Tulisan Bebas
Tawakal Dalam Penantian
Selesai sudah UN (Ujian Nasional, namaku Jeri. hari ini aku lulus MA dengan nilai yang cukup membanggakan, setelah aku melihat daftar kelulusanku, segera aku menghampiri gadis tercantikku, dia adalah Laras. dengan bahagia dia berhamburan dengan pilok tepat di dadaku dengan bentuk LOVE. hari ini kami berdua lulus sekolah, Setelah semua selesai, beberapa hari berikutnya aku menjelaskan padanya bahwah aku ingin merantau ke pulau Jawa, aku ingin melanjutkan pendidikanku di pulau yang diinjak Wali Songo itu, kulihat dia mendadak murung sembari menangis, segera aku mengerti, sebisa mungkin aku menjelaskan padanya bahwah aku akan tetap mencintainya, aku berjanji tak akan menghiantinya. perlahan dia mengerti, akhirya dia membuat perjanjian setia bersamaku.
“Jeri, berjanjilah padaku”
“Iya, aku berjanji” jawabku.
“Dengan kuasa tuhan aku akan menunggumu”, ucapanya dengan serius.
“Dengan kuasa Tuhan aku akan kembali untukmu”, Balasku.
Itulah perjanjian yang kami ucapkan, tanpa tuduhan ucapan, namun perjanjian ini terasa sakral, hinggah membuat jantungku bergetar.
Beberapa minggu berikutnya aku benar-benar meninggalkan pulauku, aku berencana ke-pesantren untuk menghilangkan kebodohan yang makin terasa, dari sekian pesantren di jawa aku memilih Kwagean sebagai tujuanku.
Hari-hari disini terasa menyenangkan, banyak hal yang dapat kuambil dari perantauanku, sesuai dengan kebiasaan, semua anak yang berasal dari pulau seberang di sini terbiasa pulang tiga tahun sekali. alhasil aku juga ingin merasakan bagaimana rasanya menyimpang rindu pada orang yang kita sayangi selama itu, dan bagaimana jadinya jika setelah tiga tahun baru kembali….
Aku memiliki IQ yang cukup bagus, sehingga tidak sulit bagiku menerima pelajaran berbahasa asing yang notabennya berasal dari negri Arab, negri Nabiku SAW, yang kini benar-benar kurinduhkan melebihi orang yang kucintai, bahkan laras sekalipun, sehinggah aku mendapatkan perestasi yang bagus. Berbicara tentang Laras, jujur aku selalu saja merinduhkannya, namun untuk komunikasi via hanphone di pesantren adalah hal yang mustahil, kecuali jika hari libur, sehingga dalam satu tahun ini baru dua kali aku menghubunginya, dia masih sama, Larasku yang terus membuatku bahagia. Aku masih ingat saat pertama kali suaraku berbunyi dia benar-benar histeris, satu kali telfon kami mengabiskan waktu berjam-jam, saat dia bertanya kapan aku pulang, sejenak aku terdiam, aku ragu menyawab sesuai dengan rencanaku, namun akhirnya aku menjawab dengan jujur bahwah aku akan pulang selam tiga tahun sekali, dan seperti yang kuduga dia benar-benar marah, alhasil kami bertengkar dengan bahasa puitis, tak tahan dengan pertengkaran, aku mengahirinya dengan menutup telfon paksa, namun lima menit berikutnya aku merasah bersalah, akupun menelfonnya kembali, aku berbicara padanya bahwah jika dia tidak menyetujui keinginanku tak mengapa, lebaran kali ini aku akan pulang untuknya, tapi untuk tahun berikutnya aku memintanya agar menyetujui keinginanku, sejenak terdengar senyum puas di sana, hatiku pun lega.
Setelah Lebaran selesai aku kembali ke pesantren tercintaku, kembaliku mulai perjalanan belajarku, aku ingin melompat ke kelas atasku agar aku dapat menempuh pendidikan pesantren dengan cepat. benar saja aku berhasil diterima naik kelas setingkat di atasku setelah aku menjalani tes yang cukup rumit dan sulit, dengan ini berarti perjalananku membutuhkan waktu empat tahun lagi.
Terasa menyenangkan menikmati pendidikan yang serba tak ada habisnya ini, selalu banyak hal di depan yang belum aku ketahui, semakin aku menggali semakin aku menyadari betapa bodohnya aku saat ini. pesan moral benuansa Tasawuf yang ku dengar setiap hari dari Romo Kyai semakin menebalkan kemanusiaanku, tak ada hal yang patut di perjuangkan kecuali Akhirat, jika kita berjuang mendapatkan dunia maka harus memiliki himmah atau tujuan untuk menggapai akhirat.
