Tulisan Bebas

Kenapa Harus Bermadzhab?

Untitled-1

Kenapa Harus Bermadzhab?

Slogan “ayo kita kembali pada al Qur`an dan sunnah” tidak henti-hentinya disuarakan oleh kelompok ekstrimis seperti kaum Wahhabi dan lainnya. Slogan seperti ini memang sudah sejalan dengan firman Allah ta’aalaa:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Maknanya:” Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(Q.Sannisa’59)

Namun ketika slogan di atas diucapkan oleh kalangan modernis maka memiliki beberapa tujuan, diantaranya:
1. Mengharamkan umat Islam bertaqlid pada madzhab tertentu dalam memahami ajaran agama (bermadzhab). Shiddiq Hasan Khan (salah seorang tokoh Wahhabi) mengatakan:
تقليد المذاهب من الشرك (الدين الخالص ص 196)
Dikatakan: “Taqlid terhadap madzhab adalah bagian dari kesyirikan”
Tokoh Wahhabi lainnya; Muhammad Sulthan al ma’shumi juga menegaskan:
إن الذي يتبع مذهبًا من المذاهب الأربعة هذا يستتاب فإن تاب فبها وإلا قتل) المسلم ملزم باتباع مذهب معين ص 13)
Dikatakan: “Sesungguhnya orang yang mengikuti salah satu madzhab dari madzhab yang empat ini harus diminta untuk bertaubat, jiaka jika dia mau bertaubat maka dibiarkan dan apabila tidak (mau taubat) maka dibunuh”.
2. Mengajak umat Islam seluruhnya untuk berijtihad (memahami secara langsung ajaran agama dari sumbernya; al Qur’an dan sunnah), terbukti mereka sering mengulang-ulang perkataan: “Mereka (para mujtahid) adalah manusia dan kita juga manusia, tidak seharusnya kita taqlid kepada mereka.”
3. Mengajak umat Islam untuk memahami al Qur’an dan hadits secara langsung dengan membeli al Qur’an terjemah atau buku-buku terjemahan hadits tanpa mengikuti pemahaman seorang mufassir atau mujtahid.
Akibat Tidak Bermadzhab
Pemahaman al Qur’an dan hadits dengan mengikuti pemahaman seorang mujtahid dimaksudkan untuk menjaga kemurnian ajaran Islam. Sebab al Qur’an dan hadits nabi tidak cukup dipahami hanya dengan modal al Qur’an terjemah atau hadits terjemah. Akan tetapi membutuhkan piranti-piranti lainnya seperti asbab an nuzul, nasikh dan nasikh, ushul fiqh, bahasa arab, nahwu, sharah, ‘am dan khash, muthlaq dan muqayyad dan lain sebagainya. Sehingga hanya mungkin dilakukan oleh para ulama yang kompeten (memenuhi kreteria-kriteria tersebut)
Pemahaman terhadap al Qur’an dan hadits tanpa melalui pemahaman para mujtahid sangat rentan kesalahan dan penyimpangan. Berikut ini beberapa contoh pemahaman kelompok ekstrim terhadap ayat al Qur’an:

  1. Pemahaman Wahhabi bahwa Allah duduk di atas Arsy berdasarkan Q.S as Syura:11, dan pemahaman mereka bahwa Allah adalah berupa jisim yang memiliki anggota badan berdasarkan ayat-ayat mutsyabihah yang mengindikasikan hal tersebut
  2. Pemahaman Hizbul Ikhwan bahwa setiap orang yang berhukum dengan selain hukum al Qur’an adalah kafir berdasarkan Q.S al Maidah: 44
  3. Pemahaman HTI bahwa hidayah dan kesesatan ditentukan oleh manusia, bukan oleh Allah berdasarkan an Nisa: 79
  4. Pemahaman Muhammadiyah bahwa hisab bisa dijadikan sebagai dasar penentuan awal Ramadlon berdasarkan Q.S an Nahl: 16
  5. Pemahaman JIL tentang kebebasan beragama berdasarkan Q.S al Baqarah: 256 dan Q.S al Kafirun:6
  6. Pemahaman para shufi gadungan bahwa Allah ada dimana-mana berdasarkan Q.S Qaf:16 dan al Baqarah: 115 serta al Hadid: 4
  7. Dan seterusnya

