Bandung memasuki musim semi, pagi yang indah, langit yang cerah, orang-orang menatap hari dengan penuh gairah. Begitu juga Ahsan. Ia melangkah memasuki gerbang Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Bandung dengan semangat membuncah. Fakultas Dakwah di kota Kembang ini demikian ia cintai. Ia bayangkan hari yang penuh barokah. Mata kuliah Sirah Nabawiyyah, Fiqih, Dakwah. Fiqh al Muqoronah, Qiroaah Sab’ah, teman-teman yang semangat seirama dan segairah. Mencintai Rasulullah seutuhnya. Tekad membangkitkan diri sepenuhnya pada Agama Allah. Semuanya menjadi cahaya dalam dada. Menjadi mentari bagi semangatnya.
Sebelum diangkat menjadi seorang Nabi, Muhammad SAW telah dikenal sebagai orang yang paling menjaga amanah di seantero kota Makkah. Sehingga beliau diberi gelar al-Amin. Orang yang sangat dipercaya. Orang yang sangat menjaga amanah. Sifat inilah yang semestinya dimiliki setiap Muslim.
“Menjaga amanah adalah Ruh Agama ini”. Umur yang diberikan Allah kepada kita adalah amanah, langkah kaki kita adalah amanah. Pandangan mata kita adalah amanah. Hidup kita adalah amanah. Menjaga amanah adalah inti ajaran agama mulia ini. Rasulullah bersabda: “Laa diina liman laa amanata lahu”,* Tak beragama orang yang tidak menjaga amanah!*.
Hari ini ia mendapatkan penjelasan yang dalam tentang amanah, satu dari empat sifat utama Rasulullah. Prof. Dr. Dedi Iskandar guru besar Ilmu Dakwah menguraikannya dengan bahasa yang menghidupkan jiwa.
***
Pukul dua siang ia pulang. Naik bus menuju Cibiro, ia menyewa sepetak kamar disebuah rumah tua di kawasan Cibiro. Kamar yang pernah disewa oleh kerabatnya. Tuan rumahnya sangat baik. Tak pernah menagih uang sewa kamar. Ia sendiri yang sering malu. Malu pada diri sendiri dan malu pada tuan rumah. Pernah ia tidak bisa bayar sewa rumah 6 bulan. Dan pemilik rumah tak jua menagih. Kali ini, sudah empat bulan ia belum bayar. Otaknya terus berputar darimana ia akan dapat uang. Meminta orang tua yang sudah renta sangat tidak mungkin. Ia hanya selalu yakin bisa membayar. Allah Maha Kaya. Sudah 30 lamaran ia kirim ke tempat-tempat teriklan di koran. Namun tidak satupun panggilan ia dapatkan.
Sementara ini, untuk memenuhi kebutuhan harian, ia berjualan buku-buku, majalah, dan kaset-kaset islami di depan Masjid Cibiro. Ia tidak bisa menggelar dagangannya setiap waktu. Sebab harus berbagi dengan jam kuliah. Boleh dikatakan ia punya kesempatan serius menjajakan dagangannya pada hari Jum’at. Ketika kuliah libur, keuntungannya menjual buku tak seberapa.
Sesekali apa bila jadwal kuliah kurang efektif atau libur dia berangkat naik bis menuju Masjid Raya Bandung di alun-alun kota Bandung. Sekalian melepas penat dan sambil sesekali menjajakan dagangannya jika keadaan cukup ramai. Kebetulan cuaca cukup cerah pada hari itu. Sambil menunggu waktu Ashar tiba ia berteduh di bawah pohon di Taman yang berhadapan langsung dengan Masjid. Ia duduk dan menyandarkan punggungnya di pohon yang teduh. Tas hitamnya ia lepas. Ia letakkan di samping kanan kedua kakinya yang ia selonjorkan. Pelahan matanya memejam, namun pikrannya tetap melayang-layang. Darimana ia akan dapat uang. Darimana ia akan bayar sewa kontrakan. Ya Allah, mohon berikan aku jalan!