………………………………….
Tiga tahun berlalu tanpa terasa, kini aku menjadi pembicara aktif dalam musyawaroh, dan sesuai dengan kemampuanku dalam menyampaikan hujjah aku sering dikirim sebagai delegasi pesantren untuk Bahtsul Masail di mana-mana, maka perkembangan bicarakupun semakin terasah, dan yang tak tertinggal aku benar-benar mewujudkan keinginanku pulang tiga tahun sekali, tak perduli betapa rewelnya Larasku setiap berbicara tentang kapan aku pulang, namun walau demikian hubungan kasih kami tetap terjaga, aku benar-benar menjaga janjiku, begitupun Laras, dia terus mencintaiku.
Namun kini hubungan kami mendapatkan ujian, setelah aku mendapat kabar bahwa ia akan dijodohkan dengan anak seorang pengusaha kebun disana, aku tau siapa lelaki itu, dia adalah Munir, kakak kelasku yang pernah tenar di sekolah, karena kemampuan vollynya, aku sempat kenal dengannya namun tidak terlalu akrab.
Saat itu Laras segera menghubungiku melalui nomer pesantren dan memintaku agar aku menjelaskan kepada orang tuanya, dia menjelaskan bahwa ke-tidak pulanganku selama tiga tahun ini membuat orang tuanya mengambil kesimpulan bahwa aku tidak lagi dapat diharapkan. Sejenak aku berfikir tentang cara lain selain pulang, aku memintannya agar memberikan HP pada ibunya, segera aku menjelaskan pada ibunya tentang ketidak pulanganku selam tiga tahun ini, aku meminta beliau bersedia menggagalkan acara lamaran Laras, naas ibu Laras segera menutup telpon tanpa menanggapi apa yang aku bicarakan tadi, aku semakin pusing karena Laras tidak menelfon balik, sedangkan HP pesantren sama sekali tidak ada pulsanya dan memang sengaja diatur demikian. Dua hari tidak ada panggilan telfon pesantren untukku, sedangkan HPku masih berada di tangan keamanan, untuk mengambilnya harus menunggu hari libur datang, maka kali ini aku beranikan diri untuk melanggar peraturan pesantren, aku membeli HP baru untuk menghubungi Laras, telfon masuk suara Laras terdengar lirih.
“Halo, Laras ini aku sayang”, jelasku. “Halo,, mas jeri, mas tolong pulang mas,, aku menunggu mu,, aku tak mau kehilanganmu… dua hari lagi keluarga mas Munir datang melamar, dan orang tuaku memaksaku menerimanya,, mas,, pulang mas,,” jelas Laras sambil terisak.
“Iya saying… kamu tenang dulu ya, ayah ada disana?” tanyaku.
“Percuma mas,ibu sama ayah sama saja, mereka sudah sepakat menikahkanku dengan mas Munir…”
“Sayang, kamu tenang duluya, aku janji akan pulang, tapi kamu jelaskan dulu kenapa beritanya mendadak seperti ini ?” Tanyaku dengan serius.
“ Mas, keluargaku dengan keluarga mas Munir sebenarnya ada ikatan kerabat, dan sebenarnyapun mereka berusaha menjodohkanku sejak aku lulus MA dulus mas, aku tidak mau memberi tau mas karena aku takut mas meragukanku…! Mas,, aku benar-benar menjaga perjanjian kita mas, aku menunggumu siang dan malam, banyak lelaki dikampus yang berusaha mendapatkanku namun aku menolak, kini tanpa sepengetahuanku ayah dan ibu berencana langsung menikahkanku dengan mas Munir setelah aku menyelesaikan semester delapanku 4 bulan lagi tahun ini, mereka tetap memaksaku meski aku menolak, dan, oh… ibuku lemas terlalu lama untuk ditunggu, mas.. pulanglah mas.., aku menunggumu, aku tak mau menikah dengannya mas,,”
Kalimat Laras membuatku terdiam lama, otakku kacau tak tau apa yang harus kuperbuat. orang tua Laras memang benar, bahkan aku berencana untuk menyelesaikan pendidikanku selama 3 tahun lagi, 4 tahun ini terasa masih kurang bagiku, tapi jika mengejar mimpiku aku akan kehilangan Larasku, oh tuhan…!, ini pilihan yang sulit.
“Halo, Mas Jeri?? Mas??”, suara Laras menuntut tanggapanku.
