KWAGEAN

ASMA DAN SIFAT

              Ahlussunnah menegaskan bahwa asma (nama-nama) Allah adalah tauqifiyah. Artinya bahwa nama-nama Allah ditetapkan berdasarkan penjelasan al Qur’an dan hadits-hadits Rasul-Nya. Tidak diperbolehkan bagi seseorang menamakan Allah semaunya sendiri. Allah ta’ala berfirman:

“Dan bagi Allah asmaa-ul husna, maka berdo’alah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”.

          Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah memiliki asmaul husna, yaitu nama-nama yang menunjukkan kesempurnaan. Tidak ada satupun dari nama-nama Allah yang menunjukkan ketidak sempurnaan. Sehingga pada ayat selanjutnya Allah melarang dan mengancam dengan adzab orang-orang yang menyelewengkan nama-nama Allah.

           Berdasarkan ayat di atas tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk menamakan Allah dengan sabab, illah, ruh, jisim, akal dan nama-nama yang tidak layak bagi Allah lainnya.

        Para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah bersepakat bahwa Allah memiliki sifat. Dan karena Dzat Allah adalah Azali (tidak bermula), maka demikian pula sifat-sifat-Nya pasti (wajib) Azali, karena kebaharuan sifat suatu dzat mengharuskan kebaharuan dzat tersebut. Para ulama Asy’ariyah mutaakhirin mengatakan bahwa sifat dzat bagi Allah berjumlah 20 sifat. Sedangkan para ulama Asy’ariyah mutaqaddimun menetapkan adanya tiga belas sifat wajib bagi Allah (13 sifat yang pasti dimiliki Allah). Perbedaan pendapat antara para ulama mutaqaddimun dan mutaakhirun adalah perbedaan lafdzi saja bukan maknawi. Karena sebenarnya 7 sifat maknawiyah(kaunuhu qadiran muridan, sami’an, bashiran, hayyan, ‘aliman wa mutakalliman) telah dijelaskan dalam sifat maknawi (qudrah, iradah, sama’, bashar, hayah, ilm, kalam).

                       Penetapan sifat 20 atau 13 bagi Allah ini bukan berarti pembatasan terhadap sifat-sifat Allah, namun karena sifat-sifat tersebut adalah sifat-sifat yang sering terulang penyebutannya dalam al Qur’an, baik dengan lafazh maupun maknanya saja. Selain itu, sifat-sifat tersebut juga dapat diketahui dengan hanya menggunakan akal, meskipun tanpa melihat pada nash-nash syara’, bahwa Tuhan pasti memiliki sifat-sifat tersebut dan tidak mungkin menurut akal Allah ta’ala disifati dengan sifat kebalikannya.

Adapun penjelasan dari sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut:

Artinya bahwa Allah itu (maujud) pasti ada, tanpa ada keraguan sama sekali akan ada-Nya). Allah ta’ala berfirman:

أَفِي اللهِ شَكٌّ

“Tiada keraguan akan adanya Allah”(Q.S.Ibrahim:10)

                 Bukti adanya Allah ta’ala secara akal adalah adanya alam semesta ini. Sebab adanya tulisan pasti ada yang menulis, adanya bangunan pasti ada yang membangun, adanya kursi pasti ada yang membuat, demikian juga adanya alam semesta ini (langit dengan segala isinya, bumi dengan segala isinya) pasti ada yang menciptakannya. Dan sang pencipta itu adalah Allah ta’ala berdasarkan kabar dari para nabi, sejak nabi Adam ‘alaihissalam sampai dengan nabi Muhammad shallallahu ‘alihi wasallam.

Artinya bahwa Allah itu qadim/azali yakni adanya Allah tanpa ada permulaannya. Allah ta’ala berfirman:

هُوَ اْلأَوَّلُ

Hanya Dia (Allah) al Awwal (yang ada tanpa permulaan).(Q.S.al-Hadid:3)

 

               Secara akal Allah pasti azali, sebab apabila dikatakan tidak azali berarti Allah hadits (adanya berpermulaan) dan itu berarti membutuhkan pada sesuatu yang menjadikan nya ada, sehingga mengharuskan terjadinya daur atau tasalsul, padahal keduanya adalah muhal (tidak dapat diterima akal).

