Teknologi media informasi semakin canggih, fitnah dan berita hoax semakin merajarela, jumlah minuman semakin banyak jenisnya, tetapi air bersih semakin berkurang jumlahnya. Ilmu semakin tersebar, adab dan akhlak semakin lenyap. Belajar semakin muda diakses, guru semakin tidak dihargai. Semakin banyak nyawa yang melayang dari para pendidik, akibat kebiadaban respon dari peserta didik. Berkembangnya arus globalisasi semakin membuat dekadensi moral tak terletak dan tak dapat dipungkiri lagi.
Dalam menghadapi menomena semacam itu, Pesantren Fathul Ulum adalah sebuah lembaga yang menanamkan kepada para pelajar sebuah ideologi intektual salaf dalam mengokohkan tiang Aqidah Islamiyyah yang Shahih, yang mana orisinalitas, otensitas dan validitasnya up to date fikulli makan wa zaman, tidak terkikis oleh penuaan zaman dan tempat, yang mana sampai pada detik ini masih eksis menahan hantaman dan gempuran kerasnya arus globalisasi.
Para pelajar Pesantren Fathul Ulum disuguhkan kepada mereka berupa ideologi salafi kemampuan rohani yang berbasis Islami dan kecerdasan dalam berfikir ala Salafus Shalih. Bagi mereka mainstrem kekuatan optimisme atau i’timad ‘alan_nafsi adalah peran keyakinan atas segala sesuatu dari dimensi baik dan realistis yang disinergikan dengan nuansa Salaf Islami akan berkorelasi timbulnya kekokohan Aqidah yang benar dan kuat, karena orang yang kuat itu pada dasarnya merupakan bentuk manivestasi dari mental yang kuat juga, orang menjadi lemah karena sebab mentalnya lemah, begitu juga orang yang sukses karena ia mempunyai keinginan untuk sukses dan sebaliknya orang yang gagal karena ia hanya memiliki mental krupuk, alias lemah dan gagal sejalan dengan pesan suci baginda Rasulullah SAW dalam hadistnya :
حدثنا عبد الله بن ادريس عن ربيعة بن عثمان عن محمد بن يحيى بن حبان عن الا عرج عن ابى هريرة قال رسول الله صلى الله علىيه وسلم: اَلْمُؤْمِنُ اْلقَوِّيِّ خَيْرٌوَأَحَبُّ اِلَى الله مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ – راوه المسلم
Artinya:
Mu’min yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada mu’min yang lemah (HR. Muslim)
Jadi, manusia yang tangguh dan kuat itu sudah seharusnya menjadi cita-cita kita dalam rangka pengabdian kita kepada Allah SWT.
Optimisme yang ditancapkan disanubari para pelajar santri Fathul Ulum, merupakan suatu harapan yang ada pada individu bahwa segala sesuatu akan menuju ke arah kebaikan. Jika dilihat dari sudut pandang kecerdasan emosiaonal, optimisme adalah suatu pertahanan dari pada seseorang agar jangan sampai terjatuh dalam jurang kebodohan putus asa, depresi bila menghadapi kesulitan, karena perjuangan mereka dibangun diatas dasar pondasi tawakal dan kemantapan hati bahwa pertolongan dan rahmat Allah bersama orang yang menyerahkan permasalahannya dan problemnya kepadanya. Berdasarkan firman Allah SWT:
فَسَتَذْكُرُونَ مَآ أَقُولُ لَكُمْ وَأُفَوِّضُ أَمْرِىٓ إِلَى ٱللَّهِ إِنَّ ٱللَّهَ بَصِيرٌۢ بِٱلْعِبَادِ * فَوَقَىٰهُ ٱللَّهُ سَيِّـَٔاتِ مَا مَكَرُوا۟ ۖ وَحَاقَ بِـَٔالِ فِرْعَوْنَ سُوٓءُ ٱلْعَذَابِ* (المؤمن 44-45)
- Kelak kamu akan ingat kepada apa yang kukatakan kepada kamu. dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya”.
- Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang Amat buruk.
Dan berkali-kali Allah menjanjikan kepada hambanya yang bersungguh-sungguh dan selalu konsisten tanpa menyerah akan diberikan sebuah petunjuk dan kebahagian berupa surga seperti apa yang mereka inginkan, Allah berfirman:
*إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَٰمُوا۟ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَبْشِرُوا۟ بِٱلْجَنَّةِ ٱلَّتِى كُنتُمْ تُوعَدُونَ
نَحْنُ أَوْلِيَآؤُكُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِىٓ أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ (فصلت 30-31)
- Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan Kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.
- Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.
Optimisme dan keyakinan sedemikian rupa benar-benar ditancapkan didalam sanubari yang paling dalam dari para pelajar santri Fathul Ulum, dan hal inilah yang tidak dimiliki dan yang membedakan mereka dengan pelajar umum yang notabene-nya mereka terperosok dalam jurang dekadensi moral dan akhlak. Maka pantaslah bahwa sampai saat ini faham ideologi demikian masih tetap eksis dan kokoh ditengah-tengah pemanasan arus global.
Sungguh luar biasa bukan?, disaat dimana para pemuda negeri ini terperosok pada lembaga kegelapan moral dan pekerti, disaat dimana para pelajar diluar sana dihipnotis oleh faham zionisme, liberalisme, atheisme dan sekulerisme yang menyesatkan, para pejabat yang haus dengan menelan mentah-mentah uang rakyat, atau dengan generasi muda ini yang otaknya dicuci dan sudah dibabi-butakan oleh program-program dan propaganda orang-orang barat?, sedangkan kita para pelajar santri Fathul Ulum khususnya, masih istiqomah dalam rohani suci Islami salaf yang bersih dan bebas dari kontaminasi penyimpangan pemikiran liberalisme, radikalisme, dan dekadensi moral.
Bagaimana tidak, mereka para pelajar santri, khususnya pelajar Pesantren Fathul Ulum, sejak usia dini sudah dikenalkan sebuah doktrin seorang pakar adab dan sastrawan yang fenomenal dan sangat familiar di dunia pendidikan Islam, tak terkecuali di Indonesia khususnya di dunia pesantren yaitu beliau Syaikh Tajuddin Nu’man bin Ibrahim bin Kholil az-Zarnuji seorang penulis kitab TA’LIMUL MUTA’ALLIM THORIQOTUT TA’ALUM, beliau menjelaskan dikitab tersebut, bahwa belajar (menuntut ilmu) menurut seorang pakar adalah sebuah kewajiban bagi semua manusia yang telah disyari’atkan Allah, baik melalui al-Qur’an atau al-Hadist yang melalui proses pembelajaran bersifat ilahiyyah atau basyariyyah. Menurut az-Zarnuji “belajar bukan seperti apa yang dirumuskan oleh pakar psikologi yang mengklaim bahwa belajar merupakan proses usaha untuk memperoleh perubahan tingkah laku, sebagi manivestasi dari pengalaman”, juga tidak semudah apa yang seperti statement yang diusung oleh Wolfok Nicollish yang mengatakan bahwa, “belajar adalah perubahan pada individu internal seseorang yang dikemas dalam bentuk formulasi asosiasi baru atau potensial yang baru”.
Belajar menurut az-Zarnuji adalah “suatu practicle yang bernilai ibadah, karena belajar menurut beliau harus diniatkan untuk mencari ridho Allah SWT dan mengembangkan juga melestarikan Islam, menyukuri ni’mat akal, dan mendapatkan kebahagiaan akhirat karena menurut beliau belajar bukan hanya orientasi-nya pada dimensi duniawi semata, akan tetapi juga mencakup dengan dimensi ukhrowi”.
Dari sini, sekali lagi kita lebih tahu letak perbedaan yang mendasari antara konsep belajar yang dirumuskan oleh Syekh az-Zarnuji (faham ideologi yang kita ikuti), dengan konsep yang diusung para ahli psikologi umum, sebuah contoh kecil tetapi sangat kongkrit sekali, jika seorang pelajar umum sehari-hari, setiap jam atau bahkan setiap saat, benda yang ada pada genggaman tangannya adalah smart phone, maka kita sebagai pelajar santri pesantren selalu memegang tasbih, jika mereka membuat pengantar tidur dengan membaca novel Dilan, maka kita para pelajar santri membuat pengantar tidur dengan membuka lembaran kitab Salaf untuk menganalisis samudra keluasan khazanah Islam Kitabullah wa Sunnatur Rasulih, jika mereka bertemu temannya dengan melemparkan sapaan berupa “hey brow…, hay guys…, whats up brow…,” maka kita pelajar santri Fathul Ulum diajarkan untuk ifsya-us salam (menebarkan salam) “assalamu’alaikum…” sebuah nikmat berupa anugrah Allah SWT kepada kita, semoga kita bisa menjadi seseorang yang masih eksis dan konsist dengan ideologi Salaf yang Shahih, yang patut kita syukuri.
والله اعلم بالصواب
Oleh : Santri Kwagean