Kwagean Kita
RABO WEKASAN DIBULAN SHAFAR
BULAN SHAFAR
Pada masa Jahiliah, orang Arab mempunyai anggapan bahwa bulan Shafar merupakan bulan tidak baik. Bulan yang banyak bencana dan musibah, sehingga orang Arab pada masa itu menunda segala aktifitas pada bulan Shafar, karena takut tertimpa bencana. Begitu juga dalam tradisi Kejawen, banyak hitungan-hitungan yang digunakan untuk menentukan hari baik dan hari tidak baik, hari yang membawa untung dan yang membawa sial. Kemudian bagaiman menurut ajaran Islam…? dalam Surat an Nisaa’ ayat 78-79 Alloh berfirman:
قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللهِ فَماَلِ هؤُلَاءِ اْلقَوْمِ لَايَكَادُوْنَ يَفْقَهُوْنَ حَدِيْثًا, مَااَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَااَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَتٍ فَمِنَ نَفْسِكَ.
“ katakanlah: semuanya (datang) dari sisi Allah, maka, mengapa orang-orang itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun? Nikmat apa saja yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan bencana apa saja yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan bencana apa saja yang menimpamu, maka dari (kesalahan) darimu sendiri.”
Dalam Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim disebutkan:
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَّةَ وَلَا صَفَرَ
“ tidak ada penularan penyakit, tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk, tidak boleh berprasangka buruk, dan tidak ada keburukan dalam bulan Shafar.”
Seorang A’roby (penduduk pedalaman Arab) bertanya kepada Rasullullah, lalu bagaimana dengan onta yang semula sehat kemudian berkumpul dengan onta yang kudisan kulitnya, sehingga onta tersebut menjadi kudisan pula…?. Rasullullah menjawab dengan sebuah pertanyaan, “lalu, siapa yang menularkan kudis pada onta yang pertama…?”.
Hadits “laa “adwaa” (tidak ada penularan penyakit) artinya ialah penyakit tidak akan menular dengan kekuatan dirinya sendiri, melainkan atas kehendak Allah. Penyakit tidak dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan Taqdir Ilahiyah.
Sakit atau sehat, celaka atau selamat, semua kembali kepada kehendak Allah SWT. Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah. Namun walaupun semua kembali kepada Allah, bukan semata-mata sebab penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan berusaha agar terhindar dari segala musibah. Rasullulah bersabda:
لَايَرِدَنَّ مُمْرِضٌ عَلى مُصَحِّ
“janganlah onta yang sakit didatangkan pada onta yang sehat”
فِرَّ مِنَ اْلمَجْذُوْمِ فِرَارَكَ مِنَ اْلأَسَدِ
“larilah (hindarilah) dari orang yang sakit lepra, seperti kamu lari dari singa”
Hadits “ laa tiyarota” atau tidak boleh meramalkan adanya hal-hal buruk, artinya manusia harus tawakkal dan hanya bersandar kepada Allah sang maha pencipta, bukan terhadap mahluk atau mempercayakan nasib terhadap ramalan. Karena hanyalah Allah yang menentukan baik dan buruk, selamat atau sial, kaya atau miskin.
Pada masa Jahiliah, jika mereka akan bepergian atau akan melakukan aktifitas yang lain, maka mereka melepaskan seekor burung. Apabila burung tersebut terbang kearah kanan atau berbelok kearah kanan, maka itu adalah pertanda baik dan mereka akan meneruskan perjalanannya atau aktifitasnya. Begitu sebaliknya, jika burung yang dilepas terbang kearah kiri atau berbelok kearah kiri, maka hal itu mereka yakini sebagai pertanda buruk, dan mereka akan mengurungkan perjalanannya, karena mereka meyakini akan terjadi hal-hal yang buruk.
Dalam Hadits riwayat Imam Thobroni, Rasullulah SAW bersabda:
لَنْ يَنَالَ الدَّرَجَاتِ اْلعُلى مَنْ تَكَهَّنَ اَوْ اِسْتَقْسَمَ اَوْ رَجَعَ مِنْ سَفَرٍ تَطَهُّرًا
“tidak akan mendapatkan derajat tinggi orang yang pergi ke dukun (paranormal), orang yang bersumpah untuk kepentingan pribadi, atau orang yang kembali/ tidak jadi bepergian karena Ramalan”.
Hadits “walaa hammata” atau tidak boleh berprasangka buruk akan datangnya bencana atau musibah. Di zaman Jahiliah mereka mempunyai kepercayaan, jika dimalam hari terdapat burung hantu terbang diatas rumahnya, maka hal itu menandakan akan ada yang meninggal dunia. Mereka juga mempercayai, jika ada pembunuhan yang belum terbalaskan, kemudian malam harinya ada burung hantu yang terbang diatas rumahnya, hal itu menandakan ruh dari orang yang dibunuh belum bisa tenang, masih gentayangan untuk menuntut pembalasan.
Hadist “walaa shofaro” atau tidak ada keburukan (kesialan) dalam bulan shofar. Orang-orang jahiliyah dahulu menganggap sial pada bulan shofar, maka Nabi SAW membantah keyakinan tersebut, beliau menjelaskan bahwa bulan shofar tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa. Bulan shofar sama seperti bulan atau waktu-waktu lainnya yang telah Allah Jadikan sebagai kesempatan untuk melakukan amal-amal yang bermanfaat.
