KWAGEAN

Seminar Tafsir Al Qur’an dan Hadits

               NarasumberJum’at, 10 Maret 2017 M/11 Jumadil Akhir 1438 H Pondok Pesantren Fathul ‘Ulum kembali lagi mengadakan acara seminar Tafsir Al Qur’an dan Hadits dengan narasumber KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang lebih akrab dipanggil Gus Baha’ putra seorang ulama’ ahli Qur’an KH. Nursalim Al-Hafizh dari Narukan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah, sebuah desa di pesisir utara pulau Jawa.

     Seminar ini diwajibkan bagi seluruh santri induk Pesantren Fathul ‘Ulum, sedangkan santri pondok An Nuur dan Al Anwar tidak bisa mengikutinya karena kegiatan sekolah formal mereka sedang aktif. Meskipun begitu, acara ini tetap terlihat sangat meriah, terbukti dari antusiasnya para santri dalam menyimak yang kemudian menanggapi penjelasan dari narasumber.

             Tujuan dari seminar ini adalah memberikan motivasi kepada seluruh santri Kwagean untuk lebih mendalami lagi mengenai ilmu tafsir Al Qur’an dan hadits. Karena keduanya merupakan sumber asal penggalian hukum-hukum syariat kita, yakni Islam. Dan juga, didalamnya mengandung beribu-ribu bahkan jutaan kalam hikmah dan ilmu-ilmu yang dapat mengantarkan manusia menjadi insan yang sempurna (kamil).

   Dengan adanya seminar ini mudah-mudahan kita semua tergugah untuk lebih mendalami lagi kajian tentang ilmu tafsir dan hadits, serta diberi ilmu yang manfaat dan barokah. Amin…..

Biografi KH. Ahmad Bahauddin Nursalim

      Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang lebih akrab dipanggil Gus Baha’ adalah putra seorang ulama’ ahli Qur’an KH. Nursalim Al-Hafizh dari Narukan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah, sebuah desa di pesisir utara pulau jawa. KH. Nursalim adalah murid dari KH. Arwani Al-Hafizh Kudus dan KH. Abdullah Salam Al-Hafizh Pati.

Gus Baha’ kecil memulai menempuh gemblengan keilmuan dan hafalan Al-Qur’an di bawah asuhan ayahnya sendiri. Hingga pada usia yang masih sangat belia, beliau telah mengkhatamkan Al-Qur’an beserta Qiro’ahnya dengan lisensi yang ketat dari ayah beliau. Memang, karakteristik bacaan dari murid-murid Mbah Arwani menerapkan keketatan dalam tajwid dan makhorijul huruf.

Menginjak usia remaja, Kiai Nursalim menitipkan Gus Baha’ untuk mondok dan berkhidmat kepada Syaikhina KH. Maimoen Zubair di Pondok Pesantren Al Anwar Karangmangu, Sarang, Rembang, sekitar 10 km arah timur Narukan.

Di Al Anwar inilah beliau terlihat sangat menonjol dalam fan-fan ilmu Syari’at seperti Fiqih, Hadits dan Tafsir. Hal ini terbukti dari beberapa amanat prestisius keilmiahan yang diemban oleh beliau selama mondok di Al Anwar, seperti Rois Fathul Mu’in dan Ketua Ma’arif di jajaran kepengurusan PP. Al Anwar. Saat mondok di Al Anwar ini pula beliau mengkhatamkan hafalan Shohih Muslim lengkap dengan matan, rowi dan sanadnya. Selain Shohih Muslim beliau juga mengkhatamkan hafalan kitab Fathul Mu’in dan kitab-kitab gramatika arab seperti ‘Imrithi dan Alfiah Ibnu Malik.

Selain menonjol dengan keilmuannya, beliau juga sosok santri yang dekat dengan kiainya.   Dalam riwayat pendidikan beliau, semenjak kecil hingga beliau mengasuh pesantren warisan ayahnya sekarang, beliau hanya mengenyam pendidikan dari 2 pesantren, yakni pesantren ayahnya sendiri di desa Narukan dan PP. Al Anwar Karangmangu. Pernah suatu ketika ayahnya menawarkan kepada beliau untuk mondok di Rushoifah atau Yaman. Namun beliau lebih memilih untuk tetap di Indonesia, berkhidmat kepada almamaternya Madrasah Ghozaliyah Syafi’iyyah PP. Al Anwar dan pesantrennya sendiri LP3IA.