Adzan Ashar berkumandang. Ia bangkit harus segera ke wc/kamar kecil sebelum orang mulai banyak. Ia harus buang air kecil dan ambil air wudlu. Ia turun menuju kamar kecil. Benar orang mulai banyak. Belasan kamar kecil tertutup. Untung masih ada satu dua yang terbuka kosong. Ia masuk ia tutup pintunya, di pintu ia temukan tas hitam kumal tergantung. “Ada yang lupa membawa barangnya”, gumamnya.
Dimana-mana, dimuka bumi ini, barang tertinggal di kamar kecil sudah jamak dan biasa baik barang itu berharga maupun kurang berharga. Di kamar kecil kampus UIN ia pernah menemukan jam tangan tertinggal. Di kamar kecil Masjid Al Furqon Cibiro ia pernah menemukan bungkusan kecil hitam plastik. Ternyata isinya 2 kilo jeruk. Entah kenapa ia sering menemukan barang yang tertinggal di kamar kecil.
Lalu ia mengambil tas itu, lalu keluar dan berteriak kearah orang-orang yang berwudlu. “Ada yang merasa memiliki tas ini”.tak ada yang menjawab sekali lagi ia berteriak. “Perhatikan! Maaf, ada yang merasa memiliki tas ini. Aku temukan tergantung di kamar kecil nomor 10”.
Tak ada yang menjawab.
“Pemiliknya mungkin sudah naik ke atas”, sahut seseorang.
“Serahkan saja pada pengurus Masjid, siapa tahu nanti pemiliknya mencarinya”, sahut yang lain.
“Iya, serahkan sama pengurus Masjid, biar anti setelah sholat diumumkan.”
“Baik.”
Ia langsung bergegas ke tempat pengurus Masjid. Menyerahkan tas itu ihwal penemuannya pengurus Masjid yang berjenggot lebat itu tersenyum renyah dan berkata “ bukankah engkau yang biasa berjualan buku di depan pada hari Jum’at atau ada pengajian akbar?”
“Benar paman”
“Siapa namamu?”
“Ahsan, lengkapnya Muhammad Ahsan Ul Khalai.”
“Apa yang kamu lakukan sangat terpuji. Sesuai dengan namamu. Tidak semua orang yang menemkan tas berusaha disampaikan pada yang berhak dan yang berwenang mengurusnya, Aku bangga kepadamu. Semoga Allah memberkahi perbuatanmu, Anakku. Kau telah menunaikan amanah dan Insyaallah akan kami tunaikan amanah ini.”
Ia kembali turun untuk memenuhi hajatnya yang tertunda.
***
Usai sholat, Pengurus Masjid Raya Bandung mengumumkan perihal ditemukannya tas hitam, jika ada yang merasa memilikinya harap menemui imam Masjid.
Ia lega mendengar pengumuman itu, berharap apa yang dilakukannnya berpahala. Apapun isi dari tas itu, pasti yang punya akan bahagia mendapatkannya kembali. Seperti saat ia kehilangan buku diktat kuliahnya, yang ketika itu ia simpan di Mushola, namun setelah sholat ia langsung pulang. Pada malam hari saat ia hendak membaca ulang, dia baru ingat bahwa diktatnya itu tertinggal di Mushola. Pagi harinya ia langsung bergegas ke kampus dan segera menuju ka Mushola, namun tidak ia dapati diktatnya di tempat yang semula ia simpan.
“Oh siapakah yang mengambil bukuku? Untuk apa?”
Ia coba beranikan bertanya kepada seorang mahasiswa yang biasa di Mushala, mahasiswa itu tersenyum dan berjalan menuju lemari di Mushola.
“Inikah bukumu itu?”
“Benar.” Jawabnya dengan penuh suka cita. Ia sangat bahagia saat itu. Ia berharap pemilik tas itu juga akan merasakan hal yang sama.