Berdasarkan penjelasan di atas maka celaan kelompok ekstrimis terhadap madzhab memiliki dua kemungkinan:

  1. Mayoritas ajaran mereka bertentangan dengan ajaran para ulama, sehingga untuk menyembunyikan kesesatan tersebut, mereka mengarahkan pengikutnya untuk meninggalkan ulama dan mengajak kepada ajaran yang mereka klaim sebagai ajaran yang paling sesuai dengan al Qur’an dan sunnah
  2. Mereka mencela taqlid terhadap madzhab, sehingga kemudian mereka memahami al Qur’an dan sunnah atas dasar kebodohan dan hawa nafsu. Akibatnya kesalahan dan kesesatan terjadi, tanpa dapat dicegah.

 

Keniscayaan Bermadzhab
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak mungkin seseorang yang tidak memenuhi kriteria sebagai seorang mujtahid dapat memahami al Qur’an dan hadits secara langsung. Dia harus bertaqlid kepada salah satu dari madzhab yang ada dalam memahami al Qur’an dan hadits. Kenyataan bahwa umat Islam terbagi menjadi dua kelompok; mujtahid dan muqallid telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alayhi wasallam.
نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِيْ فَوَعَاهَا فَأَدَّاهَا كَمَا سَمِعَهَا، فَرُبَّ مُبَلِّغٍ لاَ فِقْهَ عِنْدَهُ (رواه الترمذي وابن حبان)
Maknanya: “Allah memberikan keselamatan dan wajah yang berseri-seri di hari kiamat kepada seseorang yang mendengar perkataanku, kemudian ia memeliharanya dan menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya, betapa banyak orang yang menyampaikan tapi tidak memiliki pemahaman (terhadapnya).” (H.R. at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Bukti terdapat pada lafazh:
فَرُبَّ مُبَلِّغٍ لاَ فِقْهَ عِنْدَهُ
“Betapa banyak orang yang menyampaikan (hadits) tapi tidak memiliki pemahaman terhadapnya.”
Dalam riwayat lain:
وَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ
“Betapa banyak orang yang mendengar (disampaikan kepadanya hadits) lebih mengerti dari yang menyampaikan.”
Bagian dari lafazh hadits tersebut memberikan pemahaman bahwa di antara sebagian orang yang mendengar hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam ada yang hanya meriwayatkan saja dan pemahamannya terhadap kandungan hadits tersebut kurang dari pemahaman orang yang mendengar darinya. Orang yang kedua ini dengan kekuatan nalar dan pemahamannya memiliki kemampuan untuk menggali dan mengeluarkan hukum-hukum dan masalah-masalah yang terkandung di dalam hadits tersebut. Dari sini diketahui bahwa sebagian sahabat Nabi ada yang pemahamannya kurang dari para murid dan orang yang mendengar hadits darinya. Pada lafazh lain hadits ini:
فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ
“Betapa banyak orang yang membawa fiqh kepada orang yang lebih paham darinya.”
Dua riwayat ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban.
Para ulama hadits yang menulis karya-karya dalam ilmu Mushthalah al Hadits menyebutkan bahwa para ahli fatwa dari kalangan sahabat kurang dari sepuluh, yaitu sekitar enam menurut suatu pendapat. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa ada sekitar dua ratus sahabat yang mencapai tingkatan Mujtahid dan ini pendapat yang lebih sahih. Jika keadaan para sahabat saja demikian adanya maka bagaimana mungkin setiap orang muslim yang bisa membaca al Qur’an dan menelaah beberapa kitab berani berkata: “Mereka (para mujtahid) adalah manusia dan kita juga manusia, tidak seharusnya kita taqlid kepada mereka.” Padahal telah terbukti dengan data yang valid bahwa kebanyakan ulama salaf bukan mujtahid, mereka ikut (taqlid) kepada ahli ijtihad yang ada di kalangan mereka.

