KWAGEAN

Cara Shalat & Khutbah Gerhana

HUKUM SHALAT GERHANA [1]

Mayoritas ulama berpendapat bahwa shalat gerhana hukumnya sunah muakkadah dan dilaksanakan secara berjama’ah. Pendapat ini didasarkan kepada beberapa hadits shahih, di antaranya:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، أَنَّهُ كَانَ يُخْبِرُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَنَّهُ قَالَ : إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ ، وَلَا لِحَيَاتِهِ ، وَلَكِنَّهُمَا آيَةٌ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَصَلُّوا

Dari Abdullah bin Umar RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya gerhana matahari dan gerhana rembulan tidak terjadi karena kematian seseorang atau kelahiran seseorang. Namun keduanya adalah salah satu tanda kekuasaan Allah.Maka jika kalian melihatnya, hendaklah kalian mengerjakan shalat.”

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ ، يَقُولُ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إِنَّ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ مِنَ النَّاسِ ، وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا ، فَقُومُوا ، فَصَلُّوا “

Dari Abu Mas’ud RA berkata: Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya gerhana matahari dan gerhana rembulan tidak terjadi karena kematian seorang manusia, melainkan keduanya adalah salah satu tanda kekuasaan Allah. Maka jika kalian melihatnya, berdirilah kalian dan laksanakanlah shalat!” [2]

WAKTU SHOLAT GERHANA [3]

a) Sholat Gerhana Matahari

Yaitu mulai gerhana sampai terlihatnya kembali matahari (injila’) dengan sempurna, atau dengan terbenamnya dalam keadaan masih gerhana.Dan apabila terbenamnya tersebut di tengah sholat maka sholatnya di sempurnakan.

b) Sholat Gerhana Rembulan

Yaitu mulai gerhana sampai terlihatnya kembali rembulan dengan sempurna atau dengan terbitnya matahari walaupun sebagian, tidak dengan terbitnya fajar sebab waktu sesudah fajar masih termasuk malam karena masih dalam kekuasaan rembulan, serta pada waktu tersebut rembulan masih bisa di ambil manfaatnya, dan tidak dengan terbenamnya rembulan dalam keadaan gerhana (pada waktu malam, seperti tertutupnya rembulan oleh mendung).

KAIFIYAH / TATACARA SHOLAT GERHANA [4]

1. Niat Sholat Gerhana:

a. Sholat Gerhana Matahari

أُصَلِّي سُنَّةً لِكُسُوْفِ الشَّمْسِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ ( مَأْمُوْمًا \ إِمَامًا ) لِلَّهِ تَعَالَى

b. Sholat Gerhana Rembulan

أُصَلِّي سُنَّةً لِخُسُوْفِ الْقَمَرِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ ( مَأْمُوْمًا \ إِمَامًا ) لِلَّهِ تَعَالَى

2. Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.

3. Membaca do’a istiftah dan berta’awudz,

· Roka’at pertama; pada waktu berdiri yang pertama musholli membaca suratal-Fatihah dan al-Baqoroh dan pada waktu berdiri yang kedua membaca surat al-Fatihah dan Ali Imron.

· Roka’at yang kedua; pada waktu berdiri yang pertama membaca surat al-Fatihah dan an-Nisa’. Pada waktu berdiri yang kedua membaca surat al-Fatihah dan surat al-Maidah, atau surat-surat yang lain yang kira-kira panjangnya sama dengan surat-surat tersebut di atas apabila musholli menghendaki.

4. Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.

5. Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ’Sami’allahu Liman Hamidah, Rabbana Wa Lakal Hamd’.

6. Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang (Yang di sebutkan dalam point 3), danberdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.

7. Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.

8. Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).

9. Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.

10. Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.

11. Salam.

12. Kemudian setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak.

Catatan:

Kemudian dalam sujudnya membaca tasbih dengan kira-kira panjangnya ruku’ tiap roka’at.

KAIFIYAH BILAL DAN KHUTBAH SHOLAT GERHANA [6]

Khutbah kusuf dan khusuf dilakukan setelah mendirikan sholat gerhana, dan bila dilakukan sebelum sholat, hukumnya tidak sah, bahkan bisa menjadi haram apabila disengaja.

