ArtikelBahtsul Masa'il
Hukum Menulis Jimat Tanpa Mengetahui Maknanya
Sebuah amalan atau azimat(jimat), sudah diketahui oleh banyak orang dapat menghasilkan khasiat tertentu. Misalnya, amalan wirid yang dibaca di waktu tertentu maka akan dapat menyembuhkan sebuah penyakit. Atau, sebuah jimat yang ditulis dengan cara tertentu maka akan jadi penangkal bahaya dan semacamnya.
Seringkali beberapa orang membaca/menulis amalan wirid atau azimat, mereka melakukankannya karena terbukti manjur dan sudah dibuktikan oleh seorang kyai, guru, orang sakti atau orang biasa sekalipun. Namun, permasalahan muncul ketika ada seseorang yang membaca/menulis amalan dan azimat tanpa mengetahui arti dari bacaan dan tulisan tersebut. Apakah secara hukum Islam diperbolehkan membaca/menulis amalan dan azimat tanpa diketahui maknanya?
Permasalahan mengenai hal ini, sebenarnya merupakan permasalahan klasik yang bisa kita temui di beberapa kitab kuning dan pembahasan para ulama terdahulu. Misalnya saja Syekh Syihabuddin Ibn Hajar al-Haitami Ra. Pernah ditanya tentang Tulisan asma’(jimat) yang tidak diketahui maknannya, apakah makruh ataukah haram?.
Jawaban atas pertanyaan yang diajukan pada Syekh Syihabuddin Ibn Hajar al-Haitami Ra. Tersebut, Bisa kita temukan dalam kitab Fatawi al-Imam an-Nawawi, dinukil dari pendapat imam al-Ghazali, Bagi seseorang tidak dihalalkan melaksanakan sebuah perkara, sampai ia mengetahui tentang hukum Allah yang terkandung pada perkara tersebut. Pendapat demikian juga difatwakan oleh Syekh Izzuddin Ibn Abdissalam, beliau berfatwa: “Sesungguhnya menulis huruf-huruf yang masih tidak diketahui maknanya, untuk mengobati orang yang sakit hukumnya tidak boleh”.
Artinya bagi seseorang tidak diperbolehkan membaca/menulis amalan atau azimat tanpa mengetahui makna dan artinya terlebih dahulu.
Namun, hukum tidak diperbolehkannya ini, sebatas karena ditakutkan apabila ada sebagian amalan/azimat yang di dalamnya terdapat kata-kata kufur. Sedangkan apabila didalamnya tidak terdapat kata-kata kufur maka hukumnya diperbolehkan. Sebab Nabi SAW. Pernah mengizinkan rukyah/suwuk (الرق) yang dilakukan oleh para sahabat. Saat itu Nabi SAW. ditanya tentang rukyah/suwuk (الرق), beliau bersabda, “jelaskanlah padaku suwukmu sekalian”, maka para sahabat pun menjelaskan. Setelah para sahabat menjelaskan, Lalu Nabi SAW. bersabda “tidak masalah” [Fatawi al-Imam an-Nawawi. H. 200].
Maka membaca/menulis amalan dan azimat yang tidak diketahui maknanya, hukumnya diperbolehkan dengan ketentuan apabila sudah mendapat legalitas(ijazah) dari orang yang mengetahui maknanya serta orang tersebut kuat agama dan ilmunya. Hal ini juga diterangkan dalam kitab Fatawi al-Imam an-Nawawi, ketika kita menemukan tulisan azimat kitabnya orang yang alim, kemudian ia memerintahkan untuk menulisnya, maka sudah jelas orang alim tersebut sudah mengerti dan sudah meneliti maknanya (dan kita cukup mengikuti orang alim tersebut).
Kemudian jika amalan dan jimat tersebut berupa asma atau kalam Allah atau dengan (tulisan berbentuk) dzikir Allah yang tujuannya untuk ber-tabarruk kepada Allah atau penjagaan diri serta tahu bahwa yang dapat memudahkan segala sesuatu adalah Allah maka hal itu tidak diharamkan. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Hajar yang dikutip oleh al-Munawi dalam kitab Faidh al-Qadir 6/223.
Adapun sebuah amalan atau jimat yang tidak di kategorikan sihir, bisa kita tilik di kitab Sab’atu al-Kutubi al-Mufidah li Sayyid Alwi ibn as-Saqof. Dikitab tersebut diterangkan sebuah kejadian diluar akal bisa dikatakan ma’unah(pertolongan dari Allah) dan bukan sihir bila memenuhi beberapa syarat. Yakni:
- Yang mengamalkan (atau yang memberi ijazah) adalah orang shalih
- Khodamnya dari roh/jin yang baik
- Wiridnya tidak bertentangan dengan syariat
- Tidak berdampak negatif pada orang lain.
Waallahua’lam…
oleh : Ketua perpustakaan Fathul Afkar kwagean
Facebook Comments