ArtikelBahtsul Masa'il
Berusaha Menjadi Raja Berarti Siap Tersembelih Tanpa Pisau
Al-Mulk secara bahasa (arab) bermakna kekuasaan/keagungan. Sedangkan orang yang memiliki kekuasaan disebut dengan al-malik/dzu al-mulk (raja). Oleh karenanya, syaikh Abdulloh ibn ‘Umar al-Baidlowi dalam sebagian kitabnya mengartikan bahwa al-Malik(raja) adalah orang yang mengatur rakyatnya dengan memerintah mereka, serta mencegah mereka dari melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya. Karena memang ia memiliki kekuasaan untuk hal itu.
Di dalam kehidupan sekelompok makhluq hidup, entah dari golongan hewan ataupun manusia, mengharuskan salah satu dari mereka ada yang menjadi seorang kepala dan dijadikan sebagai pemimpin yang dituruti kehendaknya, diikuti perintah dan arahannya sehingga para pengikutnya akan mengerahkan seluruh tenaga dan mengorbankan jiwa, untuk membela dan melindunginya dari segala marabahaya.
Mengangkat seorang pemimpin ditengah kehidupan manusia, merupakan sesuatu yang wajar dan secara alami hal itu akan muncul beriringan dengan adanya sebuah perkumpulan makhluk hidup.
Dalam perjalanan suatu kerajaan terdapat dua kemungkinan yang terjadi, sesuai dengan model/cara raja tersebut menjalankan kekuasaannya:
Kemungkinan yang pertama, penguasa akan dikatakan sebagai raja yang lalim dan bertindak semena-mena, bila dalam cara ia berkuasa tidak menggunakan prosedur seorang pemimpin dan menjalankan perintahnya dengan sebuah kekuasaan dan pemaksaan. Pemimpin yang seperti ini, dalam hukum-hukum yang dijalankan, sangat berpotensi untuk keluar dari aturan dan menyimpang dari keadilan. Seperti halnya Fir’aun, seorang raja yang terkenal lalim dalam kepemimpinannya.
Dalam sebagian cerita, saat Fir’aun tidur di kubah istrinya, Asiyah, ia mendengar suara “Celakalah Kau! Wahai Fir’aun. sungguh sudah dekat masa kehancuran kekuasaanmu, dan nantinya akan direbut oleh seorang pemuda dari bani israil” . setelah mendengar hal itu ia berkata pada Asiyah “apakah kau mendengarnya wahai Asiyah” Asiyah menjawab “ya”. Kemudian segeralah Fir’aun mengumpulkan para menterinya untuk dimintai pendapat perihal kejadian yang telah ia alami. Para menterinya pun memberi saran untuk mengutus seorang pengawal supaya para wanita hamil dibawa ketempat Fir’aun sampai para wanita itu melahirkan. bila yang terlahir adalah bayi laki-laki maka akan dibunuh dan bila ternyata yang terlahir adalah bayi perempuan maka akan dibiarkan. Mendengar saran dari para menteri, Fir’aun segera melaksanakannya, sampai ia berhasil membunuh 12.000 anak kecil.
Kemungkinan yang kedua, seorang penguasa akan lebih diharapkan kesetabilannya dalam memimpin, ketika ia berjalan sesuai dengan prosedur dan perundang-undangan yang dibuat oleh para pakarnya. Namun dengan adanya pemimpin semacam ini, masih belum dapat dipastikan ia aman dari penyimpangan. Seperti raja Iskandar Dzulqornain, yang difasilitasi oleh Allah dengan peralatan, kekuatan, serta keilmuan sehingga ia mampu menaklukan banyak negara. Bahkan menurut syaikh Mujahid ia merupakan salah satu dari empat penguasa terbesar di dunia. Terjadi perbedaan pendapat tentang statusnya menyandang gelar nabi, namun sudah ada kesepakatan untuk masalah keimanan dan kesholihannya.
Dalam sebagian riwayat, Hisyam ibn Abd al-Malik pernah bertanya kepada seorang pendeta “beritahu aku, apakah Dzulqornain seorang nabi?” sang pendeta pun menjawab “ia bukan seorang nabi, akan tetapi ia diberi 4 hal, yaitu ketika ia mampu membalas lawannya ia tidak melepaskan amarahnya dan malah mengampuninya , ketika ia berjanji kepada seseorang, ia akan menepati sesuai dengan janjinya. Ketika ia hendak berkata, ia akan jujur dalam perkataannya dan ia tidak menyibukan dirinya dihari ini, untuk bekal dihari esok”
Sedangkan bila sebuah kepemimpinan berjalan dengan berdasarkan ajaran yang telah diwariskan nabi Muhammad SAW dan mengacu pada metode syari’at yang telah dibawa nabi SAW, maka dalam dunia islam dikenal dengan al-Kholifah atau al-Imam al-A’dhom.
