Ada petuah klasik dari AL-Ghozali: ” Jika kamu kamu bukan anak seorang raja, maka menulislah ”.
Sejarah tulisan
Siapakah sebenarnya manusia yang pertama kali bisa menulis? Kami pribadi kurang begitu paham, tapi ada sebuah referensi dari kitab Tafsir Jalalin yang mungkin bisa kita jadikan jawabannya:
“الذى علم “الخط “بالقلم ” واول من خط به ادرىس علىه ا لسلم [1]
Dalam tafsir tersebut dinyatakan, nabi Idris adalah manusia pertama yang menulis dengan pena. Dan terkait nama Idris sendiri diambil dari kata (daras :rajin belajar)nabi Idris hidup sekitar tahun 4533 samapi 4188 sm, disebutkan dalam referensi yang kami baca, bahwa: dalam peradaban manusia, ia merupakan penulis pertama di bumi. Dialah manusia pertama yang menemukan cara menulis dan mengajarkan tradisi tulis menulis pada umatnya.
Dan AL-Qur’an pun telah lama menyinggung budaya tulis menulis. Kita akan lihat dalam QS. Al Alaq ayat 4 yang menurut beberapa mufassir menafsiri maksud ayat tersebut seperti ini:
)الذى علم بالقلم) أى:علم لإنسان الخط بالقلم .فكان بوا سطة ذلك يقدر على أن يعلم كل مكتوب .قال ازجاج :علم الإنسان ا لكتابة بالقلم .قال قتادة: القلم نعمة من الله عز وجل عظيمة ,لولا ذلك لم يقم دين ,ولم يصلح عيش. فدل على كمال كر مة بأنه علم عبادة ملم يعلموا. ونقلهم من ظلمة الجهل إل نور العلم[2]
“Allah adalah dzat yang mengajarkan pengetahuan kepada manusia dengan tulisan, dengan perantara Al-Qolam/pena, Allah mengajarkan segala hal yang tertulis, menurut Qotadah: Al-Qolam adalah nikmat Allah yang agung. Andaikan tidak ada Al-Qolam niscaya tidak akan pernah ada agama, tidak akan ada kehidupan yang teratur. Al-Qolam adalah alat yang menjadikan manusia berhijrah dari kebodohan yang gelap gulita menuju cahaya ilmu”.
Lalu Apakah Al-Qolam itu? Ulama’ menjelaskan sebagaimana yang kami kutip dari kitab Badi’uzzuhur:
Imam Atturmudzi bercerita dari Ubadah bin Shomit Ra berkata, Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah adalah Al-qolam yang terbuat dari cahaya, ada yang bilang mutiara putih yang panjangnya antara langit dan bumi kemudian menciptakan Lauh Mahfudz yang terbuat dari mutiara putih lampiran-lampirannya dari mutiara merah panjangnya antara langit bumi dan lebarnya dari arah timur sampai arah barat”.
Dari Anas bin Malik Ra berkata, Rasulullah SAW bersabda : ”Allah mempunyai lauh atahu papan yang salah satu bagian sebelahnya dari mutiara merah dan sebagian lagi dari zamrud hijau dan pena-penanya dari cahaya.”
Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa tradisi tulis menulis sudah ada sejak nabi Idris, bahkan dalam Al-qur’an sendiri menyebutkan bahwa Allah telah mengajarkan manusia dengan menulis. Dan sekilas ketika kita angan-angan tentang hadist nabi dalam kitab Badi’uzzuhurtersebut, maka seakan-akan ada pemahaman bahwa ternyata Allah menetapkan Al-qur’an pada lauhul mahfudzNya, wallahuaa’lam.
Dan sejak awal menulis adalah keharusan umat manusia untuk berhijrah dari fase gelapnya kebodohan menuju cahaya keilmuan, sebagaimana tadi telah disinggung oleh Qotadah, “Menulis adalah sarana untuk menata kehidupan umat manusia manjadi lebih baik”.
‘Ulama Kita Produktif Menulis
Dalam banyak literature kajian keislaman, baik dalam Fiqh, Tasawwuf, Nahwu, Sharaf dll, kita akan menemukan nama-nama besar ‘ulama kita yang sangat produktif dalam hal tulis menulis, sebut saja Al-Ghozali. ‘Ulama yang karyanya sangat masih relevan untuk dikaji dari level pesantren hingga perguruan tinggi, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Disebutkan dalam beberapa literatur sejarah setidaknya beliau memiliki karangan 47 kitab, meliputi berbagai disiplin ilmu yang beliau kuasai, baik dalam bidang ilmu Fiqh, Tasawwuf, Nahwu, Filsafat, Siyasah, dll3.