***
Hari berikutnya ia kembali kuliah, namun hari itu kampus sedang mengadakan demokrasi pemilihan ketua kelas senat sehingga jadwal mata kuliahpun tidak efektif dan banyak diliburkan. Maka, untuk mengisi waktu luangnya ia berangkat ke kota untuk mencari-cari buku. Dan ia sempatkan sholat di Masjid Raya Bandung. Usai sholat, pengurus Masjid mengumumkan bahwa kemarin ditemukan tas hitam yang tergantung di kamar kecil. Jika ada yang merasa memiliki boleh menghubungi imam. Ia paham bahwa pemiliknya belum mengambilnya. Namun ia sangat lega, dengan mendengar pengumuman itu ia jadi sangat yakin bahwa orang-orang Masjid sangat bisa di percaya, dan diandalkan keamanahannya.
Usai sholat, ia bergegas ke kontrakkannya. Ia ingin menggelar dagangan buku dan kasetnya. Setelah Maghrib ada pengajian K.H. Zainuddin MZ, dan biasanya jama’ah membludak. Semoga diantara mereka ada yang berminat membeli buku dan kaset dagangannya, terutama buku yang ditulis dan kaset da’wah kyai yang terkenal dengan sebutan ‘Ulama Sejuta Umat itu.
Begitu sampai di kontrakkan, kemudian ia mandi cepat sekali, ganti pakaian, memakai minyak wangi pemberian temannya. Dua kardus besar ia letakkan di kedua bahunya, sebuah tikar plastik ia selipkan diantara kardus dan kepalanya. Terasa sangat berat, tetapi inilah hidup, inilah jihad. Dan jika sudah terbiasa, maka terasa ringan-ringan saja. Kemudian ia turun tangga sebab kamarnya berada di lantai tiga, lalu berjalan melewati lorong-lorong sempit, menyusuri trotoar, melewati seretan gedung perkantoran, sampai di depan Bank BRI ia turunkan kardusnya. Ia kelelahan. Tinggal menyeberang jalan untuk sampai ke tempat depan Masjid Raya. Ia menyeberang jalan, sebuah angkot kuning melaju dengan kencang dan nyaris menyerempet kaki kanannya. Ia beristighfar sementara sopir angkot mengumpat tidak karuan. Setelah sesampainya di taman, ia turunkan kardusnya dan menggelar tikar, lalu ia tata dan ia susun buku dagangannya sedemikian rupa. Demikian juga kaset-kaset dan majalahnya. Kaset-kaset K.H. Zainuddin MZ ia susun semenarik mungkin di bagian paling depan, sehingga nampak menonjol dan memikat hati yang melihatnya.
Senja mulai pekat, langit memerah di sebelah barat, lampu-lampu kota mulai menyala, orang-orang mulai deras berdatangan. Hatinya riang karena sudah 7 buku dan 5 kaset yang terjual. Semua fatwa Kyai Zainuddin MZ keuntungan masing-masing buku Rp.20.000,- dan kaset Rp. 15.000,-. Sebelum Maghrib ia sudah mendapatkan Rp. 215.000,-.
“ Alhamdulillah ya Rabb”. Pujinya pada tuhan yang memberinya rezeki. Lalu ia berharap jika Kya Zainuddin MZ tiap hari memberi ceramah di Masjid Raya Bandung, jika tiap hari ia bisa untung Rp. 215.000,- saja, maka ia akan mempunyai pemasukan besar, dan itu lebih dari cukup untuk membayar sewa kamar, makan, ongkos bis, dan buku. Bahkan ia bisa menargetkan kapan ia akan menikah. Ah, kenapa ia bisa-bisa terfikirkan menikah. “ Akang, mohon maaf, berapa harga kaset ini?” suara seorang perempuan membuyarkan lamunannya. Ia mengarahkan matanya kearah asal suara tersebut, hatinya bergetar sesaat. Di hadapannya seorang gadis yang berparas elok, berjilbab putih, berjongkok sambil memegang kaset. “ Iya, kaset ceramah Kyai Zainuddin yang berjudul al Mar’ah as Sholihah”. Satu detik matanya beradu dengan mata gadis tersebut. Ia menangkap kecantikannya, mata yang bundar dan bening, wajah yang bersih dengan tahi lalat di dagu kirinya. Ia segera menahan matanya dengan mengalihkan ke kaset yang dipegang gadis itu. “ Ee, Tiga puluh ribu”. “ Mahal sekali kang”.” Tidak mahal teteh, ini baru lho”. “ Dua puluh ribu aja ya kang?”, gadis itu menawar. “ Aduh kayaknya belum dapat teteh, mohon maaf!”. “ Dua puluh lima ribu aja yaa?”. “ Ya udah, ok”.