Oleh karena adanya dua kemungkinan yang terjadi pada seorang pemimpin serta begitu besarnya tanggung jawab yang dibebankan, sudah sepatutnya bila menjadi seorang pemimpin termasuk ibadah yang paling utama. Sesuai dengan sabda nabi Muhammad SAW :
وقال صلى الله عليه وسلم ” أقرب الناس مني مجلساً يوم القيامة إمام عادل” رواه أبو سعيد الخدري
“Orang yang bertempat duduk paling dekat dengan ku kelak dihari kiamat adalah seorang imam yang adil”
Namun dengan begitu besarnya imbalan bagi seorang pemimpin yang adil kelak di hari kiamat, mengindikasikan bahwa begitu beratnya resiko yang akan ditanggung oleh seorang pemimpin yang lalim. Sesuai dengan ungkapan al-Gozali dalam Ihya’nya, yang diambil dari mafhum sebuah hadits
ويكون يوم من سلطان جائر شراً من فسق ستين سنة بمفهوم الحديث الذي ذكرناه
“satu hari dari seorang penguasa yang menyimpang, lebih buruk dari pada kefasikan 60 tahun”
Hal inipun juga disinggung didalam cerita sang penguasa dunia, raja Iskandar Dzulqornain. Ketika terjadi dialog antara ia dan seorang penguasa, setelah Dzulqornain mengajukan beberapa pertanyaan, yang kemudian dijawab oleh penguasa tersebut dengan kata-kata yang begitu indah, kemudian sang penguasa mengambil sebuah tengkorak dan menanyakannya pada Dzulqornain “wahai Dzalqornain taukah engkau siapa ini?” ia menjawab “tidak, memang siapa dia” , sang penguasapun menjelaskan “ia adalah salah satu dari raja bumi. Allah memberinya kekuasaan sehingga ia dapat menundukan penghuni bumi, yang kemudian ia berbuat lalim, dhalim, dan bertindak sewenang-wenang. Lalu Allah menghentikan kedhalimannya dengan mengakhiri hudupnya. Dan (ia yang dulunya penguasa) sekarang menjadi seperti batu yang dibuang. Allah telah menutup amalnya dan tinggal menunggu balasannya kelak diakhirat sesuai dengan perbuatannya didunia”. Kemudian sang penguasa mengambil tengkorak yang lain dan menanyakannya pada Dzulqornain “wahai Dzalqornain, taukah engkau ini siapa?” ia menjawab “tidak, memang dia siapa?”, sang penguasa menjelaskan “ia juga seorang raja, yang berkuasa setelah raja yang tadi. Oleh karena ia mengetahui kedhaliman raja sebelumnya, ia menjadikan dirinya seorang yang tawadlu’, merendahkan dirinya kepada Allah dan menjalankan tugasnya sebagai raja dengan adil terhadap ra’yatnya. Kemudian ia mati dan menjadi seperti apa yang sedang kau saksikan. Allah telah menutup amalnya dan tinggal menunggu balasannya kelak diakhirat sesuai dengan perbuatannya didunia” . setelah itu sang penguasa memegang tengkorak Dzulqornain dan berkata “dan ini akan menjadi seperti kedua tengkorak tadi, maka berfikirlah wahai Dzulqornain, apa yang telah kau perbuat??”
Adanya seorang penguasa merupakan suatu keharusan, namun mencarinya bagi orang-orang yang belum mampu menahan dirinya dari dunia merupakan sebuah aksi bunuh diri. Senada dengan hal ini sabda nabi SAW
وقال عليه السلام
” من استقضى فقد ذبح بغير سكين “
“barang siapa yang berusaha menjadikan dirinya seorang qodli, maka sungguh ia telah tersembelih tanpa pisau”
Selain itu nabi juga mengajari kita untuk tidak mencari keagungan dan merendahkan diri kepada Allah, yang mana hal itu telah beliau contohkan saat beliau diberi pilihan oleh Allah, antara bersetatus hamba yang menjadi utusan atau seorang raja yang bergelar nabi. sesuai saran dari kekasihnya, malaikat Jibril “merendahlah pada Tuhanmu”, akhirnya beliau lebih memilih menjadi seorang hamba yang menjadi utusan. Dan dengan kerendahan hati beliau, saat ini kita bisa melihat kesuksesan beliau dalam menyebarkan agama islam.
waallahua’lam.
Refrensi:
- Al-qomus al-Muhith darul fikr hal 858
- Al-mishbah al-Munir darul fikr hal 579
- Anwar al-Tanzil wa Asror al-Ta’wil wa hamisyih al-Haromain juz 1 & 3 hal 28 & 234
- Muroh Labid al-Tafsir al-Munir dar ihya’ al-kutub al-‘arobiyah juz 1 hal 3
- Salsalah al-Tarikh al-Islamy al-Khulafa’ al-Rosyidun sidogiri hal 3
- Bada’i’ al-Zuhur fi Waqo’i’ al-Duhur Al-hidayah hal 118
- Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil darul fikr juz 1 hal 273
- Ma’alim al-Tanzil hamisy tafsir al-Khozin darul fikr juz 1 hal 273
- Ihya’ Ulum al-Din toha putra juz 3 hal 180 & 315
- Ithaf al-Sadah al-Muttaqin darul fikr juz 8 hal 42
Oleh : Ketua Kajian Bahtsu masail kwagean.
.
Facebook Comments