Ada juga imam Al-Hafidz Jalaludin As-Suyuty. Ulama’ yang wafat pada tahun 911 H ini setidaknya memiliki 415 karya tulis sebagaimana yang di sebutkan oleh Brokelmen seorang orientalis Jerman. Sedangkan menurut Ibnu Ilyas, Imim Suyuty memiliki 600 karya tulis. Berbeda lagi menurut pendapat Sayyid Muhammad Al-Kananni, beliau menuturkan: di tahun 904 H atahu 7 tahun menjelang wafatnya, di Mesir dipenuhi karya-karya As-suyuty, tercatat jumlah 538, meliputi 73 karya dibidang tafsir, 205 dibidang hadist, 32 dibidang mastholah, 71 dibidang fiqih, 20 dibidang fiqih dan tasawuf, lughoh nahwu dan tafsir ada 66, al-mani’, bayan dan badi’ ada 6, kitab yang dihimpun dari pelbagai disiplin ilmu ada 80, al tabaqat wa tarikh 30, dan jami’ 37 karya.
Serta masih banyak lagi ulama’-ulama’ kita yang juga termasuk seorang yang sangat produktif dalam hal menulis.
Dan ternyata budaya tulis menulis itu juga merupakan tradisi kyai-kyai kita di Nusantara, sebut saja syekh Nawawi Banten, Syekh Mahfudz Termas, kyai Ihsan Kediri, kyai Hasyim ‘Asya’ari, syekh Fadhol Senory. Bahkan KH, Abdul Hanan Kwagean juga seorang penulis, kitab beliau yang kita tahu Sulam Futuhat ada 20 jilid, belum lagi Agus H. Abdulloh Fauzy beliau juga tergolong penulis produktif dengan karya monumentalnya ”Fathul Izar”. Beliau juga rajin untuk membukukan diwan-diwannya atahu kumpulan syair pribadinya dalam buku kecil ”Diwan Fauzy”.
Dari keterangan di atas menunjukkan bahwa menulis adalah tradisi kyai kita, dan tentu banyak manfaat yang kita dapat dari menulis, sebab kyai kita tidak akan melakukan tradisi yang mubadzir, selain itu menulis juga melestarikan tradisi yang telah dimulai dari guru-guru kita sebelumnya.
Menulis adalah bagian dari sejarah
Pernahkah kita sadar bahwa Fir’aun dalam Al-quran disebut lebih banyak ketimbang nabi kita Muhammad SAW yang diberi mu’jizat Al-quran itu sendiri?
Nabi Muhammad SAW dalam Al-quran disebutkan hanya empat kali sedang nama Ahmad hanya satu kali, jumlah ini tentu lebih sedikit dari penyebutan nama Iblis sebanyak sebelas kali dan nama Fir’aun sebanyak 74 kali.
Kita akan melihat apa sebenarnya manfaat penyebutan nama Fir’aun kenapa bisa sebanyak itu. Dalam QS. Yunus ayat 92 dijelaskan “maka pada hari ini kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami.” Dalam ayat ini menjadi jelas, bahwa sejarah Fir’aun ditulis dalam Al-quran adalah sebagai pengingat terhadap umat setelahnya atahu sebagai bukti sejarah bahwa pernah ada seseorang yang durhaka kepada Allah berikut dengan konsekwensi yang dia dapat dan dia bernama Fir’aun. Kita tidak akan pernah tahu siapa Fir’aun jika Al-quran tidak pernah menuliskan atahu menyebut namanya. Dengan ditulisnya nama Fir’aun, maka kita akan bisa membaca sejarahnya, kita juga akan tahu bahwa mumi raja Ramses II adalah bukti dari kebenaran Ayat Allah Swt.