Dalam shahih al Bukhari diriwayatkan bahwa seorang buruh (pekerja sewaan) telah berbuat zina dengan isteri majikannya. Lalu ayah pekerja tersebut bertanya tentang hukuman atas anaknya, ada yang mengatakan: “Hukuman atas anakmu adalah membayar seratus ekor kambing dan memerdekakan seorang budak perempuan.” Kemudian sang ayah kembali bertanya kepada ahli ilmu, jawab mereka: “Hukuman atas anakmu dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun.” Akhirnya ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersama suami perempuan tadi dan berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya anakku ini bekerja kepada orang ini, lalu ia berbuat zina dengan isterinya. Ada yang berkata kepadaku hukuman atas anakku adalah dirajam, lalu aku menebus hukuman rajam itu dengan membayar seratus ekor kambing dan memerdekakan seorang budak perempuan. Lalu aku bertanya kepada para ahli ilmu dan mereka menjawab hukuman anakmu adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun?” Rasulullah berkata: “Aku pasti akan memberi keputusan hukum terhadap kalian berdua dengan Kitabullah, al walidah (budak perempuan) dan kambing tersebut dikembalikan kepadamu dan hukuman atas anakmu adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan (dari kampungnya sejauh jarak Qashar –sekitar 78 Km) setahun.”
Laki-laki tersebut sekalipun seorang sahabat tapi ia bertanya kepada para sahabat lainnya dan jawaban mereka salah lalu ia bertanya kepada para ulama di kalangan mereka hingga kemudian Rasulullah memberikan fatwa yang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh para ulama mereka. Dalam kejadian ini Rasulullah memberikan pelajaran kepada kita bahwa sebagian sahabat sekalipun mereka mendengar langsung hadits dari Nabi namun tidak semuanya memahaminya, artinya tidak semua sahabat memiliki kemampuan untuk mengambil hukum dari hadits Nabi. Mereka ini hanya berperan meriwayatkan hadits kepada lainnya sekalipun mereka memahami betul bahasa Arab yang fasih. Dengan demikian sangatlah aneh orang-orang bodoh yang berani mengatakan: “Mereka adalah manusia dan kita juga manusia…” Mereka yang dimaksud adalah para ulama mujtahid seperti para imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal).
Semakna dengan hadits di atas, hadits yang diriwayatkan Abu Dawud tentang seorang laki-laki yang terluka di kepalanya. Pada suatu malam yang dingin ia berhadats besar (junub), setelah ia bertanya tentang hukumnya kepada orang-orang yang bersamanya, mereka menjawab: “Mandilah!” Kemudian ia mandi dan meninggal (karena kedinginan). Ketika Rasulullah dikabari tentang hal ini, beliau berkata: “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membalas perbuatan mereka, Tidakkah mereka bertanya kalau memang tidak tahu, karena obat ketidaktahuan adalah bertanya!” Jadi obat kebodohan adalah bertanya, bertanya kepada ahli ilmu. Lalu Rasulullah berkata: “Sesungguhnya cukup bagi orang tersebut bertayammum, dan membalut lukanya dengan kain lalu mengusap kain tersebut dan membasuh (mandi) sisa badannya.” (H.R. Abu Dawud dan lainnya). Dari kasus ini diketahui bahwa seandainya ijtihad diperbolehkan bagi setiap orang Islam untuk melakukannya, tentunya Rasulullah tidak akan mencela mereka yang memberi fatwa kepada orang junub tersebut padahal mereka bukan ahli untuk berfatwa.

