسه فإنه لا خيار فيه للقن وكذا لسيده على الأوجه لتصريحهم بأن هذا عقد عتاقة لا بيع ومثله البيع الضمني وكقسمة الرد بخلاف غيرها ولو بالتراضي لأن الممتنع منه يجبر عليه

[9] قال في اسنى المطالب واحتمل تبعيض الخيار لوقوعه دواما والفسخ مقدم على الإجازة فلو فسخ أحدهما وأجاز الآخر قدم الفسخ وإن تأخر عن الإجازة اهـ أسنى المطالب

[10] Baik dengan kesengajaan, karena lupa atau ketidak tahuan.

[11] Bila salah satu dari ‘aqidain mem-faskh maka aqad akan infisakh dari pihak lawan sehingga tidak ada lagi hak khiyar pada pihak lawan.

[12] Fathul jawad juz 1 hal 401.

[13] Ini sesuai pendapat yang divonis sebagai pendapat yang dhahir dalam kitab al syarh al kabiir.

[14] Al syarh al kabiir.

[15] Fathul jawaad.

[16] Karena mungkin ajnabi tersebut lebih berpengalaman.

[17] الرابعة المبيع و نحوه من المعاوضات يملك بتمام العقد فلو كان خيار مجلس أو شرط فهل الملك في زمن الخيار للبائع استصحابا لما كان أو المشترى لتمام البيع بالإيجاب و القبول أو موقوف إن تم البيع بان أنه للمشتري من حين العقد و إلا فللبائع ؟ أقوال و صحح الأول فيما إذا كان الخيار للبائع وحده و الثاني : إذا كان للمشتري وحده و الثالث : إذا كان لهما و هذه المسألة من غرائب الفقه فإن لها ثلاثة أحوال و في كل حال ثلاثة أقوال و صحح في كل حال من الثلاثة اهـ الاشباه والنظائر

 

[18] semisal halalnya wathi sahaya perempuan yang dijual

[19] Bila khiyar diperuntukkan ajnabi maka kepemilikan dimiliki orang yang mensyaratkan. Bila áqidain sama-sama mensyaratkan khiyar untuk ajnabiy tersebut maka kepemilikan digantungkan, lihat fathul jawaad juz 1 hal: 403.

[20] Khiyar majlis hanya dimiliki satu ‘aqid semisal salah satunya telah memberi keputusan atas luzuumnya aqad seperti keterangan diatas.

[21] Semisal orang tua, anak atau pembelinya pernah iqraar/ bersaksi bahwa budak tersebut merdeka.

[22] ومما يثبت فيه خيار المجلس لا الشرط ما يسرع فساده والمصراة ان شرطه ثلاتا للبائع لانه يمتنع من الحلب مخافظة على ما قصده من ظهور التغرير بالتصرية وتركه مضر بالبهيمة اهـ فتح الجواد قال في فتح الوهاب واستثنى الجوري المصراة فقال لا يجوز اشتراط خيار الثلاث فيها للبائع لأنه يمنع الحلب وتركه مضر بالبهيمة حكاه عنه في المطلب اهـ

[23] Yang dimaksud disetarakan dengan fi’li semisal penjualan, karena secara haqiqi penjualan dan sesamanya adalah mengucapkan shighat ijab (qaul).

[24] Baik pembeli juga memiliki hak khiyar atau tidak

[25] Baik penjual juga memiliki hak khiyar atau tidak

[26] ووطؤه حلال إن كان الخيار له وإلا فحرام وقول الأسنوي أنه حلال إن أذن له البائع مبنى على أن مجرد الإذن في التصرف إجازة وهو بحث للنووي والمنقول خلافه ههـ فتح الوهاب

[27] والعبرة في التمر بالمتوسط من تمر البلد فإن فقد فقيمته بأقرب بلد التمر إليه وقيل بالمدينة الشريفة

[28] قوله ( بدل اللبن المحلوب ) ليس بقيد بل المدار على انفصال لبن منها ولو بنفسه أو رضعها ولدها أو رضعت هي نفسها أو نزل على الأرض شيخنا ح ل والمراد بدل اللبن الذي كان موجودا عند البيع لتعذر رده بسبب اختلاطه بما حدث بعده في ملك المشتري فلما تعذر تمييزه وجب رد بدله من التمر وذلك لأن اللبن الموجود وقت البيع جزء من المبيع فيجب رده معها ووجوب التمر المذكور تعبدي إذ القياس الضمان بمثل اللبن المحلوب اهـ حاشية البجيرمي

[29] Baik berupa tambahnya qiimah atau yang lain.

