Dalam kitab Ihyaa’ ‘ulum ad-din karya Imam Abu hamid al-Ghozali, Adab berdoa secara ringkas ada sepuluh:
- Hendaknya kita mengamati dan memilih waktu-waktu yang baik dan mulia untuk berdoa. Dengan berdasarkan hadits Rasulullah Imam al-Ghazali dalam Ihya’nya mencontohkan bahwa waktu–waktu yang baik itu adalah seperti hari Arafah, bulan Ramadhan hari Jum’at, dan diwaktu sahur.
- Hendaknya kita mempergunakan kesempatan berdoa pada keadaan–keadaan yang mulia. Dengan berdasarkan hadits Rasulullah pula Imam al-Ghazali mencontohkan dalam kitabnya tersebut bahwa keadaan yang baik adalah seperti ketika berada dalam barisan (shaf) peperangan (jihad fisabilillah), ketika turunnya hujan, antara azan dan iqamat, ketika hari kala kita sedang berpuasa dan ketika berada pada sujud sembahyang.
- Hendaknya kita berdoa dengan menghadap qiblat (Ka’bah), baik berdoa setelah shalat atau pada waktu-waktu lainnya, begitu yang dilakukan Rasulullah kala Beliau berdoa. Adapun jika berdoa setelah shalat fardhu maka menurut Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibariy dalam kitabnya Fat-hul Mu’in, bahwa menghadap qiblat hanya disunatkan bagi selain imam. Adapun bagi imam maka sebaiknya ia berdiri pada tempat ia sembahyang dan menghadap jama’ah jika dari para jama’ah itu tidak terdapat orang perempuan, atau sebaiknya bagi imam berdoa dengan mengarahkan pihak kanannya kearah makmum sedangkan qiblat berada pada pihak kirinya.
- Hendaknya kita berdoa dengan mengangkatkan dua tangan kelangit (keatas). Menurut Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibariy dalam kitabnya Irsyaadil ‘Ibaad bahwa hukum mengangkat dua tangan itu adalah disunatkan bagi selain orang yang sedang sembahyang dan yang sedang berkhutbah, adapun bagi keduanya maka tidak disunatkan mengangkat dua tangan. Dan tangan yang diangkat itu adalah tangan yang dalam keadaan suci dan diangkat sampai sejajar tingginya dengan dua bahu. Adapun tangan yang bernajis menurut Syeikh Sayed Bakri bin Sayed Muhammad Syatha dalam kitab beliau I’anatuth Thaalibin maka hukum mengangkatnya adalah makruh walaupun tangan itu tertutup. Dan jika adalah hal yang didoakan itu merupakan hal yang sangat rumit dan mendesak maka menurut beliau berdasarkan al-Kurdiy bahwa tangan itu diangkat bukan sejajar dengan bahu tapi lebih keatas lagi, sekira-kira tampaklah putih–putih ketiaknya. Menurut Syeikh Syihabuddin Qulyubiy dalam kitab beliau Hasyiyah al-Mahalliy bahwa telapak tangan itu dirapatkan dan sebaiknya dalam keadaan terbuka, artinya telapak tangan tidak ditutup dengan penutup apapun jua. Hal itu kita lakukan sebagai isyarah kita sedang menadah pemberian dan anugerah dari Tuhan, dan dalam keadaan seperti itu maka pandangan mata ditujukan kelangit (keatas), sebagai isyarah kita memperhatikan rahmat Allah yang sedang diturunkan, dan setelah selesai berdoa maka tangan itu disapukan kewajah.
- Hendaknya berdoa dengan suara yang lunak dan sayup. Yang dimaksudkan disini adalah jangan meninggikan suara sampai terdengar oleh orang lain dan jangan pula mengecilkannya sampai tak terdengar pada diri sendiri. Guru besar kita pembangun mazhab Syafi’iy yaitu Muhammad bin Idris asy-Syafi’ie yang dikenal dengan Imam Syafi’iy dalam kitab beliau yang terkenal yaitu al-Um bahwa beliau berkata, “Saya memilih (berpendapat) bahwa disunatkan bagi imam dan makmum apabila telah selesai dari shalat agar mereka berzikir dan berdoa dan hendaknya mereka melakukan itu dengan merendahkan suara, kecuali kalau ia seorang imam yang bermaksud ingin mengajarkan zikir dan doa kepada para jama’ah maka baguslah jika ia membesarkan suaranya sebatas para jama’ah itu belum bisa, adapun jika mereka telah bisa maka suara imam kala berzikir dan berdoa itu harus dikecilkan kembali. Pendapat maha guru kita itu telah diikuti oleh semua murid beliau dan semua penganut mazhab Syafi’ie termasuk Syeikh Zainuddin al-Malibariy dalam kitabnya Fathul Mu’in, dan beliau menambahkan bahwa boleh juga bagi imam untuk membesarkan suara dalam zikir dan doanya jika ia bermaksud agar makmum atau para jama’ah membaca amien untuk doanya tersebut. Dan beliau menyebutkan dalam kitab tersebut, menurut guru beliau Syihabuddin Syeikh Ibnu Hajar al-Haitamiy bahwa terlalu membesarkan suara ketika berzikir dan berdoa didalam mesjid, sekira-kira dapat mengganggu kekhusyukkan orang sembahyang maka membesarkan suara adalah sepantasnya diharamkan.