“keyakinan jahiliyah” tersebut terus menerus ada pada sebagian orang hingga hari ini. ada di antara mereka yang menganggap sial bulan shofar , atau muharram (Syuro), ada yang menganggap sial hari-hari tertentu, seperti hari rabu, hari sabtu, atau hari-hari lainnya. Sehingga pada hari-hari tersebut meraka tidak berani melangsungkan pernikahan, membangun rumah, memulai uasaha dan lain sebagainya, karena mereka meyakini dan menganggap karena pernikahan dan yang lainnya pada hari-hari tersebut bisa menimbulkan ketidak cocokan, berdampak tidak harmonis, menimbulkan kerugian dan sebagainya.
Dalam ajaran islam, semua bulan dan hari itu baik, masing-masing mempunyai sejarah dan keistimewaan sendiri-sendiri. Jika bulan tertentu mempunyai sisi nilai keutamaan yang lebih, bukan berarti bulan yang lain adalah bulan yang buruk. Andaikan ada kejadian tragis atau peristiwa yang memilukan dalam bulan tertentu ,hal itu bukan berarti bahwa bulan tersebut merupakan bulan musibah atau bulan yang membawa sial.
Syaikh Ali al-Buny (pengarang kitab Syamsul Ma’arif al-Kubro) mengatakan: “ sesungguhnya Allah SWT menurunkan musibah ke tempat diantara langitdan bumi pada Rabo terahir dari bulan Shafar, kemudian Malaikat yang bertugas menerima, menyerahkan kepada Wali yang bertugas di bumi yang bernama QUTBUL GHOUST agar membagi keseluruh alam. Maka segala sesuatu yang terjadi, kematian kesialan, kesusahan dst tiada lain berasal dari musibah yang dibagikan oleh Wali yang bernama QUTBUL GHOUST”.
Menurut sebagian orang –orang arif yang oleh Allah diberi Mukasyafah –yaitu suatu anugerah mampu melihat hal-hal yang akan datang dan perkara sirri– bahwasanya pada setiap tahun Allah menurunkan 320.000 bala’ (bencana) di bumi yang bertepatan pada hari rabu akhir di bulan Shafar, orang jawa menyebutnya dengan Rabu Wekasan.
Barang siapa yang mengerjakan Shalat (sunnah) pada hari tersebut dengan 4 rakaat dan tiap rakaatnya setelah alfatihah membaca surat Inna A’toina Kalkautsar 17x, Al-ikhlas 5x Al-falaq 1x dan membaca surat An-nas 1x kemudian setelah salam memanjatkan doa. Maka Allah akan menjaga orang tersebut dari segala bala’ yang diturunkan sampai bulan Shafar yang akan datang, dan sebaik-baiknya doa pada hari itu adalah doa seperti dibawah ini:
بسم الله الرحمن الرحيم
اللّٰهُمَّ يَا شَدِيْدَ الْقُوَى وَيَا شَدِيْدَ الْمِحَالِ يَا عَزِيْزُ يَا مَنْ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيْعُ خَلْقِكَ إِكْفِنِى مِنْ شَرِّ جَمِيْعِ خَلْقِكَ يَامُحْسِنُ يَامُجَمِّلُ يَا مُتَفَضِّلُ يَامُنْعِمُ يَامُتَكَرِّمُ يَا مَنْ لَاإِلـٰهَ إِلاَّ أَنْتَ إِرْحَمْنِى بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اللّٰهُمَّ بِسِرِّ الْحَسَنِ وَأَخِيْهِ وَجَدِّهِ وَأَبِيْهِ وَأُمُّهِ وَبَنِيْهِ إِكْفِنِى شَرَّ هَذَ الْيَوْمِ وَمَا يُنْزَلُ فِيْهِ يَا كَافِيَ الْمُهِمَّاتِ يَا دَفِيْعَ البَلِيَّاتِ فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمِ وَحَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلِ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِا للهِ العَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَصَلَّى اللهُ عَلىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىٰ اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
.
- TATACARA SHALAT RABU WEKASAN
Shalat sunnah mutlak 4 rakaat dengan 2 salam (2 rakat), dan setiap rakaat membaca:
1. Surat Al-Fatihah 1x.
2. Surat Al-kautsar 17x.
3. Surat Al-Ikhlas 5x.
4. Surat Al-falaq 1x.
5. Surat An-Nas 1x.
Dan setelah itu kemudian membaca doa seperti diatas. - HUKUM SHALAT RABU WEKASAN
Pendapat pertama : Tidak memperbolehkan dengan alasan tidak ada dasar yang disyariatkan.
Pendapat kedua : Boleh dengan catatan niat shalat sunnah mutlak.
Pendapat ketiga : Menganjurkan,karena mengikuti tradisi dan ibdah ulama’ yang ahli dalam bidang tersebut.
[Minhaj As-surur H. 17] [Jawahir Al-Khomsi H. 50-51]
Catatan:
Salah satu ulama yang menjalankan ibadah ini adalah Mushonif Jawahirul Khomsi adalah Sayyid Moh. Ibn. Khothirruddin Ibn Ba Yazid Ibn Khowajah Al-‘Atthor. Dan kitab ini diterbitkan atas Izin pengurus besar Thoriqoh Tijaniyah Kubro yang Mu’tabaroh Yaitu Al-Syarif Al-‘Ala’ Idris Ibn Moh. Ibn ‘Abid Al-Husaini Al-‘Iroqi.
Pustaka:
*Hidayah,tuntunan ibadah sunah12 bulan
*TA’LIMUL MUBTADI’, KWAGEAN
Facebook Comments