                Daur artinya tergantungnya adanya sesuatu pada sesuatu yang wujudnya tergantung padanya, seperti apabila dikatakan Zaid diadakan oleh Amr dan Amr diadakan oleh Zaid. Hal seperti ini tidak dapat diterima oleh akal sebab membawa pada pernyataan bahwa Zaid diciptakan oleh sesuatu yang diciptakaannya sendiri.

               Sedangkan tasalsul artinya tergantungnya adanya sesuatu pada sesuatu yang adanya juga tergantung pada sesuatu yang lainnya, dan sesuatu inipun adanya tergantung pada sesuatu yang lainnya lagi dan begitu seterusnya, seperti apabila seseorang berkata kepada seseorang: aku tidak akan memberimu uang sampai aku memberimu uang sebelumnya, dan aku tidak akan memberimu uang sampai sebelumnya aku memberimu uang begitu seterusnya sampai tidak ada ujungnya.

Baqa’ artinya kekal, keberadaan tanpa akhir dan penghabisan. Allah ta’ala berfirman:

وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو اْلجَلَالِ وَاْلإِكْرَامِ

“Dan kekal dzat tuhanmu yang memiliki keagungan dan kemulyaan” (Q.S ar Rahman:27)

Secara akal seandainya Allah tidak bersifat baqa’ tentu alam ini tidak akan ada, tetapi faktanya alam ada, maka terbuktilah keabadian Allah ta’ala.

                 Al Mukhalafatu lil hawaditsi artinya Allah tidak menyerupai makhluk-Nya baik dari satu segi maupun semua segi. Allah ta’ala berfirman :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah (baik dari satu segi maupun semua segi)”. (Q.S. asy- Syura: 11).

                   Secara akal seandainya Allah menyerupai makhluk-Nya, tentu boleh bagi-Nya disifati dengan sifat makhluknya seperti: berubah, berkembang, dan binasa. Seandainya demikian tentu membutuhkan kepada sesuatu yang mengubah-Nya. Dan sesuatu yang membutuhkan kepada yang lain tidak sah menjadi Tuhan. Karenanya Imam Abu Hanifah mengatakan:

أَنَّى يُشْبِهُ اْلخَالِقُ مَخْلُوْقَهُ

“Tidak mungkin al Khaliq (Dzat yang menciptakan) serupa dengan makhluk (yang diciptakannya)”.

                  Al Qiyam binnafsiartinya bahwa Allah tidak butuh kepada segala sesuatu selainnya. Adapun segala sesuatu selain Allah pasti membutuhkan kepada-Nya. Allah ta’ala tidak mengambil manfaat dari ketaatan hamba-Nya dan tidak mendapatkan bahaya dari kemaksiatan hamba-Nya. Allah ta’ala berfirman:

وَاللهُ اْلغَنِيُّ وَأَنْتُمُ اْلفُقَرَاءُ

”Dan Allah maha kaya dan kalianlah yang membutuhkan (kepada-Nya)”. (Q.S Muhammad: 38)

                   Secara akal apabila Allah tidak disifati dengan al qiyamu binafsihi maka berarti Allah membutuhkan kepada sesuatu yang lain. Apabila demikian berarti Ia lemah, padahal sesuatu yang lemah tidak sah dijadikan sebagai tuhan.

Al Wahdaniyahartinya bahwa Allah Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya. Imam Abu Hanifah mengatakan:

إِنَّ اللهَ وَاحِدٌ لَا مِنْ طَرِيْقِ اْلعَدَدِ وَلَكِنْ مِنْ طَرِيْقِ أَنَّهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ

“Allah esa tidak dari segi bilangan tetapi dari segi bahwa Allah tidak ada sekutu bagiNya”