- Hendaknya kita dalam berdoa tidak membebani diri dengan bersajak. Kecuali pada doa-doa yang pernah diajari oleh Rasulullah, karena do’a yang paling bagus yang kita bacakan adalah do’a–do’a yang diajarkan oleh Rasulullah maka walaupun terdapat sajak didalamnya tapi tidak termasuk membebani diri. Yang dimaksud dengan bersajak ialah membebani diri dengan mencari persamaan kata atau huruf pada akhir kalimat lalu tidak memperhatikan maksud dari doa yang sedang dibaca itu, karena yang dituntut kala berdoa bukan persamaan kata tapi merendah diri dengan hati yang khusyuk dan lidah yang hina.
- Hendaknya keadaan kita dalam berdoa dengan merendah diri dan dengan khusyuk serta bersikap bahwa kita harap dan takut kepada Allah. Menurut Syeikh Jalaluddin al-Mahalliy dalam kitabnya Tafsir al-Jalalaini bahwa yang dimaksud dengan harap adalah bahwa kita dalam berdoa dengan satu kepastian bahwa kita berada dalam rahmat Allah SWT. dan kita pula harus cemas dan takut dari azab-Nya.
- Hendaknya kita mengokohkan doa dengan satu keyakinan bahwa doa itu pasti diperkenankan sebagaimana yang Allah janjikan. Dan Hendaknya kita berbaik sangka pada Tuhan dengan membenarkan harapan bahwa doa pasti diterima-Nya. Disebutkan dalam berbagai kitab bahwa “Tuhan akan bersikap terhadap kita hamba menurut sangkaan kita terhadap-Nya, kalau kita menyangka bahwa Tuhan akan berbuat baik pada kita maka kebaikanlah yang diberikan Tuhan bagi kita, dan sebaliknya jika kita beranggapan bahwa yang akan diperbuat Tuhan terhadap kita adalah keburukan maka hal yang terburuklah yang bakal menghimpit kita nantinya. Oleh karena itu maka Hendaknya kita dalam berdoa harus dengan satu keyakinan dan rasa percaya bahwa pintu keampunan Allah itu jauh lebih besar dibandingkan dengan dosa–dosa kita. Dan pintu rahmat Allah terbuka lebar bagi siapa saja dari hamba-hamba-Nya yang mau bertaubat dan mau berdoa pada-Nya. Dan rahmat yang luas itu akan diberikan bagi semua yang memerlukannya dan mau meminta kepada-Nya. Dari satu sisi bahwa kita dihadapan Tuhan harus mengakui kesalahan dan dosa yang kita lakukan dalam sebuah pengakuan yang melambangkan penyesalan bukan kepuasan dan bangga, dan dari sisi lain bahwa kita juga harus mengakui bahwa keampunan Allah SWT. jauh lebih besar dari sebesar apapun dosa-dosa kita.
- Hendaknya kita berdoa dengan penuh kesungguhan dan mengulang–ulang doa itu sampai tiga kali.
- Hendaknya kita memulai doa dengan menyebut nama Allah dan memuji kehebatan dan kebesaran-Nya apakah dalam bentuk Basmalah, Hamdalah, atau Zikir–Zikir lain yang sifatnya merupakan bentuk sanjungan kita kepada Allah SWT. setelah memuji Allah SWT. maka kita membaca shalawat kepada Rasul-Nya Nabi Muhammad SAW. Hal ini mengandung pengertian bahwa janganlah kita dalam berdoa menuju lansung pada permohonan dan permintaan, tapi berikan dulu kata-kata sanjungan dan pujian akan kebesaran Tuhan dan kemurahan-Nya. Tidakkah kita memperhatikan pengajaran Allah SWT. pada surat al-Fatihah, bahwa dalam surat tersebut sesungguhnya Allah SWT. mengajarkan kita akan cara berdoa kepada-Nya dengan firman-Nya. “Berikan Kami Jalan Yang Lurus. Yaitu Jalan Yang Telah Engkau Berikan Bagi Mereka, Yang Tidak Adalah Mereka Itu Dimurkakan Dan Tidak Pula Dalam Kesesatan.
- Doa tersebut tertulis setelah kata-kata pujian dan sanjungan terhadap dirinya pada ayat sebelumnya dengan firman-Nya “Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala Jenis Puji-Pujian Itu Hanyalah Hak Istimewa Bagi Allah Pemilik Alam Jagat Raya. Yang Pengasih Dan Penyayang. Yang Merupakan Raja Pada Hari Kiamat. Hanya Engkau Yang Kami Sembah Dan Hanya Kepada Engkau Pula Kami Mohon Pertolongan”.
- Hendaknya kita berdoa dengan memelihara adab bathiniyah. Adab inilah yang merupakan pangkal dan modal agar doa kita diterima oleh Allah SWT”.
[ Ihyaa’ ‘Uluumiddiin I/304 ].
Wallaahu A’lamu bis Showaab.
(kaiffa)