“Eh iya Laras”, jawabanku sambil terbata, berikutnya suara Laras memohon dengan suara isak
“Mas, tolong katakan mas akan pulang mas,, aku tak mau menikah dengan pria itu,, Mas,, aku selalu menunggumu, jangan sia-siakan aku mas,,”
“Baik Laras, aku akan berfikir dulu”
“Tidak ada waktu untuk berfikir mas…” sergap Laras dengan cepat
“ Baik aku akan pulang…”
Baru kalimat itu kuucapkan, keamanan datang dari belakangku dan merampas HPku, aku sempat berontak, tapi aku tau itu akan jadi masalah serius nantinya, akhirnya aku berikan HP itu setelah aku berpamitan pada Laras.
Malam setelah itu aku sowan ke Ndalem untuk meminta izin pulang selama seminggu pada Romo Kyai, aku tak menjelaskan tentang alasanku karena beliau tidak bertanya, namun kemudian kulihat beliau tersenyum sambil dawuh:
“Cobaan bagi santri itu sebenarnya sangat banyak sekali, dan diantara sekian godaan, memang wanita adalah godaan terberat, jika kang Jeri mengikuti saran Romo maka janganlah pulang, setidaknya sampai 3 tahun lagi, namun jika kang Jeri tetap ingin pulang, maka Romo tidak akan menahan, percayalah, Allah sebaik-baik penjaga, dan kang Jeri hanya perlu meminta agar Allah menjaga gadis itu”
Aku terhenyak dengan penjelasan mendadak Romo ini, aku tidak berani bertanya dari mana beliau mendapatkan informasi yang sangat kujaga rapat bahkan dari teman sekamarku sendiri, segera beliau menjabat tanganku dan meninggalkanku kemudian masuk kedalam.
Setelah itu aku kembali ke kamar, fikiranku menjadi kacau, aku mendapat pentunjuk dari Romo Kyai dengan cara yang lebih rumit dari pada permintaan Laras, kegundahan ini terus berlanjut hingga aku benar-benar merasa pusing dikepalaku, dengan perasaan hancur kulempar mahkota peciku, kuacak-acak rambutku yang semakin awut-awutan, sambil berdiri perlahan aku menyandarkan kepada rak buku, tanpa sengaja sebuah kitab fiqih jatuh karna tertindih kepalaku, dengan sigap aku berusaha menangkapnya namun tetap jatuh, lalu kuambil kitab malang itu, dan kulihat kitab itu terbuka tepat pada bab Sholat Istikhoroh.
“Oh tuhan,, maafkan aku karna melupakanmu…”
Segera aku berangkat ke masjid dan mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat yang baru pertama kali ini kulaksanakan, ya… Sholat Istikhoroh.
Pada malam istikhoroh itu, akhirnya aku dapat menentukan pilihanku dengan mantap, bahwa aku tak akan pulang selama 3 tahun lagi, apapun yang terjadi aku akan rela menerimanya, hanya saja aku sedikit memaksa pada Tuhanku, bahwa bagaimanapun caranya aku ingin dia tetap menjaga Laras agar tetap menjadi milikku, aku memintanya bertanggung jawab karena menumbuhkan cinta pada hati kami yang begitu hebatnya.
Benar saja do’aku terjawab, satu bulan sebelum pernikahan Laras dengan Munir, orang tua Laras menghubungiku dengan menangis tertaba-taba, mereka menceritakan tentang keadaan Laras yang sedang dirumah sakit, Laras mencoba bunuh diri karna menolak menikah dengan Munir, dan spontan hal itu membuat orang tua Laras ketakutan kalang kabut, mereka bercerita panjang lebar tentang Larasku, aku kaget karena berita ini menyayat hatiku betapa Laras mencintaiku, juga membuatku khawatir betapa gilanya Laras mengambil tindakan senekat ini, namun ada kebahagian yang meluap-luap didalam batinku, bahwa tak semudah membalikan tangan untuk memisahkan cinta kami berdua, dan pada akhirnya mereka bertanya apakah aku bersedia menikahinya, langsung saja aku menjawab bersedia, ini adalah pertanyaan calon mertua yang paling menggembirakan, hanya saja dengan syarat menungguku selama 3 tahun lagi, alhasil Laras yang menentukan sikap, dan seperti yang ku pastikan dia bersedia menungguku kapanpun aku pulang.
Setelah itu hubunganku dengan Laras tak ada lagi yang mengganggu, kami menjalani hari-hari dengan pendidikan masing-masing, selama satu tahun kami memiliki kouta kontak selama setengah bulan saja untuk sekedar bicara via telfon.