Menurut Drs. KH. Agus Sunyoto, “menulis bisa menjadi sarana untuk mendekontruksi sejarah yang pernah ada”. Sebagaimana yang pernah disampaikan Agus Sunyoto juga, semenjak pasca ditangkapnya pangeran Diponegoro Belanda mengalami kerugian besar sebab pembrontakan besar secara greliya yang dipimpin para pengikut pangeran Diponegoro. Belanda pada akhirnya melakukan langkah sistematis mereka menyerang bangsa Indonesia dari mental mereka dengan cara mengaburkan sejarah yang pernah ada. Mereka memulai menulis sejarah dengan mendistorsikan fakta sejarah bangsa Indonesia. Fakta-fakta sejarah yang menunjukkan kehebatan bangsa Indonesia dihapus dan dirubah dengan fakta yang sebaliknya. Bahkan lebih miris lagi sejarah bikinan Belanda ini disebagian pelajaran sekolah masih digunakan hingga sekarang. Dengan metode pendistorsian penulisan sejarah bangsa Indonesia itulah pada saat ini banyak kita temukan generasi kita kurang pede dalam segala bidang. Generasi kita minder untuk lebih berkembang dan berkreasi maupun berprestasi jika mendengar segala sesuatu yang berbau impor atahu produk luar negri. Padahal jika kita mau membaca sejarah nenek moyang kita yang sebenarnya kita adalah bangsa yang tangguh. Jadi sebab efek pengaburan sejarah kita seakan tidak lagi punya kekuatan pemenang.
Dalam kata lain sebagai mana yang pernah ditulis oleh Brown, dalam novelnya The Davinci Code “sejarah selalu ditulis oleh pemenang”.
Oleh sebab itu dengan menulis kita bisa memutar balikkan fakta sejarah yang ada atahu bahkan meluluskannya, dala suatu kasus peperangan pemenanglah yang akan selalu menuliskan tinta sejarah atas kemenangannya.
Menulis adalah hal penting dalam kazanah intelektual keislaman
Kita tentu mafhum bahwa dasar atahu sumber kita dalam bersyari’at adalah Al-Quran, Hadis; Ijma’, Qiyas. Kita tidak akan pernah tahu seperti apa isi kandungan Al-Quran jika kita tidak pernah membacanya. Kita yang hidup 1430 tahun setelah wafatnya Nabi Saw. Tidak akan tahu ayat per-ayat dari firman Allah, jika pada zaman dahulu sahabat Utsman tidak pernah menulisnya dalam satu mushaf Utsmani. Kita tidak akan pernah tahu ini hadis shahih atau dloif, jika Al-Bukhari serta imam Muslim tidak pernah menulisnya dalam kitab sahihnya, kita juga tidak akan pernah tahu jika menyentuh wanita ajnabiy itu membatalkan wudlu menurut ijma’ empat madzhab, apabila para ulama’ pendahulu kita tidak pernah menulis dalam kitab-kitabnya.
Dengan kata lain ilmu itu berawal didapatkan dari hasil iqra’ atau membaca, dan tentu kita hanya bisa membaca sesuatu hanya dari sesuatu yang tertulis saja. Sangat tidak mungkin kita membaca sesuatu yang belum pernah ditulis. Sedang kita tahu sumber ilmu adalah membaca, dan kita tidak akan bisa membaca tanpa ditulis terlebih dahulu.
Menulis adalah bagian dari dakwah
Sebagaimana para rasul yang mempunyai kewajiban untuk menyampaikan risalah dari Allah, maka sebagai santri kita juga mempunyai kewajiban untuk mengamalkan serta menyebarluaskan ilmu yang pernah didapat saat nyantri.
Dalam banyak dalil kita akan menemukan tentang perintah mengajarkan ilmu diantaranya seperti:
قال تعالي” ادع إلي سبيل ربك بالحكمة والموعضة الحسنة”
Maknanya: ajaklah kejalan Tuhanmu dengan hikmah dan petuah bagus.
وقال صل الله عليه وسلم ” من علم علما فكتمه ألجمه الله يوم القيامة بلجام من نار”[3]
Hadits ini berma’na: barangsiapa mengetahui suatu ilmu tapi dia menyimpannya saja tanpa di ajarkannya, maka Allah akan mengengkangnya dihari qiyamat dengan kendali yang terbuat dari api.
Pertanyaannya adalah akankah kita ada jaminan akan punya banyak santri seperti romo kyai, yang dengan mudah bisa menularakan ilmunya kapan saja. Diantara kita tentu tidak mempunyai latar belakang gus, atau latar belakang yang memungkinkan dengan mudah mendapatkan medan dakwah yang mudah dengan santri yang siap saji dan ngaji. Diantara kita terkadang ditakdirkan oleh Allah menjadi pengusaha bukan menjadi ustadz atau kyai, lalu tanggung jawab kita untuk menyebarkan ilmu akankah mauquf, mandek begitu saja? tentu tidak.
Kita tentu mengenal Imam Mawardi yang lahir pada tahun 364 H. Ulama’ yang ahli politik pengarang kitab Ahkam As-shultoniyah, beliau ternyata juga seorang pebisnis yaitu penjual air mawar dizamannya. Disamping beliau juga tetap produktif menyalurkan keilmuanya dengan menulis ternyata beliau masih tetap bisa berbisnis.
