KWAGEAN

Falsafah Jawa Para Wali

Indonesia memang dari dulu menjadi Negara yang selalu di perebutkan, mulai dari zaman kerajaan, kemudian zaman penjajahan, hingga kini yang telah menjadi Negara kedaulatan indonesia. Namun entah kenapa yang pusatnya selalu berawal dari tanah jawa. Dahulu pada zaman kerajaan, para walisongso mulai menyebarkan agama islam di tanah jawa menggantikan faham Hindhuisme dan Budhiesme yang lebih dulu berkembang. Terkadang para walisongo melibatkan budaya jawa dalam penyebarannya, dan unsur – unsur dalam islam berusaha ditanamkan dalam budaya – budaya jawa semacam pertunjukan wayang kulit , dendangan lagu jawa , ular – ular ( petuah jawa ) , cerita – cerita kuno hingga upacara tradisi.

Dalam pertunjukan wayang kulit, yang terkenal adalah cerita tentang serat KALIMASADA yang cukup ampuh dalam melawan keangkara murkaan di muka bumi, dan siapapun yang membawa serat ini akan menjadi sakti mandra guna, yang tak lain isi serat itu adalah Rukun Islam. Yang pertama yakni kalimat syahadat. dalam pementesanya sang wali mengadakan pementasan di halaman masjid yang di sekelilingnya diberi parit yang melingkar, Guna parit ini tak lain untuk melatih para penonton wayang untuk wasuh, ini adalah cara pengajaran dan simbolisasi yang dikemas apik oleh sang wali

Selanjutnya sang wali menyebarkan lagu – lagu yang bernuansa simbolisasi dan syarat akan falsafah kehidupan. Yang terkenal adalah lagu Ilir – ilir yang dikarang oleh sunan kalijaga yang sebagian baitnya adalah :

” Lir – ilir lir – ilir tak ijo royo – royo “

Adalah perwujudan rasa syukur atas rahmat Allah kepada bumi nusantara yang kaya raya…

” Cah angon cah angon penekno blimbing kui “

Dan kemakmuran tersebut dapat tercipta apabila warganya memiliki daya angon (pemimpin, melestarikan, dan melindungi) warganya dan bumi nusantara, bocah tersebut dipinta untuk memanjat dan meraih buah belimbing yang bergigi lima. Meskipun itu sulit dan memerlukan perjuangan yang tak singkat, maka dengan demikian sang bocah harus memiliki semangat juang yang besar dan jiwa pantang menyerah.

” Kanggo basuh dodot iro “

Fungsi belimbing tadi adalah untuk membersihkan pakaian sang bocah angon. Pakaian adalah budi atau akhlaq dan dapat pula diartikan sebuah pangkat.

Syair yang fenomenal ini masih dinyanyikan oleh para budayawan, dan jika kiranya meresapnya lagu ini jauh lebih baik daripada lagu – lagu masa kini. Dalam instrumen jawa ada gending yang bernama Mijil, sinom maskumambang, kinanthi, asmaradhana, megatruh, dan pucung. Yang ternyata kesemuanya adalah sebuah perjalanan hidup anak manusia. Kita mulai dari mijil yang berarti keluar atau lahir, adalah fase kelahiran anak manusia dari rahim ibunya. sinom adalah masa remaja. Maskumambang adalah masa matang, dewasa dan siap untuk menjadi pemimpin. Kinanthi adalah masa bagi seorang gadis untuk dinikahi. Megatruh adalah masa kematian manusia. Pucung berarti pocong, penggambaran setiap anak manusia yang mati harus dikebumikan. Kesemua gendhing ini memiliki masing – masing dan irama, kesemua gendhing ini mungkin Berjaya pada masanya, mungkin dirasa kurang simple oleh generasi muda negeri kita, maka perannyapun mulai tergeserkan. Hal ini sangatlah memprihatinkan.

Dalam falsafah jawa ada juga sebuah falsafah yang menjelaskan bagaimana seorang warga bersikap kepada pemimpin mereka, seperti falsafah : Keno cepet neng ojo disiki, keno pinter neng ojo ngguroni, keno takon neng ojo ngerusuhi. Kalimat yang singkat namun kaya makna. Maksud dari ” Keno cepet neng ojo disiki “ adalah sebagai warga yang baik kita pun pasti pernah memikirkan perkembangan tentang negeri kita, seperti merencanakan sebuah progam yang anggaranya dari pemerintah. Maka kita jangan sampai menjalankan program tersebut tanpa persetujuan dari pemerintah itu sendiri.