……………………………………
Tiga tahun berlalu tanpa terasa, aku menjalani hariku dengan ketenangan batin, semuanya telah kupasrahkan pada Allah SWT, tuhanku yang tercinta melebihi segalanya, dan sampai kini aku juga belum pulang ke tanah kelahiranku, artinya ini adalah 7 tahunnya aku berada dipulau orang, dengan ketenangan batin ini pendidikanku semakin gemilang, aku berhasil menyelesaikan pendidikanku dua tahun lalu, setelah satu tahun menjabat sebagai pengurus pusat, kini aku telah menjadi kepercayaan Romo Kyai, beliau selalu memanggilku jika ada keperluan pergi keluar kota ataupun undangan yang membutuhkan pendamping.
Setelah aku merasa cukup puas belajar di pesantren, kali ini aku berniat pulang ketanah kelahiranku dengan pulang yang sebenarnya (Boyong), dan Alhamdulillah Romo Kyai memberikan restu, saat ini adalah bulan ramadhan tepatnya tanggal 20, beberapa hari yang lalu aku meminta pamit pada Romo Kyai untuk boyong, dan malam ini beliau kembali memanggilku agar ke Ndalem, tidak biasanya kali ini beliau menyuruhku menunggu di ruangan keluarga, aku terdiam canggung cukup lama, dan tanpa bosan menunggu akhirnya beliau keluar dari kamar dan segera duduk setelah aku menjabat tangan beliau, kemudian Romo Kyai dawuh:
“Kang Jeri, ini ada dua bingkisan, jangan dibuka kalau belum menikah, kalau nanti sudah ketemu jodoh, maka bungkusan yang ini sampean, dan yang ini untuk istri sampean” jelas beliau lembut.
“Injeh yai,,,” jawabku sendiko dawoh, aku gugup karena beliau menyinggung soal calon istri, romo kyai memang serius membuatku pusing dengan teka-teki bahasa anehnya, tapi kali ini lebih aneh kenapa juga beliau memberikan bingkisan kecil dan aku boleh membukanya hanya setelah menikah? Ini sangat membuatku penasaran dan ingin segera menikah. Segera aku pamit pulang dan meminta restu beliau agar ilmuku barokah.
Puasa Ramadhan ke-26 aku memulai perjalanan pulang, dan sampailah aku di tanah kelahiranku pada Ramadhan ke-28, betapa bahagianya ibu dan ayahku melihat putranya kini berdiri di depan rumah, segera ibuku memelukku dengan isak tangis
“Kamu semakin tampan dan gagah nak’’, puji beliau yang ku balas dengan senyum
Sengaja memang aku tidak memberikan kabar pada siapa pun tentang kepulanganku hari ini, apa lagi Laras, aku ingin memberikan kejutan padanya, aku akan melamarnya segera malam nanti, segalanya telah aku persiapkan setelah mendapat restu pulang dari Kyai.
Sesaat setelah berbuka aku menjelaskan keinginanku pada orang tuaku, dan tidak membutuhkan waktu lama, mereka segera merestui keinginanku, alhasil aku membawa keluarga kecilku berbondong-bondong ke rumah Laras usai sholat Tarawih. butuh waktu hampir satu jam untuk sampai kesana, dan setelah sampai. Gadis dengan kerudung ungu terlampir, dengan busana Rok Meksi bercorak batik, berkaos panjang sederhana santai, dengan busana santai dia telah berhasil terlihat anggun dan cantik, dia lah Larasku, sejenak setelah membuka pintu, dia menatapku terdiam ternganga, kulihat bibirnya bergetar sambil menyebut namaku pelan, matanya berkaca-kaca, sambari meneteskan air mata kebahagiaan, kulihat dia membungkam mulutnya tanda bahwa ia mulai tak mampu menahan gejolak yang meluap dalam hatinya, dia terus menatapku seakan tak percaya aku hadir dihadapanya, seakan dia takut bahwa ini hanya mimpi, saat seperti itu aku tak kuasa hanya melihatnya, jika saja syari’at tidak melarang tentu aku akan kupeluk seerat-eratnya, ibuku mendekat dan memeluknya, seraya lembut ibuku menuntunya untuk duduk bersamanya dengan isak tangis Laras yang tak mampu ia hentikan, saat seperti itu ibu dan ayah Laras melihatku dan segera memelukku bersamanya.
Tidak lama kemudian ayahku memulai pembicaraan dan menyampaikan maksud melamar, langsung saja orang tua Laras menjawab tentang penerimaanya, namun diluar dugaan Laras yang tadi hanya diam tertunduk angkat bicara dengan suara isak yang ia tahan.