Gadis itu mengambil uang dan memasukkan kasetnya ke dalam tas. Seraya berkata “terima kasih ya kang kasetnya!”. “ Iya Teh, terima kasih juga telah membeli barang saya, semoga bisa bermanfaat”. “ Amin, permisi kang”, ujar gadis itu sambil beranjak pergi.
Setelah gadis itu berlalu, ia raba hatinya. Masih ada getaran. Ia jadi berfikir, kenapa ia baru berangan-angan tentang nikah, tiba-tiba ada gadis di depannya. Gadis yang membuat hatinya bergetar. Apakah ini tanda-tanda.
“ Ah… Astaghfirullah, aku tak mau dijebak setan!”. cepat-cepat ia menolak fikirannya. Bukankah sudah terhitung gadis berjilbab yang membeli dagangannya? Di antara mereka bahkan banyak yang lebih cantik dari gadis tadi. Kenapa tiba-tiba harus bergetar, harus merasakan sesuatu yang lain?.
Saat Maghrib tiba Masjid telah penuh. Ia merasa tidak perlu masuk Masjid. Cukup menggelar koran dan ikut berjamaah di samping dagangannya. Usai sholat K.H. Zainuddin MZ memberikan ceramahnya. Berkali-kali tasbih dan kalimat tauhid terdengar bergemuruh dari para jamaah. Di tengah-tengah asyiknya mendengarkan ceramah. Sambil sesekali melayani pembeli, tiba-tiba seorang lelaki berjenggot bermuka ramah mendatanginya. Lelaki itu tak lain adalah seorang pengurus MasjidRaya Bandung.
“ Apa kabarmu nak? Laris?”
“ Alhamdulillah, saya baik. Rezeki hari ini juga baik”
“ Syukur kalau begitu. E… begini nak…”
“ Ya, paman, ada apa?”
“ Ada yang ingin bertemu denganmu. Jika kau tidak keberatan, habis ‘Isya datanglah ke kantor Pengurus Masjid”.
“ Perlu apa ya kira-kira paman?”
“ Insyaallah baik untukmu, bisa?”
“ Insyaallah, paman”, Jawab Ahsan.
***
K.H. Zainuddin MZ memberikan siraman penyejuk jiwa sampai ‘Isya. Beliau juga mengimami sholat ‘Isya. Acara ceramah beliau disiarkan langsung ke seluruh penjuru Nusantara oleh stasiun televisi swasta. Usai sholat. Ahsan sibuk dengan para pembeli bukunya. Semua dagangannya ludes hanya menyisakan tiga buku dan dua kaset. Ketika Masjid mulai sepi, ia mulai mengemasi dagangannya.
“ Ini sungguh hari yang penuh dengan keberuntungan.” Katanya pada diri sendiri. Terima kasih ya Allah. “ Lumayan, bisa untuk menyelamatkan muka. Bisa untuk membayar sewa kamar dan kebutuhan yang lain.” Gumamnya pada diri sendiri.
Setelah mengikat kardusnya ia melangkah ke Masjid. Ia letakkan dagangannya di balik pintu masuk, lalu menuju salah satu ruang yang yang digunakan sebagai kantor para pengurus. Di sana ada beberapa orang yang berkumpul. Ia mengetuk pintu dan memberi salam. Yang ada di situ serentak menjawab salam. Sekilas ia lemparkan pandangannya. Tak ada K.H. Zainuddin MZ, mungkin telah diantar pulang.
“ Nak Ahsan, silakan duduk.” Lelaki berjenggot bermuka ramah mempersilahkan duduk.
“ Terima kasih.” Jawabnya. Ia lalu duduk di kursi yang masih kosong.