Yang kedua ” keno pinter neng ojo ngguroni “ sebagai warga kita berhak untuk menjadi pintar dan negara juga wajib menciptakan lembaga pendidikan agar warganya menjadi pintar. Namun apabila seorang warganya tersebut menjadi pintar lantas yang pintar tersebut membodoh – bodohkan pemimpinya atas kegagalan kepemimpinannya, dan jika pemimpin memiliki warga yang seperti itu maka bertambahlah kegagalan pemimpin tersebut. Dan hal ini makin sering kita jumpai di era kemajuan teknologi dan komunikasi yang pesat ini.

Yang ketiga : “keno takon neng ojo ngerusuhi” sebagai warga kita berhak bertanya kepada pemimpin kita, namun bukan jalan ngerusuhi (demonstrasi). Pertanyaan – pertanyaan yang tertanam di otak kita alangkah baiknya kita utarakan pertanyaan – pertanyaan tersebut dengan cara lebih halus seperti mengundang peimpin kita untuk berdialog. Bukan hanya mengundang mereka saat kita membutuhkan kucuran dana negara.

Tiga kalimat tadi adalah pelajaran yang sangat berharga untuk menciptakan warga yang kooperatif dengan pemimpin dan tidak mengandalkan egoisme diri sendiri. Terlebih hanya untuk menunjukan betapa bodohnya pemimpin kita. Berasumsi seperti ini bukan berarti mengajak untuk selalu pro dengan pemimpin. karena dengan demikian menafikan bahwa setiap manusia memiliki kesalahan . Maksudnya ialah kita boleh pro dengan pemimpin asalkan pemikiranya sepaham dengan kita, kita juga boleh kontra dengan pemimpin apabila kebijakan tersebut menyalahi aturan hukum. Namun jangan memprofokatori warga yang lain yang tidak tahu menahu tentang kesalahan pemimpin tersebut. Jika kita bertindak demikian kita sama hanya dengan peribahasa Melempar Batu Sembunyi di Tangan. Jika kita ingin menciptakan Negara yang baik maka mulailah menjadi pribadi yang baik.

Bukan hanya falsafah tentang kewarganegaraan, di jawa ada juga falsafah dalam bidang social, Seperti ” Ajining diri soko pucuke lathi ” maksudnya dinialai baik seseorang itu dari sebaik apa ia berbicara kepada sesamanya. Jadi kebanyakan orang itu menilai baik pada orang lain itu terlihat dari halus atau berupa tutur yang diucapkan pada teman, keluarga dan sesamanya. Dan ada juga falsafah : ” Ajing raga soko busono “ maksudnya seseorang dapat mendapatkan kewibawaannya apabila ia dapat menempatkan busana atau pakaian yang tepat sesuai kondisinya. Ini bukan tentang seberapa mahal pakaian kita, mahal dan murahnya bukan menjadi acuan, yang menjadi acuan adalah mengenakan sebuah pakaian itu harus mencocokan kondisi yang kita jalani. Contoh kecil semisal ketika kita diundang dalam sebuah akad pernikahan, kemudian kita datang dengan menggunakan pakaian olah raga, yakni bercelana pendek dan berkaos oblong , meskipun pakaian itu kita beli dengan harga jutaan atau ber-merk terkenal karena salah situasi dan kondisinya maka kita akan mendapatkan tiga kesuksesan, yakni sukses menjadi tontonan, sukses mempermalukan para tamu undangan, sukses merendahkan diri kita sendiri.

Masih banyak falsafah yang penulis tidak dapat menuliskannya. Dan sebenarnya yang ingin penulis sampaikan ialah, mari kita gali pelajaran dan budaya negeri kita sendiri sebelum kita mempelajari budaya dan pelajaran negeri orang lain. Menyakini ini lebih baik daripada kebalikanya, sebelum budaya dan pelajaran itu sirna atau mungkin dicuri oleh bangsa lain.