Ada juga Imam Al-Qoffal penulis kitab Syarah Ar-risalah. Seperti yang pernah saya baca dalam tulisan karya Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen: Al-Qoffal arti persisnya adalah ahli pembuat gembok dan kunci. Bahkan beliau terkenal paling ahli dizamannya, meski seorang tukang kunci, tapi beliau tetap bisa berkarya dan menyebarkan ilmunya dengan menulis.
Belum lagi Imam Achmad bin Hambal pendiri Madzhab Hambali ini ternyata disamping seorang ulama’, tapi juga pedagang kain, beliau juga produktif menularkan ilmunya dengan menuliskannya. Meski beliau tidak meninggalkan karya tentang fan ilmu fiqh, tapi beliau banyak membukukan kitab tentang fan hadist, tafsir, dll.
Dari ketiga ulama’ inilah kita bisa menyimpulkan bahwa dakwah itu bisa dilakukan tidak harus jadi kyai atau ustadz yang mempunyai sarana pendidikan yang telah siap dulu. Dari sini kita bisa mengambil solusi bahwa menulis adalah alternatif bagi mereka-mereka yang pengen berdakwah tapi terkendala suatu hal.
Dengan menulis meski kita telah meninggal, karya kita masih bisa dinikmati dan dimanfaatkan oleh generasi-generasi kita selanjutnya, dan tentunya menulis adalah sarana jariyah kita yang bisa kita harap serta andalkan hasilnya di hari qiyamat kelak. Sebagaimana yang pernah disabdakan oleh nabi Muhammad SAW:
قال صلى اللة عليه وسلم” إذامات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلا ث:علم ينتفع به الحديث:[4]
Saat manusia mati terputuslah amalnya kecuali tiga hal: ilmu yang manfaat(al-hadist)
Nabi mengingatkan bahwa kelak jika manusia telah mati maka tiada lagi amal yang bisa diandalkan kecuali tiga hal, dan diantaranya adalah ilmu yang bermanfaat. Definisi ilmu yang manfaat adalah ilmu yang diamalkan dan diwariskan. Jika kita tidak punya fasilitas belajar mengajar yang memadai semisal pondok, madrasah, sekolah dll, lalu dimanakah kita menularkan ilmu kita? maka dengan menulislah kita bisa menjadikan solusi untuk ngurip-ngurip ilmune kanjeng nabi. Sebab menulis itu bisa dilakukan siapa saja dan dimana saja. Menulis adalah sarana dakwah yang paling praktis.
Apalagi melihat pesatnya perkembangan teknologi kita, bisa kita lihat sendiri hampir semua orang Indonesia sekarang melek internet, dengan internet sekarang semua bisa diakses, dengan internet sekarang semua orang menjadi ahli politik, ahli bisnis dan ahli-ahli lainnya. Saat sekarang mau tanya komposisi makanan, pengobatan, bahkan hukumnya berhubungan dengan lawan jenis tinggal klik tanya simbah google langsung beres.
Jika masalah masakan dan kesehatan mungkin bukan dalam ranah tema dakwah, tapi permasalahannya ketika mencari jawaban tentang kajian keislaman, baik fiqh, tasawuf, akidah dll, apakah ada jaminan bahwa setiap jawaban dari google itu sejalan dengan mayoritas madzhab yang kita anut? terkhusus Madzhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Ternyata setelah kita cek hampir 85% google ini bersumber dari non Aswaja, yang ini artinya menjadi PR bagi kita sebagai generasi muda ulama’ salaf Aswaja, kita berselancar di internet akan kita temukan beberapa blog dan grup di internet yang gencar mendiskusikan forum keislaman yang tidak jelas kapasitas keilmuan dari para mujawib dan mushohehnya. Mereka asla jawab ini haram ini halal, ini bid’ah ini tidak, ini kufur ini murtad. Sedangkan santri dan pesantren sendiri yang notabenenya adalah benteng terakhir dari kelangsungan faham Aswaja sendiri cenderung kurang aktif, kreatif dan produktif dalam melahirkan karya-karyanya, santri dan pesantren seakan menyepelekan lahan dakwah yang saat ini begitu memprihatinkan ini. Santri dan pesantren yang kapasitas ilmu agamanya sudah diakui justru mandul dalam berkarya. Mereka justru seakan acuh dengan fenomena kyai-kyai google yang semakin menjamur.