                     Allah tidak ada sekutu pada dzat-Nya karena dzat Allah tidak serupa dengan dzat makhluknya. Dzat Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran, sedang dzat makhluk adalah benda. Allah tidak ada sekutu pada sifatnya artinya sifat Allah tidak serupa dengan sifat makhluk-Nya, karena sifat Allah azaliyah Abadiyah (tanpa permulaan dan tanpa akhiran, tidak berubah-ubah) sedangkan sifat makhluk-Nya haditsah (baharu, berubah-ubah, memiliki permulaan dan penghabisan). Allah tidak ada sekutu pada perbuatannya, artinya perbuatan Allah tidak serupa dengan perbuatan makhluknya, karena perbuatan Allah azali abadi dan makhluk yang menjadi obyeknya adalah baharu, sedangkan perbuatan makhluk seluruhnya baharu, Allah ta’ala yang menciptakanny a pada makhluknya tersebut. Allah berfirman:

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ

“Katakanlah (wahai Muhammad) Allah maha Esa”. (Q.S. al-Ikhlas:1)

Secara akal seandainya Allah tidak bersifat wahdaniyah berarti Dia muta’addid (berbilang). Dan apabila Allah berbilang tentu alam ini tidak akan teratur, akan tetapi kenyataannya alam semesta ini teratur, maka Allah pasti bersifat wahdaniyah.

  1. Al Qudrah

Artinya bahwa Allah ta’ala pasti memiliki sifat Qudrah (berkuasa terhadap segala sesuatu). Dengan sifat qudrah inilah Allah mengadakan makhluk-Nya dari tidak ada menjadi ada, dan meniadakan makhluk-Nya dari ada menjadi tidak ada. Allah ta’ala berfirman:

وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Dialah (Allah) yang maha kuasa atas seagala sesuatu”.(Q.S al Maidah 120)

                   Secara akal, kita katakan: bahwa seandainya Allah tidak berkuasa terhadap segala sesuatu, berarti Allah lemah. Apabila Allah lemah tentu tidak akan ada alam semesta, Namun kenyataannya alam semesta jelas-jelas ada, seperti yang kita saksikan dengan mata kepala kita. Dengan demikian, terbuktilah secara akal bahwa Allah maha kuasa terhadap segala sesuatu.

  1. Al Iradah

            Artinya bahwa Allah ta’ala pasti memiliki sifat al iradah (maha berkehendak). Dengan sifat iradah, Allah menentukan makhluk-makhluk Nya dengan sebagian sifat tidak dengan sifat yang lainnya (tinggi tidak pendek, gemuk tidak kurus, tampan tidak jelek dan seterusnya). Dengan sifat iradah Allah juga menentukan makhluk dengan waktu tertentu tidak dengan waktu yang lain (dahulu tidak sekarang, besok tidak sekarang, hari ini tidak kemarin dan seterusnya). Dengan demikian, apapun yang terjadi di alam semesta ini adalah terjadi dengan kehendak Allah. Segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah pada azal pasti terjadi dan segala sesuatu yang tidak dikehendaki oleh Allah pada azal pasti tidak terjadi. Allah ta’ala berfirman:

مَا شَاءَ اللهُ كَانَ وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ

“Apapun yang Allah kehendaki pada azal maka pasti terjadi dan sesuatu yang tidak Allah kehendaki pada azal pasti tidak terjadi.

                   Secara akal, seandainya Allah tidak memiliki sifat iradah maka pastilah alam semesta ini tidak akan ada. Karena adanya alam semesta dengan segala bentuk dan sifat-sifatnya pasti membutuhkan pada dzat yang menentukannya pada bentuk dan sifat-sifatnya tersebut. Dan kita tahu persis, bahwa kita bukan orang yang menentukan bentuk dan sifat-sifat yang ada pada diri kita sekarang. Dengan demikian terbukti bahwa yang menentukannya adalah Allah ta’ala yang memiliki sifat iradah.

  1. Al ‘Ilm

           Artinya Allah disifati dengan sifat ilmu. Ilmu Allah tidak serupa dengan ilmu makhluk Nya. Ilmu Allah azali abadi (tanpa permulaan dan tanpa akhiran), tidak bertambah dan juga tidak berkurang, tidak berubah-ubah, tidak didahului dengan kebodohan. Dengan sifat ilmunya Allah ta’ala mengetahui segala sesuatu yang telah terjadi, yang sedang terjadi, yang akan terjadi sampai tidak ada akhirnya dan mengetahui sesuatu yang tidak terjadi seandainya terjadi bagaimana terjadinya (Allah mengetahuinya). Allah ta’ala berfirman:

وَأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

“Dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”.