Setelah menyelesaikan pengembaraan ilmiahnya di Sarang, beliau menikah dengan seorang Neng pilihan pamannya dari keluarga Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.

Diriwayatkan, setelah acara lamaran selesai, beliau menemui calon mertuanya dan mengutarakan sesuatu yang menjadi kenangan beliau hingga kini. Beliau mengutarakan bahwa kehidupan beliau bukanlah model kehidupan yang glamor, bahkan sangat sederhana. Kesederhanaan beliau bukanlah sebuah kebetulan, namun merupakan hasil didikan ayahnya semenjak kecil.

Selain Yogyakarta beliau juga diminta untuk mengasuh Pengajian Tafsir Al-Qur’an di Bojonegoro, Jawa Timur. Di Yogya minggu terakhir, sedangkan di Bojonegoro minggu kedua setiap bulannya. Hal ini beliau jalani secara rutin sejak 2006 hingga kini.

Di UII beliau adalah Ketua Tim Lajnah Mushaf UII. Timnya terdiri dari para Profesor, Doktor dan ahli-ahli Al-Qur’an dari seantero Indonesia seperti Prof. Dr. Quraisy Syihab, Prof. Zaini Dahlan, Prof. Shohib dan para anggota Dewan Tafsir Nasional yang lain.

 

 Materi Seminar Tafsir Al Qurán Dan Hadits

      Memaknai Al-Qur’an dengan menangkap pesan pokoknya adalah hal mudah bahkan banyak sekali, dan tidak terhitung jumlahnya non muslim menjadi muslim karena mendengar bacaan Al-Qur’an, contoh yang paling populer adalah Sayyidina Umar menjadi muslim karena mendengar adiknya membaca surat Thoha.

      Begitu juga Raja Najasyi, dia menangis terisak-isak begitu sepupu Nabi, Ja’far bin Abi Tholib membacakan surat Maryam dan dia menemukan kebenaran sejati tentang Isa Al masih. Dia berkata “ ini (Al-Qur’an ) dan yang diturunkan kepada musa ( Taurat ) pastilah dari sumber nur yang sama.” Sang raja menjadi muslim dan berkomitmen melindungi para sahabat yang saat itu hijrah ke tanah Habasyah.

      Kemudian, Al-Qur’an juga bisa dipahami bahkan oleh para badui Arab. Suatu waktu ada seorang khotib mengutip ayat yang maknanya “ Demi Tuhanya langit dan bumi..”

فَوَرَبِّ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنْطِقُونَ (23) [الذاريات : 23]

lalu si badui menggerutu jengkel mengatakan “ Siapa yang bikin Allah murka? Sampai-sampai Dia terpaksa bersumpah!.”

          Dalam tradisi Arab juga mungkin peradaban yang lain, sumpah adalah bukti kejengkelan atau kemarahan. Jika anda tidak dipercaya seseorang maka jika terulang-ulang keraguan orang itu akan kredibilitas anda, maka anda akan marah dan melontarkan kemarahan anda dengan cara sumpah yang meyakinkan. Kita dalam dialeg normal, dengan lawan bicara yang mempercayai kita, tentu kita tidak perlu sumpah. Begitulah dalam tahapan ilmu Balaghoh ( sastra Arab ), sebuah kalam tidak perlu ditaukidi dengan sumpah jika tidak terjadi pengingkaran dari mukhotob ( lawan bicara ).