“ Dia kah pemuda itu?” seorang lelaki setengah baya berawajah bersih tiba-tiba berkata sambil memandang ke arahku.
“ Benar, dialah orangnya.” Jawab lelaki berjenggot bermuka ramah.
Ahsan yang merasa dirinya menjadi obyek pembicaraan spontan bertanya, “ Kalian membicarakan aku?”
“ Ia nak Ahsan. Seperti yang saya sampaikan ba’da Maghrib tadi. Ada orang yang perlu denganmu. Ceritanya begini. Bapak ini adalah tuan Salim Ali Ghani. Beliaulah pemilik tas hitam yang kau temukan. Beliau ingin berterimakasih padamu.” Lelaki berjenggot bermuka ramah menjelaskan.
“ Benar nak Ahsan. Saya sangat berterimakasih padamu. Sebagai rasa terimakasih, saya ingin memberikan sesuatu padamu. Nilainya mungkin tidak seberapa, tapi semoga menjadi tanda syukur. Karena siapa yang tidak berterimaksih pada manusia, berarti dia tidak berterimaksih pada Allah.” Kata lelaki setengah baya berwajah bersih bernama Salim itu.
Ahsan belum sempat mengucapkan sepatah kata, namun tuan Salim telah berdiri dan tangannya mengulurkan amplop kepadanya. Dengan spontan Ahsan menolak seraya berkata,” Sebentar tuan Salim, kemarin saya hanya menunaikan amanah karena Allah, Itu saja… Itu sudah kewajiban saya sebagai seorang muslim. Jadi, rasanya tidak semestinya saya menerima yang berlebih. Tidak perlu berterimaksih atas sebuah kewajiban. Bersyukurlah kepada Allah!”
“ Iya, kau benar. Tapi tolonglah terimalah tanda terimaksihku padamu nak.”
“ Saya terima ungkapan terimakasihnya, tapi maaf tuan jangan paksa saya untuk menerima imbalan.”
Tuan Salim memandang kepada lelaki Imam Masjid yang hanya diam saja sejak tadi. Sang Imam mengisyaratkan dengan gelengan kepala dan telapak tangannya agar jangan memaksa.
“ Baiklah, aku tidak bisa memaksa. Tapi apakah kau tahu isi tas hitam itu?” kata tuan Salim.
Ahsan menggelengkan kepala seraya berkata,” Saya sama sekali tidak membukanya.”
“ Aku percaya kamu tidak membukanya, karena isinya masih utuh semua. Untung kamu tidak membukanya. Kalau kamu membukanya, setan mungkin memperdaya kamu agar kamu tidak menunaikan amanah dengan sebenar-benarnya. Lihatlah nak Ahsan, ini isinya.”
Tuan Salim lalu mengeluarkan isi tas hitam itu. Pertama-tama koran bekas yang telah lecek. Bungkusan plastik hitam. Sebuah kantong kain berwarna hijau tua. Buku agenda. Dan sebuah pena hitam yang ujungnya kuning keemasan.
“ Kelihatannya tidak ada yang istimewakan? Tapi ini adalah setengah perjalanan hidupku.” Kata tuan Salim. Dia lalu mengambil bungkusan plastik hitam dan mengeluarkan isinya. Dua bundel dollar Amerika.
“ Jumlahnya tiga puluh ribu dollar.” Kata tuan Salim. Ia lalu meraih kantong hijau tua dan mengeluarkan isinya. Seuntai kalung emas permata dengan bandul permatamulia berwarna biru tua yang sangat indah.
“ Ini nilainya tiga ratus ribu dollar. Baru saya beli dari Yaman untuk hadiah putriku yang berhasil menghafalkan al-Qur’an.”
Tuan Salim lalu beralih pada buku agendanya yang berkancing. Setelah dibuka ternyata isinya cek senilai tujuh ratus ribu real Saudi Arabia. “ Inilah isi tas lusuh itu nak Ahsan, apakah aku tidak pantas memberikan sesuatu padamu sebagai ucapan terimakasih.”