Secara akal, seandainya Allah tidak disifati dengan sifat ilmu, berarti disifati dengan sifat sebaliknya yaitu bodoh. Padahal bodoh adalah sifat kurang yang tidak layak bagi Allah ta’ala.

  1. Al Hayat

           Allah memiliki sifat hayah (hidup), hidupnya Allah tidak seperti hidupnya makhluk, hidupnya Allah azaliyah abadiyah (tanpa permulaan dan tanpa akhiran), hidup Allah tidak membutuhkan ruh, daging, tulang, dan darah, berbeda dengan makhluk Nya yang tidak dapat hidup tanpa unsur-unsur tersebut. Allah ta’ala berfirman:

اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ

”Allah tiada tuhan selain-Nya yang maha hidup.”(Q.S al Baqarah 255)

           Secara akal, seandainya Allah tidak memiliki sifat Hayat tentu tidak akan bersifat al Qudrah (berkuasa), al Iradah (berkehendak), al Ilmu (mengetahui), sebab siafat-sifat ini tidak dimiliki oleh sesuatu yang mati. Dan apabila Allah tidak bersifat dengan sifat-sifat tersebut tentu akan disifati dengan lawan dari sifat-sifat tersebut, yaitu al Mamaat (mati), al‘ajz (lemah), al Karahah (terpaksa) dan al Jahl (bodoh), padahal seluruhnya merupakan sifat kurang yang tidak layak bagi tuhan. Dan seandainya Allah tidak bersifat al Hayat, tentu alam ini tidak akan ada, tetapi sebagaimana kita saksikan bersama, bahwa alam ini ada, ini membuktikan bahwa Allah Maha Hidup.

  1. Al Sam’u

        Artinya Allah maha mendengar dengan sifat pendengaran yang azali dan abadi (tanpa permulaan dan tanpa akhiran) tidak seperti pendengaran makhlukNya. Allah ta’ala mendengar tanpa membutuhkan pada telinga dan alat-alat yang lainnya. Dengan pendengarannya Allah mendengar segala sesuatu yang ada di alam ini dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari pendengaran-Nya, baik suara yang bisa kita dengar atau suara yang tidak bisa kita dengar.

       Secara akal, apabila Allah tidak bersifat Maha Mendengar maka berarti Ia tuli, sementara tuli adalah sifat kurang yang tidak layak bagi tuhan, maka mustahil Allah tidak bersifat Mendengar dan terbuktilah bahwa Allah maha mendengar.

  1. Al Bashar

             Artinya Allah Maha Melihat terhadap segala sesuatu dengan penglihatan-Nya yang azali dan abadi, tidak butuh pada mata atau alat-alat lainnya, tidak seperti penglihatan makhluk-Nya yang butuh mata atau alat-alat yang lainnya. Allah ta’ala berfirman:

وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

Ia (Allah) Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Q.S. as-Sura:11)

                 Secara akal, seandainya Allah tidak bersifat Maha Melihat maka berarti ia buta, dan buta adalah sifat kurang yang tidak layak bagi Allah, maka mustahil Allah bersifat dengan buta dan terbukti bahwa Allah maha melihat.

  1. Al Kalam

               Artinya Allah berfirman dengan kalam yang azali dan abadi (tanpa permulaan dan tanpa akhiran), karenanya kalam Allah bukan berupa bahasa, huruf dan suara tidak seperti perkataan makhluk Nya yang pasti berupa bahasa, huruf dan suara. Dengan sifat inilah Allah memberikan perintah, larangan, janji, dan ancaman.Allah berfirman:

وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا

“Dan Allah ta’ala benar-benar memperdengarkan kalam-Nya kepada Musa”(Q.S.an-Nisa: 164).

Secara akal, apabila Alah tidak disifati dengan sifat kalam, berarti Ia disifati dengan sifat kebalikannya yaitu bisu, padahal sifat bisu adalah sifat kurang yang tidak layak bagi tuhan.

oleh Ustadz Asy’ari Masduqi SHI,MA