Belum lagi kita jalan-jalan ketoko buku Gramedia, disitu seakan kita akan cukup miris, betapa hampir tidak kita temukan buku tentang keislaman yang dihasilkan oleh kalangan santri atau pesantren manapun, justru banyak akan kita temukan adalah tulisan keislaman yang ditulis oleh mereka yang berfaham Wahabi, Syiah, Liberal, dll, yang jelas-jelas akan merugikan keberlangsungan khazanah keilmuan ala Aswaja.
Mereka santri dan pesantren seolah lupa bahwa nabi Idris adalah bapak penulis umat manusia, mereka seakan lupa bahwa Al-Ghozali ditakuti oleh kalangan filsafat barat karena karya-karya dari buah keilmuanya, mereka seakan amnesia bahwa mbah kyai Ihsan Jampes dikagumi diunivesitas tertua Al-azhar sebab menulis Syarah Minhaj, mereka seakan linglung bahwa tradisi dan budaya tulis menulis adalah wSarisan para ulama’ pendahulunya.
Atau juga mereka memang tidak tahu bahwa: ”sejarah selalu ditulis oleh pemenang”
Kwagean menulis
Melalui event lomba karya tulis yang dilaksanakan oleh panitia Haflah PP. Fathul Ulum Kwagean ini, kami sedikit lega, ternyata pondok Kwagean masih peduli dengan adanya tradisi tulis menulis, belum lagi Kwagean juga didukung fasilitas mading MTV milik JTM yang terbit hampir setiap minggu, ada lagi wadah KAIFA yang bertujuan untuk menampung tulisan para santri.
Tapi mohon maaf saja untuk menulis bukan seperti makan indomie instan, dimana tidak pakai ribet tinggal masak beres, lalu santap, namanya saja instan.
Tapi dalam hal tulis menulis itu dibutuhkan ada banyak proses yang harus dijalani, di samping ada kemajuan, skill, ilmu, tehnik, dan tutorial yang tepat. Untuk menulis juga di butuhkan adanya motivator dan bimbingan dari para guru yang memang mumpuni dalam bidang ini, agar nantinya para calon penulis tidak salah jalur, serta tulisanya bisa lebih dikemas dengan baik dan menarik untuk dibaca.
Adanya wadah KAIFA dan MTV seharusnya bisa menjembatani untuk seluruh santri Kwagean baik tarbiyyah maupun kilatan untuk lebih aktif, kreatif dan terarah dalam menulis.
Setidaknya di Kwagean perlu digalakkan seminar, pelatihan, pengkaderan dalam bidang penulisan untuk menghasilkan para penulis-penulis handal dimasa yang akan datang. Agar intelektual, keilmiahan, produktifitas santri dan pesantren dalam berkarya bisa lebih unggul dari pada lembaga pendidikan lainnya. Sehingga tradisi tulis menulis yang dicontohkan para pendahulu kita akan diminati lagi oleh generasi penerusnya. Oleh karena itu, perlu adanya gebrakan baru di pesantren manapun untuk menggalakkan para santrinya agar lebih produktif dalam menulis.
Perlu kita sadari, kita hidup dalam zaman ideologi, kita tidak akan pernah bisa terus mengibarkan serta menularkan pemikiran Aswaja kita, pemikiran ala pesantren salaf kita, jika kita tidak pernah menuliskanya dalam suatu karya ilmiah yang pada nantinya akan bisa di pertarungkan dengan ideologi lawan kita. Sedangkan media jurnalistik semisal TV, radio, internet semua bahan mentahnya dihasilkan dari membaca pemikiran-pemikiran yang berkembang saat ini. Dan menulis adalah awal untuk bisa terbacanya sebuah pemikiran, kita tidak akan pernah bisa menampilkan pemikiran kita jika kita tidak pernah belajar untuk menuliskannya dan menyebarkannya pada khalayak luas. Dunia luar tidak akan pernah mengenal pesantren dan segala perniknya jika alm KH. Abdurrahman Wahid tidak mengenalkan ke berbagai media dalam setiap opini dan artikel-artikel yang ditulisnya. Maka, kami sangat setuju dengan maqolah: ”aku menulis maka aku ada”.
Pada intinya sebagaimana dawuh Al-Ghozaly di awal : ”jika kamu bukan seorang anak raja maka menulislah”. Selamat menulis, selamat berkarya, semoga bermanfaat.
By: Muh. Adieb
[1]Jalaluddin al-Mahali dan Suyuty dalam Tafsir Jalalain (121/13)
[2]As-Syaukani dalam Fathul Qadir (08/28)
[3].Al-ghozali dalam ihya’ juz 1(hal 09)
[4].Al-ghozali dalam ihya’ juz 1(hal 10)