[30] Keterangan seputar ini sama dengan keterangan pada khiyar aib (khiyar yang muncul karena qadla’ ‘urfi.

[31] Sebenarnya masalah ini termasuk contoh khiyar yang disebabkan iltizam syarthi seperti yang disampaikan dalam kitab iqnaa’:

وأما الأمر الثاني وهو ما يظن حصوله بشرط فهو كما لو باع حيوانا أو غيره بشرط براءته من العيوب في المبيع فيبرأ عن عيب باطن بحيوان موجود فيه حال العقد جهله بخلاف غير العيب المذكور

[32] ( قوله وبريء من عيب باطن ) أي وهو ما يعسر الإطلاع عليه ومنه الزنا والسرقة والكفر والظاهر بخلافه ومنه نتن لحم الجلالة لأنه يسهل فيه ذلك وقيل الباطن ما يوجد في محل لا تجب رؤيته في المبيع لأجل صحة البيع والظاهر بخلافه اهـ إعانة الطالبين

[33] أما الربوي المذكور كحلي ذهب بيع بوزنه ذهبا فبان معيبا بعد تلفه فلا أرش فيه وإلا لنقص الثمن فيصير الباقي منه مقابلا بأكثر منه وذلك ربا اهـ فتح الوهاب

[34] قوله وكتمليكه رهنه نعم بحث الأذرعي أن المرهون بدين حال يقدر على أدائه كغير المرهون حتى لو أخر مع إمكان الأداء لا رد ا هـ إيعاب ا ه شوبري اهـ حاشية الجمل

[35] وبعد الفسخ لا يلزمه اتيان من ذكر على الاوجه لخروجه عن ملكه بالفسخ ومن ثم لو استخدمه حينئذ لزمه اجرته ورده باق بحاله اهـ فتح الجواد

[36] وان لم تنكشف عورته لانه يخل بهيئته ومن ثم اختص هذا بذوي الهيئات على الاوجه لان غالب المحترفة لا يخل بهيئتهم اهت فتح الجواد

[37] Arti arsy disini sama seperti arti arsy pada penjelasan sebelumnya.

[38] Arti arsy disini tidak sama seperti arti arsy pada penjelasan sebelumnya, akan tetapi arti arsy disini adalah: selisih diantara qiimah mabii’dalam keadaan menyandang aib qadiim saja dan dan qiimah mabii’dalam keadaan menyandang aib qadiim dan hadits (arsy disini tidak diambil dari prosentase tsaman).

[39] Bila busuk sepenuhnya maka jual beli tidak sah karena mabii’tidak mutamawwal.

[40] Bila ini adalah anak budak yang belum tamyiiz maka mencegah pengembalian mabii’(yaitu ibunya) karena haramnya tafriiq.

[41] Sebagian ulama’ menambahkan beberapa tambahan, bisa dirujuk dalam semisal kiab al asybaah wa al nadhaair.

[42] Menurut pendapat yang mu’tamad iqalah adalah praktek faskh bukan penjualan. Iqalah adalah menukarkan mabii’kepada penjualnya dengan tsaman awal. Dalam kitab asna al mathaalib dan al asybaah wa al nadhaair dijelaskan:

فصل الإقالة وهي ما يقتضي رفع العقد المالي بوجه مخصوص جائزة وتسن لنادم أي لأجله لخبر ابن حبان في صحيحه من أقال مسلما وفي رواية للبيهقي نادما أقال الله عثرته وهي فسخ لا بيع وإلا لصحت مع غير البائع وبغير الثمن الأول اهـ اسنى المطالب وفي الأشباه والنظائر: الأشباه والنظائر أو بمثل الثمن الأول للبائع الأول سمي إقالة

foot note & keterangan:

  1. Dalam ta’liiqaat kitab al yaaquut al nafiis halaman 77 diterangkan: aqad yang jaaiz dari dua sisi ada 12, jaaiz dari satu sisi ada 8, laazim dari dua sisi ada 15.
  2. Menurut sebagian ulama’(diantaranya Imam Qaffal) khiyar majlis secara pasti ada pada ijarah dzimmah.
  3. qaid ini mengeluarkan hibah tanpa konpensasi (tsawaab), ibraa’, dan shulh al hathiithah, karena shulh al hathiithah dalam dain (piutang) merupakan bentuk ibraa’, dan shulh al hathiithah dalam áin merupakan bentuk hibah.
  4. qaid ini mengeluarkan nikah dan khulu’.
  5. qaid ini mengeluarkan syirkah, qiraadl, rahn, kitaabah.
  6. atau berupa manfaah tapi diselamakan (di-takbiid) dan diaqadi dengan lafadl bai’, sehingga qaid ini mengeluarkan ijarah.
  7. qaid ini mengeluarkan syufáh.
  8. qaid ini mengeluarkan hawalah, penjualan sahaya pada dirinya sendiri, dan bai’ dlimniy. Ini sesuai keterangan dalam tuhfat al habiib, dalam tuhfat al muhtaah Ibn Hajar berkata:

ولا يرد بيع القن من نفسه فإنه لا خيار فيه للقن وكذا لسيده على الأوجه لتصريحهم بأن هذا عقد عتاقة لا بيع ومثله البيع الضمني وكقسمة الرد بخلاف غيرها ولو بالتراضي لأن الممتنع منه يجبر عليه

9 قال في اسنى المطالب واحتمل تبعيض الخيار لوقوعه دواما والفسخ مقدم على الإجازة فلو فسخ أحدهما وأجاز الآخر قدم الفسخ وإن تأخر عن الإجازة اهـ أسنى المطالب

  1. Baik dengan kesengajaan, karena lupa atau ketidak tahuan.
  2. Bila salah satu dari ‘aqidain mem-faskh maka aqad akan infisakh dari pihak lawan sehingga tidak ada lagi hak khiyar pada pihak lawan.
  3. Fathul jawad juz 1 hal 401.
  4. Ini sesuai pendapat yang divonis sebagai pendapat yang dhahir dalam kitab al syarh al kabiir.
  5. Al syarh al kabiir.
  6. Fathul jawaad.
  7. Karena mungkin ajnabi tersebut lebih berpengalaman.

17 الرابعة المبيع و نحوه من المعاوضات يملك بتمام العقد فلو كان خيار مجلس أو شرط فهل الملك في زمن الخيار للبائع استصحابا لما كان أو المشترى لتمام البيع بالإيجاب و القبول أو موقوف إن تم البيع بان أنه للمشتري من حين العقد و إلا فللبائع ؟ أقوال و صحح الأول فيما إذا كان الخيار للبائع وحده و الثاني : إذا كان للمشتري وحده و الثالث : إذا كان لهما و هذه المسألة من غرائب الفقه فإن لها ثلاثة أحوال و في كل حال ثلاثة أقوال و صحح في كل حال من الثلاثة اهـ الاشباه والنظائر

 

  1. semisal halalnya wathi sahaya perempuan yang dijual
  2. Bila khiyar diperuntukkan ajnabi maka kepemilikan dimiliki orang yang mensyaratkan. Bila áqidain sama-sama mensyaratkan khiyar untuk ajnabiy tersebut maka kepemilikan digantungkan, lihat fathul jawaad juz 1 hal: 403.
  3. Khiyar majlis hanya dimiliki satu ‘aqid semisal salah satunya telah memberi keputusan atas luzuumnya aqad seperti keterangan diatas.
  4. Semisal orang tua, anak atau pembelinya pernah iqraar/ bersaksi bahwa budak tersebut merdeka.

22ومما يثبت فيه خيار المجلس لا الشرط ما يسرع فساده والمصراة ان شرطه ثلاتا للبائع لانه يمتنع من الحلب مخافظة على ما قصده من ظهور التغرير بالتصرية وتركه مضر بالبهيمة اهـ فتح الجواد قال في فتح الوهاب واستثنى الجوري المصراة فقال لا يجوز اشتراط خيار الثلاث فيها للبائع لأنه يمنع الحلب وتركه مضر بالبهيمة حكاه عنه في المطلب اهـ

  1. Yang dimaksud disetarakan dengan fi’li semisal penjualan, karena secara haqiqi penjualan dan sesamanya adalah mengucapkan shighat ijab (qaul).
  2. Baik pembeli juga memiliki hak khiyar atau tidak
  3. Baik penjual juga memiliki hak khiyar atau tidak

26ووطؤه حلال إن كان الخيار له وإلا فحرام وقول الأسنوي أنه حلال إن أذن له البائع مبنى على أن مجرد الإذن في التصرف إجازة وهو بحث للنووي والمنقول خلافه ههـ فتح الوهاب

27 والعبرة في التمر بالمتوسط من تمر البلد فإن فقد فقيمته بأقرب بلد التمر إليه وقيل بالمدينة الشريفة