          Lalu kenapa orang kafir tetap tidak iman, padahal bisa menangkap pesan Al-Qur’an?.Jawabnya karena mereka angkuh , dengki dan atau menolak mendengar kebenaran yang kalau saja mereka mau mendengar dan lalu membuang keangkuhan dan kedengkian pastilah menjadi muslim. (anda bisa mengkaji detail masalah ini : pada ayat-ayat di bawah ini:

 وَقَالُوا قُلُوبُنَا فِي أَكِنَّةٍ مِمَّا تَدْعُونَا إِلَيْهِ وَفِي آَذَانِنَا وَقْرٌ وَمِنْ بَيْنِنَا وَبَيْنِكَ حِجَابٌ فَاعْمَلْ إِنَّنَا عَامِلُونَ [فصلت : 5]

 وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْآَنِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ [فصلت : 26]

وَلَوْ جَعَلْنَاهُ قُرْآَنًا أَعْجَمِيًّا لَقَالُوا لَوْلَا فُصِّلَتْ آَيَاتُهُ أَأَعْجَمِيٌّ وَعَرَبِيٌّ قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آَمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي آَذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُولَئِكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَكَانٍ بَعِيدٍ [فصلت : 44]

وَقَالُوا لَوْلَا نُزِّلَ هَذَا الْقُرْآَنُ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ [الزخرف : 31]

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة : 109]

          Suatu saat Walid bin Mughiroh diminta oleh kawan kawan kafir quraish untuk mengomentari Qur’an, lalu dia mendengarkan Nabi saat membaca Al-Qur’an. Apa kata Walid? Dia mengatakan “ Ini kalam yang luar biasa yang tak seorangpun sanggup menandinginya, sisi atasnya berbuah manis dan sisi bawahnya mengalir kesegaran.”

          Bahkan ia kesulitan ketika dipaksa kafir quraish untuk menjelek-jelekan Quran, karena dia tau nurani yang benar pasti mengakui kebenaran Al-Qur’an. Tapi, lewat provokasi , teror dan tipu daya kaum quraish, si Walid tidak jadi iman.

      Lalu bagaimana dengan umat Islam? Tentu Al-Qur’an bagi mereka mudah difahami baik pokok maknanya atau bahkan makna tersimpan didalamnya.

      Lalu bagaimana dengan muslim yang bahasa ibunya tidak berbahasa Arab? Jawabnya, tetap bahwa Al-Qur’an mudah dan tentu seorang muslim yang ingin sebagai ahli tafsir harus belajar bahasa Arab, sastra Arab, asbabun nuzul dan aspek aspek yang dibutuhkanya.

          Diantara bukti bahwa Al-Qur’an adalah Rahmat bagi seluruh muslim dari manapun dia dan dengan bahasa apapun, adalah fakta bahwa banyak mufassir kaliber dunia yang bahasa ibunya tidak berbahasa Arab. Misalkan Syekh Nawawi Banten dengan tafsir munirnya yang sangat melegenda dan bahkan mendapat gelar Sayyidu Ulama’ilhijaz.

      Tentu rumus paling mudah seorang mufasir haruslah hafal Al-Qur’an juga sekian hadis rujukan, plus menelaah kitab-kitab tafsir acuan.

      Adalah berkah bagi kita, fakta bahwa di pesantren-pesantren Indonesia diajarkan tafsir Jalalain, Showi, tafsir Munir, Itqon dan bahkan Imam Ghozali dalam Ihya’nya ada bab Ulumul Qur’an yang sangat luar biasa, beliau memulai dari Kitabu Adabi tilawatil Qur’an. Dalam cetakan Darul kutub mulai halaman 381-412, cek toha putra 273-295, darul hadis al qohiroh 357-385, di syarah,Al Ithaf, lissayyid Zabidi Al Husaini mulai juz 5. Ini sangat cukup dan bagus untuk para peminat ilmu tafsir.

      Dalam perang Badar yang dimenangkan umat Islam dan banyak orang kafir yang tertawan, Rasul Allah meminta pendapat kepada para sahabat : apa yang harus dilakukan?. Abu Bakar mengusulkan tawanan dibebaskan dengan tebusan uang agar dana ini berguna untuk kekuatan Islam, sementara Umar berkata kepada Nabi “Ya Rasul Allah, mereka adalah orang-orang yang mengusir engkau, sangat berhasrat membunuh engkau, maka sudah sepatutnya mereka kita bunuh.”