Semua yang hadir di ruangan itu diam dan takjub. Semua baru tahu isi sebenarnya tas hitam kumal itu. Mereka tidak sempat memeriksa isi tasnya dengan teliti. Hanya mencatat biodata yang ada di halaman depan agendanya. Juga tidak memeriksa isi kantong hijau tua dan bungkusan plastik. Begitu ada yang mengaku memiliki tas itu, mereka mengujinya dengan menanyakan kartu identitas. Dan ternyata yang mengaku dapat menyebutkan isi tas secara umum. Maka mereka percaya bahwa dialah pemiliknya. Yaitu tuan Salim seorang pengusaha keturunan Yaman Indonesia yang tinggal di kota Cianjur, pemilik toko buku dan kitab terbesar di Cianjur dan toko oleh-oleh haji serta biro perjalanan haji dan umroh, yang belakangan ini baru terungkap identitasnya.
“ Allah yang mengatur semuanya. Alhamdulillah saya bisa mengamalkan dan menunaikan amanah. Saya ingin murni karena Allah. Jangan paksa saya.” Kata Ahsan lirih.
“ Aku sungguh bangga padamu nak Ahsan. Baiklah aku tidak akan memaksa lagi. Namun aku tetap ingin mengungkapkan rasa syukurku. Aku sedekahkan cek senilai tujuh ratus ribu real untuk anak yatim dan fakir miskin. Pengelolaannya saya serahkan pada pengurus Masjid. Pahalanya semoga terlimpahkan pada semua orang beriman yang menunaikan amanah dengan benar.”
Ahsan bersyukur dalam hatinya bahwa ia bisa mempertahankan prinsipnya. Di akhir pertemuan, tuan Salim bersalaman dengan Ahsan, beliau mencium kening anak muda itu sebagai tanda cinta dan penghormatan.
***
Hari berkutnya Ahsan menceritakan apa yang dialaminya mengenai tas kumal dan pertemuannya dengan Tuan Salim kepada Sulthon sahabat karibnya. Dan Sulthon menanggapinya dengan sangat emosi.
“ Emang sewa kamarmu sudah kau lunasi?”
“ Belum” jawab Ahsan.
“ Kau sungguh bodoh! Sok suci! Sok ikhlas! Miskin tapi sok kaya! Apa sih beratnya menerima tanda terimakasih. Mungkin itu bisa jadi modal kamu usaha. Kamu itu sungguh manusia aneh. Bayar sewa kamar saja nunggak berbulan-bulan tapi sok malaikat. Sok tidak butuh uang. Dasar kolot, tolol, bahlul, primitif! Sini berikan kartu namanya, biar aku cari Tuan Salim itu dan aku ambilkan bagianmu.”
Ahsan menggelengkan kepalanya. “ Kenapa tidak?!” sengit Sulthon. “ lelaki sejati tidak akan menjilat ludahnya!”. “ Bah! Dasar premitif, kolot! Jika kau masih mempertahankan kekolotan prinsip-prinsipmu di era global seperti ini, kau tidak akan survive! Kau akan binasa tertindas realitas!”
“ Allah bersama orang-orang yang bertawakal kepadanya.” Dengan muka kesal Sulthon meninggalkan Ahsan sambil bergumam,” Semoga kau mendapatkan petunjuk wahai manusia lugu yang kolot!”.
***
Bumi terus berputar. Matahari terus terbit di timur dan tenggelam di barat. Tak pernah berhenti. Hari berganti hari. Setelah empat tahun kuliah, Ahsan berhasil menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Dakwah dengan nilai Mumtaz. Ia terpilih sebagai terbaik pertama di angkatannya. Selesai kuliah ia tidak pulang kampung, tapi mencoba bertahan di Bandung. Ia ingin lanjut pasca Sarjana. Namun ia merasa perlu kemapanan ekonomi. Dia sambil cari-cari beasiswa S-2 ke luar negeri.
Suatu hari ia pergi ke kampus. Ia kangen dengan kampus dan teman-teman yang belum lulus. Di pintu gerbang ia berpapasan dengan rektor dan Ahsan menyalaminya dengan penuh ta’dzim.