Jadi ijtihad diperbolehkan bagi para ahli yang telah memenuhi syarat-syaratnya, dan bukan bagi setiap individu ummat Islam. Jika ijtihad dibolehkan bagi setiap muslim meski belum memenuhi syarat maka itu akan mengantarkan pada kekacauan dalam agama dan hukum. Ijtihad dengan menghalalkan sesuatu dan mengharamkannya adalah tugas seorang mujtahid seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad –semoga Allah meridlai mereka-. Tidak setiap orang yang telah menulis sebuah buku, kecil maupun besar dapat mengambil tugas para Imam mujtahid, sehingga berfatwa, menghalalkan ini dan mengharamkan itu tanpa merujuk kepada perkataan para Imam mujtahid dari kalangan salaf dan khalaf yang telah dipercaya oleh ummat karena jasa-jasa baik mereka.
Dan demikianlah kenyataannya, Allah telah membangkitkan untuk berkhidmat kepada agamanya para ulama’ yang amanah, bertakwa dan wara’, dan Allah perintahkan agar ummat merujuk kepada mereka dalam urusan agama mereka, Allah ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maknanya: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. an-Nahl: 43)
Di antara Ahl adz-Dzikr tersebut adalah para pendiri madzhab empat; asy-Syafi’i, Malik, Abu Hanifah dan Ahmad. Kemudian para ulama mujtahid tersebut dan lainnya tidak pernah mensyaratkan kepada orang yang hendak mengikuti madzhab mereka bahwa ia harus mengetahui dalil dan metode istinbath-nya, sebagaimana para sahabat juga tidak selalu menjelaskan dalil ketika menyampaikan fatwa kepada ummat.

Madzhab-Madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah Menurut NU

1.Akidah

NU dalam bidang akidah mengikuti akidah Nabi dan para sahabatnya berdasarkan rumusan imam Abu Hasan al Asy’ari dan imam Abu Mansur al Maturidi. Dalam naskah khithah NU pasal 3 point (b), disebutkan bahwa dalam bidang akidah, NU mengikuti faham Ahlussunnah wal Jamaah yang dipelopori oleh imam Abu Hasan al Asy’ari dan imam Abu Manshur al-Maturidi.
Pemikiran kedua tokoh ini dipilih karena:
a. Rumusan akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah didukung dengan dalil naqli (al Qur’an dan hadits) yang cukup dan dibuktikan kebenarannya oleh dalil aqli yang tidak dapat terbantahkan. Sehingga tidak ada pertentangan antara al Qur’an dan akal.
b. Akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah dianut oleh para pembesar ulama dalam semua disiplin ilmu; para mutakallimin, ushuliyyin, fuqaha`, muhadditsin, shufiyyin dan lainnya. Mereka seperti al Khatib al Baghdadi, al Hafidz ad Daruquthni, Abdul Basith a Fakhuri, Ibnu Hajar al Asqalani, al Imam ar Rifa’I, al Hafidz al Iraqi, Abu Bakar Ibn Furak, Abul Hasan al Bahili, al Qadhi Abdul Wahhab al Maliki,Abul Qasim al Qusyairi, Zakariya al Anshari, al Ghazali, al Qadhi Iyad, Ibnu Aqil al Hanbali, al Hafidz al Alai, Abu Bakar al Bakilani, al Imam al Juwaini, Taqiyuddin as Subki, Fakhruddin Ibn Asakir, al Hafidz az Zabidi, dan lainnya tidak terhitung banyaknya.
c. Akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah dianut oleh para sultan yang shalih seperti Shalahuddin al Ayyubi, Mudzafaruddin al Kaukabri dan bahkan oleh sultan Muhammad al Fatih yang telah dikabarkan oleh Nabi sebagai pemimpin yang paling baik. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
لَتُفْتَحَنَّ اْلقَسْطَنْطِيْنِيَّةُ فَلَنِعْمَ اْلأَمِيْرُ أَمِيْرُهَا وَلَنِعْمَ اْلجَيْشُ ذَلِكَ اْلجَيْشُ
Maknanya: “Konstantinopel benar-benar akan ditakhlukkan, maka benar-benar sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik tentara adalah tentara itu”
d. Akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah bersifat muktadil (moderat), tidak ghuluw (berlebihan/melampau batas yang diperintahkan) juga tidak taqshir (cenderung mengabaikan ajaran agama), tidak ifrath (ekstrim kanan) juga tidak tafrith (ekstrim kiri).