      Nabi lalu bersabda mengutip dua panutan besar “Kamu wahai Abu Bakar, ibarat Ibrahim yang berkata “Ya Allah, jika yang ikut ajaranku, jelas dia golonganku dan yang mendurhakai aku, aku berharap maafMu, engkau maha pemaaf lagi maha penyayang” (Ibrahim:36), lalu kepada Umar Nabi bersabda “ engkau ya Umar seperti Nabi Nuh yang tidak membiarkan orang kafir hidup dimuka bumi”(Nuh:26).

      Nabi setelah memuji keduanya memilih pendapat Abu Bakar. Abu Bakar sering dalam anjuranya agar kita berpredikat sholih. Kata beliau setelah kita sholih, maka kebaikan kita akan diberi pahala berlipat ganda, sementara keburukan kita akan diampuni.

      Ini jelas terilhami misalnya oleh Azzumar 33-35,

وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ (33) لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ عِنْدَ رَبِّهِمْ ذَلِكَ جَزَاءُ الْمُحْسِنِينَ (34) لِيُكَفِّرَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَسْوَأَ الَّذِي عَمِلُوا وَيَجْزِيَهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ الَّذِي كَانُوا يَعْمَلُونَ [الزمر : 33 – 35]

juga oleh Al ahqof:16,

 أُولَئِكَ الَّذِينَ نَتَقَبَّلُ عَنْهُمْ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَنَتَجاوَزُ عَنْ سَيِّئَاتِهِمْ فِي أَصْحَابِ الْجَنَّةِ وَعْدَ الصِّدْقِ الَّذِي كَانُوا يُوعَدُونَ [الأحقاف : 16]

          Saat penaklukan Syam yang didalamnya termasuk israel dan palestina sekarang, sayyidina Umar diminta berpesta oleh sebagian sahabat sebagai rasa syukur akan dikuasainya masjid Aqsho. Lalu apa sikap Umar? Beliau menjawab “ saya tidak berani berfoya-foya, sebab Allah mengkritik suatu kaum yang menghabiskan kenikmatanya didunia ,” beliau lalu menyitir ayat 20 Al ahqof,

 وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِينَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُونَ [الأحقاف : 20]

          Begitu juga sayyidina Usman yang sangat dermawan utamanya saat perang Tabuk. Lagi-lagi motiv utamanya adalah melihat harta jika tidak dinafkahkan fi sabilillah hanyalah Mata’ul Ghurur sebagaimana ayat 20 Al hadid.

      Saat konflik antara sayyidina Ali karroma Allah wajhah dan sayyidina Mua’wiyah ra dan Ali mempunyai ide agar ada mediasi antara keduanya. Lalu ada orang khawarij yang menentangnya dengan dalih itu tidak ada dalam kitabullah . lalu sayyidina Ali mengutip ayat 35 An nisa’

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا [النساء : 35]

yang artinya:

    “ jika suami-istri terjadi ketegangan, maka antar keduanya sebaiknya mengirimkan mediator yang bijak,”

    lanjut Ali jika urusan kecil, masalah suami istri saja membutuhkan mediasi apalagi urusan umat Muhammad yang lebih besar maka lebih membutuhkan sebagai keharusan mencari maslahat. ( lihat fathul bari 303/14)

          Begitu juga semua madzhab fiqih maupun thoriqoh dalam khazanah Islam. Ambilah contoh madzhab Syadzili, beliau sangat menganjurkan pengikutnya selalu ceria, gembira dan lapang dada. Sebab beliau berpegangan pada surat Yunus 58,

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ [يونس : 58]

yang artinya:

“ atas nama fadhol Allah dan rahmatNya, seharusnya umat selalu gembira”.

 

          Dalam kitab Al-Hikam yang ditulis Ibnu Atho’illah yang murid Abul Abbas Al-Mursi yang murid dari Abu Hassan Asyadzili, beliau berkata “ jangan sampai terjadi al-khonnas, yakni bisikan setan yang mengingatkan kita akan sisi buruk kita, lalu kita gelisah terus-menerus sampai lupa akan anugrah Allah yang melimpah dan kasih sayangNya yang tidak terhingga”, lihat Al-Hikam 2 halaman 15. Lagi-lagi para khirotullah (hamba-hamba pilihan) begitu menyatu dengan ruh Qur’ani.