“ Ahsan, sudah dua minggu aku mencarimu. Nanti jam satu siang datanglah ke ruang kerjaku.”
“ Insyaallah Prof.” Jawabnya singkat.
Tepat jam satu kurang lima menit ia masuk ruang kerja rektor dengan terlebih dulu salam.
“ Wa’alaikumussalaam. Duduklah Ahsan! Kau tepat waktu Ahsan. Aku senang.”
“ Ada yang saya bisa bantu Prof?”
“ Begini Ahsan. Aku mau bertanya padamu, mau tidak kamu mengamalkan ilmumu?”
“ Tentu Prof. Bukankah ilmu harus diamalkan?”
“ Mau tidak kamu berjuang dan berda’wah?”
“ Ia Prof. Itu adalah kewajiban seorang muslim.”
“Rasanya tidak salah memanggil kamu. Begini nak, ada sebuah daerah di ujung Indonesia sana yaitu Papua, tepatnya di Freeport yang sangat membutuhkan da’i dan imam Masjid. Maukah kamu di utus kesana? Sebagai utusan resmi UIN SGD. Semua biayanya ditanggung oleh kampus. Kau juga akan dapat gaji. Kau tidak selamanya di sana. Hanya dua tahun. Setelah itu, akan aku usahakan kau dapat beasiswa untuk lanjut S-2 ke luar negeri. Bagaimana?”
Mendengar penjelasan dari Profesor, hati Ahsan gerimis. ” Saya wakafkan diri saya untuk dakwah Prof….kalau untuk dakwah saya siap di tempatkan dan diutus dimana saja”.
“ Aku bangga mendengarnya anakku. Bersiap-siaplah, surat-surat dan tiketnya akan aku urus. Insyaallah minggu depan kamu berangkat. Dan ingat kamu berangkat ke medan dakwah yang tidak ringan.”
“ Mohon do’anya Prof.” Ucap Ahsan.
“ Semoga Allah selalu menjagamu dan memberimu keberhasilan hidup anakku.”
“ Amiiin.”
***
Minggu berikutnya, setelah menempuh perjalanan panjang dari Jakarta ke Papua. Dilanjutkan dengan menggunakan bis dan mobil zip, sampailah Ahsan di sebuah pemukiman padat penduduk yaitu Kota Tembagapura. Dan sebagian besar warganya adalah karyawan dari PT. Freeport Indonesia. Hanya sebagian kecil merupakan warga lokal. Begitu sampai dia langsung disambut oleh lelaki tua berumur tujuh puluhan, yang merupakan ketua himpunan masyarakat muslim PT. Freeport Indonesia. Ia berbincang dengannya dengan penuh ta’dzim, menjelaskan maksud kedatangannya dan menyerahkan surat tugas. Lelaki tua itu mempersilahkan masuk rumahnya, menyambutnya dengan penuh suka cita. “ Alhamdulillah surat permohonan saya ke bagian dakwah UIN SGD dikabulkan. Saya sangat bahagia. Saya berharap kau betah di desa ini dan bisa menjadi pencerah di desa kami sekaligus mengisi posisi imam Masjid yang kosong.” Kata lelaki tua tersebut.
“ Ah, sebenarnya saya merasa tidak pantas menjadi imam. Bacaan Al-Qur’an saya masih belum benar. Tapi Insyaallah saya akan coba menjalankan amanah dengan semampunya.”
“ Nanti ba’da Maghrib kau akan ku perkenalkan pada Jamaah Masjid. Setelah itu kau akan ku ajak berkunjung ke rumah para pemuka masyarakat desa ini dan Pengurus PT. Freeport. Mereka semua pasti akan senang dengan keberadaanmu disini.:
“ Semoga Allah memudahkan semuanya, Amiin.”
Sejak hari itu mulailah perjuangan dakwah Ahsan di desa. Kebetulan ada sebuah rumah kosong yang tidak terlalu jauh dari Masjid. Sebuah rumah tua namun masih layak untuk ditempati. Pak Hisyam, kakek tua tadi dan para pemuka masyarakat menyiapkan rumah itu untuk Ahsan.