“Aku tidak mau dilamar, aku telah menunggu selama 7 tahun untuk hari ini, aku tak mau hanya dilamar, ayah, nikahkan aku segera dengan mas Jeri malam ini, aku tak mau menunggu lagi”
Seluruh yang hadir kaget serentak, namun kemudian semuanya tersenyum bahagia mendengar ungkapan Laras, aku gugup bukan kepalang, tak kusangka Laras menyiapkan kejutan juga untukku, kulihat Laras melihatku dengan tatapan dendam yang membuatku serba salah, segera malam itu dengan dua saksi dadakan aku melaksanakan akad pernikahanku.
Berikutnya aku dan Laras mereka persilahkan untuk memasuki kamar, aku terpana dengan kamar Laras yang menjadi kamar pengantinku, terlihat fotoku terpampang dimana-mana, dia tersenyum sambil memperlihatkan seluruh keunikan kamarnya, malam ini dia adalah istriku, segera istriku memelukku erat dengan isak tangisnya yang masih kudengar, kubiarkan istriku melakukan apa yang dia mau, baju yang masih kupakai ditarik-tarik untuk membersihkan ingusnya, berikutnya dia melepaskan pelukanku, segera setelah itu dia menampar pipiku.
“Aduh,,,” keluhku.
“Kenapa? Sakit?” Ungkapanya sambil memandangku tajam.
“Nggak…“ jawabku.
“Serius? Mau lagi??” tawarnya.
“Memangnya tega?” Jawabku menantang.
Benar saja istriku menampar pipiku kembali, dan kali ini dengan lebih keras, setelah menamparku dia memelukku kembali, dan kembali ia terisak sambil berkata:
“Suamiku, taukah kamu betapa menderitanya aku karna menantimu? Tiada hari tanpa bayanganmu, tiada hari tanpa memikrkanmu, aku berdo’a tanpa henti agar kau terpanggil pulang dan,,,” segera aku menutup bibirnya dengan jari telunjukku.
“Sssst,,,, Iya istriku, aku mengerti, maafkan aku membuatmu menanti, aku berjanji setelah hari ini tak ada lagi penantian, aku milikmu sepenuhnya,,,,” Kembali mata indahnya menatapku dengan senyum bahagia, kemudian aku melanjutkan
“Oya, ada bingkisan dari Romo Kyai, sebentar aku ambil dulu”
Berikutnya kuambil bingkisan untuknya dan untukku, pertama kubuka bingkisan milikku, dan teryata isinya sebuah kertas yang bertuliskan “Jadilah suami yang baik, jangan sia-siakan penantian istrimu, “Barokallohulakuma wabaroka ‘alaikum… … …” surat itu cukup membuatku bergetar, lagi-lagi Kyai mengetahui rahasia yang kujaga rapat-rapat. Berikutnya bingkisan istriku, aku penasaran tulisan apa didalamnya, dan setelah dibuka teryata berisi cincin yang tepat dengan kukuran jari istriku.
“Mas, ini cicin mahal mas,, bagus,, dan pas sekali dengan jariku, ceritakan tentang Romo Kyai ma…”, Ungkap Laras karna takjub pada guru tercintaku.
‘’Aku akan bercerita banyak istriku, juga banyak hal yang akan kujelaskan padamu, tentang agama kita, tentang tuhan kita, tentang kehidupan kita, dan semua hal yang kuketahui akan kujelaskan untukmu”…!”
“Kalau begitu suamiku adalah guruku mas…!” Ungkapnya sambil manja.
“Itu adalah kewajibanku sayang,,, aku adalah imam dalam keluarga kita, mengerti…!”
“Baiklah imamku, kalau begitu sekarang berikan nafkah pertamaku” Goda istriku sambil mengedipkan mata.
“Mmmm,,, maaf sayang, sepertinya aku harus belajar lagi untuk yang itu, karna selama dijawa guruku tidak pernah mengajarkan tentang yang itu,,,” jawabku menggoda sambil mengulum tersenyum.
“Oya? Sepertinya kali ini suamiku tidak perlu repot-repot mencari guru deh, karna kalau ilmu yang begini… istri emas udah pinter dari sononya…!”. segera sambil tertawa manja istriku berhamburan memelukku. 29 Ramadhan, malam bahagia, malam dengan kesempurnaanku sebagai manusia, sempurna karna bersatu dengan istriku, dengan ibadah terunik dalam sejarah umat manusia, hari dimana aku akan memulai perjuanganku di jalannya dengan ilmu yang telah kudapat.
Tamat
Facebook Comments