2. Bidang syari’ah

Dalam bidang syari’ah atau fiqh NU mengikuti rumusan salah satu dari madzhab empat yaitu:

a. Madzhab Hanafiy yang rumuskan oleh imam Abu Hanifah an Nu’man bin Tsabit
b. Madzhab Maliky yang dirumuskan oleh imam Malik bin Anas
c. Madzhab Syafi’iy yang dirumuskan oleh imam Muhammad bin Idris as Syafii
d. Madzhab hanbaliy yang dirumuskan oleh imam Ahmad bin Hambal
Alasan utama pemilihan empat madzhab di atas diantaranya adalah:
a. Madzhab-madzhab tersebut adalah madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah. Seluruh para ulamanya mengikuti akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam bidang akidah.
b. Empat imam madzhab tersebut dalam bidang akidah memiliki rumusan yang sama dengan Asy’ariyah dan Maturidiyah
c. Empat madzhab tersebut adalah madzhab yang terbukti mampu bertahan sampai sekarang setelah melalui seleksi alam. Sedangkan madzhab ahlussunnah lainnya seperti madzhab Sufyan At Tsauri dan al Auzaiy telah punah.
d. Empat imam madzhab tersebut mempunyai murid yang secara istiqamah mengajarkan madzhab sang guru, berdasarkan buku induk dari karya sang imam

3. Bidang Akhlak/Tashawuf
Dalam bidang akhlak/tashawuf NU mengikuti ajaran tashawwuf yang dirumuskan oleh imam al Ghazali dan imam Junaid al Baghdadi. Rumusan dua imam Shufi ini didasarkan pada beberapa alasan, antara lain:
a. Rumusan tashawwuf dua imam tersebut didasarkan pada akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Sehingga ajaran tashawwuf mereka terbebas dari akidah yang menyimpang dari akidah Ahlussunnah Wal jama’ah seperti akidah hulul dan al wahdah al muthlaqah. Hulul adalah akidah menyimpang yang mengatakan bahwa Allah bertempat pada sebagian tubuh walinya, sedangkan al wahdah al muthlaqah adalah akidah menyimpang yang mengatakan bahwa Allah itu bersatu dengan alam, bahwa masing-masing dari alam semesta ini adalah bagian dari Allah.
b. Rumusan tashawwuf dua imam tersebut didasarkan pada syari’at yang benar. Tidak mempertentangkan antara hakekat, thariqah dan syari’ah, juga tidak mempertentangkan antara dhahir dan bathin. Tidak ada hakekat tanpa syari’at. Imam Junaid al Baghdadi pemimpin para sufi mengatakan:
طَرِيْقُنَا هَذَا مَضْبُوْطٌ بِاْلكِتَابِ وَالسُّنَّةِ إِذِ الطَّرِيْقُ إِلَى اللهِ مَسْدُوْدَةٌ إِلَّا عَلَى اْلمُقْتَفِيْنَ ءَاثَارَ رَسُوْلِ اللهِ
“Jalan kita ini (tasawwuf) diikat dengan al Qur’an dan sunnah Rasul, karena sesungguhnya setiap jalan menuju Allah itu tertutup kecuali bagi mereka yang berpegang teguh dengan apa yang digariskan Rasulullah”
c. Hakekat tashawwuf menurut mereka adalah ilmu dan amal. Sehingga tashawwuf mereka selalu menekankan kepada umat Islam untuk menuntut ilmu, bertashawwuf dengan ilmu tidak bertashawwuf dengan kebodohan.

Facebook Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Close