28 قوله ( بدل اللبن المحلوب ) ليس بقيد بل المدار على انفصال لبن منها ولو بنفسه أو رضعها ولدها أو رضعت هي نفسها أو نزل على الأرض شيخنا ح ل والمراد بدل اللبن الذي كان موجودا عند البيع لتعذر رده بسبب اختلاطه بما حدث بعده في ملك المشتري فلما تعذر تمييزه وجب رد بدله من التمر وذلك لأن اللبن الموجود وقت البيع جزء من المبيع فيجب رده معها ووجوب التمر المذكور تعبدي إذ القياس الضمان بمثل اللبن المحلوب اهـ حاشية البجيرمي

  1. Baik berupa tambahnya qiimah atau yang lain.
  2. Keterangan seputar ini sama dengan keterangan pada khiyar aib (khiyar yang muncul karena qadla’ ‘urfi.
  3. Sebenarnya masalah ini termasuk contoh khiyar yang disebabkan iltizam syarthi seperti yang disampaikan dalam kitab iqnaa’:

وأما الأمر الثاني وهو ما يظن حصوله بشرط فهو كما لو باع حيوانا أو غيره بشرط براءته من العيوب في المبيع فيبرأ عن عيب باطن بحيوان موجود فيه حال العقد جهله بخلاف غير العيب المذكور

32 ( قوله وبريء من عيب باطن ) أي وهو ما يعسر الإطلاع عليه ومنه الزنا والسرقة والكفر والظاهر بخلافه ومنه نتن لحم الجلالة لأنه يسهل فيه ذلك وقيل الباطن ما يوجد في محل لا تجب رؤيته في المبيع لأجل صحة البيع والظاهر بخلافه اهـ إعانة الطالبين

33 أما الربوي المذكور كحلي ذهب بيع بوزنه ذهبا فبان معيبا بعد تلفه فلا أرش فيه وإلا لنقص الثمن فيصير الباقي منه مقابلا بأكثر منه وذلك ربا اهـ فتح الوهاب

34 قوله وكتمليكه رهنه نعم بحث الأذرعي أن المرهون بدين حال يقدر على أدائه كغير المرهون حتى لو أخر مع إمكان الأداء لا رد ا هـ إيعاب ا ه شوبري اهـ حاشية الجمل

35 وبعد الفسخ لا يلزمه اتيان من ذكر على الاوجه لخروجه عن ملكه بالفسخ ومن ثم لو استخدمه حينئذ لزمه اجرته ورده باق بحاله اهـ فتح الجواد

36 وان لم تنكشف عورته لانه يخل بهيئته ومن ثم اختص هذا بذوي الهيئات على الاوجه لان غالب المحترفة لا يخل بهيئتهم اهت فتح الجواد

  1. Arti arsy disini sama seperti arti arsy pada penjelasan sebelumnya.
  2. Arti arsy disini tidak sama seperti arti arsy pada penjelasan sebelumnya, akan tetapi arti arsy disini adalah: selisih diantara qiimah mabii’dalam keadaan menyandang aib qadiim saja dan dan qiimah mabii’dalam keadaan menyandang aib qadiim dan hadits (arsy disini tidak diambil dari prosentase tsaman).
  3. Bila busuk sepenuhnya maka jual beli tidak sah karena mabii’tidak mutamawwal.
  4. Bila ini adalah anak budak yang belum tamyiiz maka mencegah pengembalian mabii’(yaitu ibunya) karena haramnya tafriiq.
  5. Sebagian ulama’ menambahkan beberapa tambahan, bisa dirujuk dalam semisal kiab al asybaah wa al nadhaair.
  6. Menurut pendapat yang mu’tamad iqalah adalah praktek faskh bukan penjualan. Iqalah adalah menukarkan mabii’kepada penjualnya dengan tsaman awal. Dalam kitab asna al mathaalib dan al asybaah wa al nadhaair dijelaskan:

فصل الإقالة وهي ما يقتضي رفع العقد المالي بوجه مخصوص جائزة وتسن لنادم أي لأجله لخبر ابن حبان في صحيحه من أقال مسلما وفي رواية للبيهقي نادما أقال الله عثرته وهي فسخ لا بيع وإلا لصحت مع غير البائع وبغير الثمن الأول اهـ اسنى المطالب وفي الأشباه والنظائر: الأشباه والنظائر أو بمثل الثمن الأول للبائع الأول سمي إقالة

 

 

Facebook Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Lihat Juga

Close
Close