Belajar Hadits secara instan lewat sarana elektronik memang memudahkan. Zaman yang serba canggih, semua informasi mudah didapatkan dan dipelajari. Begitu juga tentang materi-materi agama, khusus untuk kajian agama –memang sangatlah diperlukan- ada satu perlakuan khusus dan adab dalam mempelajarinya terutama yang berkaitan dengan nash-nash sumber hukum Islam mutlak seperti ayat Al-quran dan al-hadits.
Dalam mempelajari hadits, ada ada beberapa syarat dan ketentuan mengingat satu kaidah syariat yang mungkin cukup ‘ekstrim’ bagi kebanyakan umat islam. Salah satu kaidahnya syar’iyyah-nya yang mau saya singgung yaitu:
الحديث مضلة إلا للفقهاء
Al-Hadits itu menyesatkan, kecuali bagi fuqaha/ulama’ (Imam Syufyan bin Uyainah, guru Imam As-Syafi’i). Maksud ‘menyesatkan’ disini adalah kurang memahami atau bahkan salah paham terhadap apa yang dimaksudkan oleh lisan Nabi Muhammad -salallahu alaihi wassalam. Karena dalam mendalami hadits, seseorang minimal sudah memahami ayat al-quran, ulumul hadits (mustolahat hadits), asbabul-wurud al-hadits, paham fiqh dasar, dan ada guru yang membimbing. Guru yang membimbing pun benar-benar orang yang bisa dipertanggungjawabkan keilmuannya haditsnya, berakhlak mulia, bertaqwa, wara’, dan benar-benar tsiqah (terpercaya).
Sudah menjadi ketetapan Allah ta’ala, bahwasanya ilmu agamanya akan dijaga oleh orang-orang yang diberi kepahaman agama yang lebih, maka tugas kita sebagai ‘santri’ selayaknya bertanya dan bertanya kepada orang yang lebih tahu, dalam hal ini para ulama’. Sebagaimana dalam al-quran, Allah menasehati kita:
فاسألوا اهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
“Hendaklah kalian bertanya kepada orang yang mengetahui jika kalian tidak mengetahui” (QS. An-Nahl 16: 43). Ketika orang awam membaca suatu hadits -bahkan yang berderajat shahih sekali pun- dikarenakan ia tidak pernah belajar ‘syarah’ dan ulumul hadits dari guru yang bersanad, maka sangat dikhawatirkan ia akan dengan mudah menginstinbath hukum dari teks hadits sesuai pemikirannya sendiri. Hal inilah yang dikhawatirkan oleh para ulama, karena suatu hadits terkadang sudah ter-mansukh (terhapus dengan hadits yang lain yang menjadi nashikh-nya), atau hadits tersebut bersifat umum (‘am/general) yang perlu di-takhshis (dirinci) keterangannya lebih lanjut oleh hadits yang lain, atau bahkan terkadang secara dzahir haditsnya (leterlijk-nya) seolah-olah bertentangan dengan hadits yang lainnya, padahal tidak demikian; atau ditemukan hadits dho’if –karena ketidaktahuannya- sehingga ia serta-merta meninggalkannya, padahal hadits dhaif tersebut masih bisa diangkat derajatnya dengan beberapa syarat, atau hadits dhaif tersebut masih bisa dimanfaatkan sebagai fadha-il amal.
Akibat tidak memiliki adab ini dalam mempelajari hadits, akhir-akhir ini muncul orang-orang akhir zaman yang suka menyalahkan pendapat ulama besar seperti pendapat para imam besar sekaliber Imam As-Syafi’i atau Imam Al-Ghazali, bahkan kitab hadits shahih para mualif kutubus-sittah, pun dikritik dan didho’ifkan. Golongan orang yang ‘bingung’ ini mudah membid’ahkan dan menyalahkan kaum muslimin yang berbeda pendapat dengannya. Naudzubillah minhum.
Oleh karena itu, ana –sebagai santri- turut prihatin dan menyarankan agar para ‘pecinta hadits’ di dimanapun itu agar lebih konprehensif dalam mempelajari hadits. Usahakan dekat dengan ulama dalam memahami hadits, jangan gegabah dalam memutuskan suatu hal dalam syariat agama yang mulia ini. Intinya jangan hanya membaca hadits lewat sarana-sarana instans -seperti software, buku terjemahan, e-book dsb- tanpa bimbingan guru yang kompeten, serta usahakan tetap dalam adab ketika membuka file-file hadits. Saya tidak mengatakan bahwa semua sarana instan itu tidak bermanfaat sama sekali, tetapi setiap perkara yang instan ada dampak negatifnya jika tidak bijak dan hati-hati dalam memanfaatkannya. Wallahu a’lam.
Sumber: syamela NU