Sedangkan cara pelaksanaan khutbah kusuf dan khusuf ini sama sebagaimana dalam khutbah jum’at, yakni dalam hal rukunnya dan sunahnya saja, tidak dalam syaratnya, seperti berdiri pada pada waktu khutbah, duduk diantara dua khutbah, harus dalam keadaan suci dan menutup aurat. Karena keempat syarat khutbah jum’at di atas tidak disyaratkan dalam khutbah kusuf dan khusuf, tapi disunahkan.

Namun ada beberapa syarat khutbah jum’at yang masih disyaratkan pada khutbah kusuf dan khusuf, yaitu:

1. Sama’ (bacaan khutbah harus didengar oleh jama’ah).

2. Isma’ (khotib berupaya agar khutbah dapat didengar).

3. Harus menggunakan bahasa arab pada rukun-rukunnya,

 

Urutan dari awal:

1. Jama’ah membaca istighfar bersama-sama, yaitu;

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ عَظِيْمٍ

Bacaan di atas dibaca berulang-ulang sambil menuggu jama’ah yang lain datang.

2. Bilal mengumandangkan bacaan tanda dimulainya sholat, yakni membaca :

اَلصَّلاَةُ جَامِعَةْ

3. Pelaksanaan sholat gerhana.

4. Setelah selesai melaksanakan sholat, bilal segera maju mengambil tongkat kemudian menghadap ke jama’ah dan dilanjutkan membaca:

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ

اَلِّذيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيَّ الْقَيُّوْمَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ

يَا مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ وَزُمْرَةَ الْمُؤْمِنِيْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ. رُوِيَ عَنْ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ اَيَاتِ اللهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَصَلُّوا وَادْعُوا حَتَّى يَنْكَشِفَ مَا بِكُمْ.

أَنْصِتُوْ وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا رَحِمَكُمُ اللهُ أَنْصِتُوْ وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا اَجَرَكُمُ اللهُ أَنْصِتُوْ وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ.

5. setelah itu khothib maju untuk menerima tongkat kemudian berhenti dengan posisi menghadap ke arah qiblat

6. Kemudian bilal memutar posisi (ikut menghadap qiblat) dan membaca do’a:

اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ. اَللَّهُمَّ قَوِّالْإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَاْلمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءَ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتَ وَانْصُرْهُمْ عَلَى مُعَانِدِي الدِّيْنِ يَا رَبِّ اخْتِمْ لَنَا مِنْكَ بِالْخَيْرِ وَيَاخَيْرَ النَّاصِرِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَصلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَبَارَكَ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

7. Setelah itu khothib naik ke mimbar dan menghadap ke jama’ah lalu mengucapkan salam.

8. Kemudian khothib duduk sejenak dan Bilal membaca Isitighfar dengan suara yang keras (dalam keadaan duduk).

9. Kemudian khothib memulai khuthbah pertama dengan posisi menghadap jama’ah dan tangan kiri berpegangan pada semisal tongkat, sedangkan tangan kanan ditaruh di atas mimbar.

10. Setelah selesai Khuthbah pertama khothib duduk yang lamanya tidak sampai memutuskan Muwalah (berkesinambungan) antara khutbah pertama dengan khuthbah kedua, yakni seukuran bacaan surat al-Ikhlash.

11. Kemudian disaat khotib duduk, bilal membaca istighfar dengan suara yang keras akan tetapi dengan syarat tidak boleh sampai memutuskan muwalah.

Bacaan Istighfar itu seperti:

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيَّ الْقَيُّوْمَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ.

12. Kemudian khothib berdiri untuk meneruskan khuthbah kedua sampai selesai.



[1] Aby Abdillah Muhamad Ibnu Ismail Al Bukhori, Matan Al-Bukhori, (Surabaya:al-hidayah), Juz 1,h.184

[2] Ibid.,h 184

[3] Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari dan Sayyid al-Bakri bin Sayyid M. Syatho ad-Dimyati, Fath al-Mu’in dan I’anah al-tholibin,(Bairut, Libanon:Darul al-Kutub), juz I, h. 447

[4] Ibid., h. 447-448

[5] Taqiyuddin Abi Bakar Addimasyqi, Kifayatul akhyar,(bairut:Darul Qutuh al-Islamiyyah), juz 1, h.156

[6] Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari dan Sayyid al-Bakri bin Sayyid M. Syatho ad-Dimyati, Fath al-Mu’in dan I’anah al-tholibin,(Bairut, Libanon:Darul al-Kutub), juz I, h. 448