Bagian Muqoddimah
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Dan pada orang-orang taqwalah berbagai macam anugerah dilimpahkan. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad beserta keluarganya sekalian.
Ketahuilah bahwa dahulu ada seorang murid yang selalu melayani As-syaikh Al-Imam Zainiddin Hujjatil Islam Abi Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali -semoga Allah merahmatinya-. Murid tadi begitu gigih untuk memperoleh ilmu, ia pun selalu tersibukkan membaca kitab di depan beliau, sang guru (sorogan). Hingga pada dirinya terkumpul berbagai macam ilmu yang sukar untuk dipahami oleh orang pada umumnya. Selain itu juga ia tak henti-hentinya berusaha untuk menyempurnakan keutamaan-keutamaan jiwa.
Seiring berjalannya waktu, ia pun mulai sadar dan berfikir mengenai kedaan dirinya. Hingga jiwanya pun berbisik: “sesungguhnya aku telah mempelajari berbagai macam ilmu, serta mencurahkan usia mudaku, usia terbaikku untuk mempelajari dan mengumpulkan berbagai macam ilmu. Dan sekarang, sampailah pada titik kejenuhan dimana aku selayaknya segera mengetahui, ilmu yang seperti apa yang mampu memberikan kemanfaatan dan ketentraman bagiku di akhirat kelak?. Serta, ilmu manakah yang tidak ada kemanfaatan bagiku di hari esok sehingga bisa aku tinggalkan.? Bukankah Rosulullah sendiri telah mengajarkan yang demikian tadi?. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Wa Ghairihi, beliau berdo’a “Ya Allah sesungguhnya aku memohon dengan sifat kasih sayang-Mu, agar engkau menjauhkanku dari ilmu yang tidak bermanfaat”.
Setelah itu, jiwa murid tadi pun terus bergelayut dalam renungan ini. Hingga ia memutuskan untuk menulis sepucuk surat yang dihaturkan pada gurunya -Imam Al-Ghazali- agar beliau berkenan memberikan sebuah fatwa, dan juga di dalamnya ia tuliskan pertanyaan dari berbagai macam problematika serta, tentunya dalam surat tersebut ia begitu mengharapkan darinya sebuah nasihat dan do’a. Dalam suratnya ia bertutur. “duhai guruku, meskipun berbagai macam karanganmu, semisal kitab Ihya’ Ulumiddiin dan selainnya sudah kutemukan sebuah jawaban atas kegundahanku. Namun dahagaku tak kunjung selesai. Karena yang kutuju dari terhaturnya surat ini adalah, agar engkau berkenan menuliskan secara khusus jawaban atas kegundahannku dalam sebuah lampiran kertas, yang mana kertas itu akan selalu bersamaku sepanjang hidup yang masih tersisa ini. Dan juga dengan limpahan taufiq-Nya akan aku amalkan apa yang ada di dalamnya selama nadi ini masih terus berdetak.
Maka Imam Al-Ghazali pun menyanggupi permintaan muridnya, dengan menuliskan “Risalah” ini (Kitab Ayyuhal Walad).
*Lanjut di bag.2 (Minggu Depan)
-Kaiffa