 

HADITS

 

مسند الإمام أحمد بن حنبل 206- الجزء 9

حدّثنا عبد الله , حدّثني أبى , حدّثنا أبو المغيرة , حدّثنا معان بن رفاعة, حدّثني عليُّ بن يزيد, حدّثني القسم مولى بني يزيد عن أبي أُمامة الباهليِّ, قال : لما كان في حجّة الوداع قام رسول الله r وهو يومئدٍ مردفٌ الفضل بن عبّاسِ على جملٍ آدم, فقال: (( يا أيّهاالنّاس خذوا من العلم قبل أن يقبض العلمُ وقبل أن يرفع العلمُ)) وقد كان أنزل الله عزّ وجلّ ( يا أيها الّذين آمنوا لا تسألوا عن أشياء إن تبد لكم تسؤكم وإن تسألوا عنها حين ينزّلُ القرآنُ تبد لكم عفا الله عنها واللهُ غفورٌ حليمٌ ) < المائدة : 101 >, قال: فكنّا قد كرهنا كثيراً من مسألته واتّقينا ذاك حين أنزل الله على نبيّه r قال: فأتينا أعرابيّاً فرشوناه برداءٍ – قال: – فاعتمّ به حتّي رأيت حاشية البردِ خارجةً من حاجبه الأيمن – قال: – ثمّ قلناله: سل النّبيّ r, قال فقال له : يانبيّ الله كيف يرفع العلم منّا وبين أظهرنا المصاحف, وقد تعلّمنا ما فيها وعلّمناهانساءنا وذراريّنا وخدمنا, قال: فرفع النّبيّ r رأسه وقد علت وجهه حمرةٌ من الغضب, قال: فقال: (( إي ثكلتك أُمّك وهذه اليهود والنّصارى بين أظهرهم المصاحف لم يصبحوا يتعلّقوا بحرفٍ مماجاءتهم به أنبياؤهم, ألا وإنّ من ذهابِ العلم أن يذهب حملته)). ثلاث مرارِ (1).

 

وتلاوة القرآن حق تلاوته هو أن يشترك فيه اللسان والعقل والقلب فحظّ اللسان تصحيح الحروف بالترتيل وحظ العقل تفسير المعاني وحظ القلب الاتعاظ والتأثر بالانزجار والائتمار فاللسان يرتّل والعقل يترجم والقلب يتّعظ (الإحياء 1 صـــــــ 288 )

 

لقد عشنا دهرا طويلا وأحدنا يؤتى الإيمان قبل القرآن فتنزل السورة على محمد صلى الله عليه و سلم فيتعلم حلالها وحرامها وآمرها وزاجرها وما ينبغي أن يقف عنده منها ثم لقد رأيت رجالا يؤتى أحدهم القرآن قبل الإيمان فيقرأ مابين فاتحة الكتاب إلى خاتمته لا يدري ما آمره ولا زاجره ولا ما ينبغي أن يقف عنده

(الإحياء 1 صـــــــ 276 )

 

أن يكون له في الشيء رأيٌ وإليه ميلٌ من طبعه وهواه فيتأول القرآن على وفق رأيه وهواه ليحتج على تصحيح غرضه ولو لم يكن له ذلك الرأي والهوى لكان لا يلوح له من القرآن ذلك المعنى(الإحياء 1 صـــــــ 292 )

 

والوجه الثاني أن يتسارع إلى تفسير القرآن بظاهر العربية من غير استظهار بالسماع والنقل فيما يتعلق بغرائب القرآن وما فيه من الألفاظ المبهمة والمبدلة وما فيه من الاختصار والحذف والإضمار والتقديم والتأخير فمن لم يحكم بظاهر التفسير وبادر إلى استنباط المعانى بمجرد فهم العربية كثر غلطه ودخل في زمرة من يفسر بالرأي فالنقل والسماع لا بد منه في ظاهر التفسير أوّلا ليتقي به مواضع الغلط ثم بعد ذلك يتسع التفهم والاستنباط

(الإحياء 1 صـــــــ 292 )