Satu bulan di desa itu ahsan benar-benar merasakan beban yang tidak ringan. Masyarakatnya dan anak-anak di desa itu masih ada yang buta masalah agama, masih ada yang belum bisa baca Al-qur’an. Selama ada disana ia dingkat menjadi imam, bahkan jika di Masjid-Masjid yang ada di wilayah Freeport imamnya berhalangan, maka dialah yang menggantikan sementara. Meski harus naik helikopter dan terjun ke lorong Masjid bawah tanah. Ia menjadi rujukan tempat bertanya masalah agama. Bahkan masalah sosial. Masyarakat begitu percaya padanya sebagai lulusan Pondok Pesantren dan mahasiswa lulusan terbaik di Fakultas Dakwah UIN SGD Bandung. Mereka sangat antusias belajar agamanya padanya. Seringkali Ahsan membuat acara yang mengasyikkan buat mereka. Kematangannya ketika aktif di organisasi kepanduan sebelum masuk kuliah sangat berharga.
Genap satu tahun, Ahsan seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat desa itu. Pengajian umum yang ia buka di Masjid setiap hari Jum’at pagi dihadiri oleh ribuan orang. Tidak hanya masyarakat setempat, namun juga dari desa-desa sekitarnya.
Namun lazimnya sebuah dakwah, tidaklah mulus begitu saja. Sudah beberapa kali nyawanya terancam oleh mereka yang merasa terganggu oleh dakwahnya. Ada sekelompok Mafia kecil yang secara diam-diam menanam ganja di tengah-tengah kebun mereka. Mereka adalah jaringan pengedar narkoba di kawasan Papua. Ulah mereka belum terendus pihak kepolisian. Kehadiran Ahsan yang berpendidikan dianggap sangat membahayakan. Beberapakali Ahsan hendak dienyahkan, difitnah namun Allah tetap melindunginya.
***
Tak terasa sudah sembilan belas bulan Ahsn berdakwah. Sudah cukup banyak perubahan. Anak-anak sudah fasih membaca Al-Qur’an. Para orang tua sudah memahami isi Aqidah, Fiqh dan Risalah Islam. Sebuah balai serbaguna didirikan di samping Masjid.
Tiga bulan lagi tugasnya usai. Ia ingin kembali ke Bandung dan melanjutkan S-2. Ia hendak menyampaikan hal itu pada Kepala Desa dan Pengurus Himpunan Masyarakat Muslim, termasuk Pak Hisyam yang sangat ia hormati. Apa yang ia sampaikan ditanggapi dengan keharuan dan tetesan air mata. Pak Hisyam berkata dengan dengan mata berkaca,” Kami sangat mencintaimu nak Ahsan. Kami sebenarnya ingin nak Ahsan tinggal di sini lebih lama lagi. Namun semua kembali pada nak Ahsan. Kami tidak memaksa. Namun ada satu permintaan kami yang kami sangat berharap nak Ahsan tidak menolaknya.”
“ Apa itu?” tanya Ahsan.
“ Begini nak Ahsan, saya punya cucu satu-satunya. Tidak cucu langsung, tapi cucu kakak saya yang telah meninggal. Ia sebatang kara. Ayah dan Ibunya telah meninggal karena kecelakaan setengah tahun sebelum kami datang kemari. Akulah satu-satunya keluarganya. Aku sudah tua. Sejak kecil dia sering dibawa kesini, bahkan selama kamu disini diapun ada disini, namun jarang keluar. “ Boleh dikata cucu saya itu, menurut pengakuan orang-orang desa yang pernah melihatnya, dia adalah gadis tercantik dan terpandai. Cucu saya ini juga bisa dikatakan orang paling kaya, karena mewarisi kekayaan ayahnya dan usaha-usahanya di Cianjur Jawa Barat. Tanggungjawab saya adalah menikahkannya dengan pemuda yang sholeh, bertakwa, berilmu dan bertanggungjawab. Saya merasa kau sangat tepat. Saya menjamin ia gadis yang sholehah. Saya akan sangat merasa aman jika dia dalam naungan lelaki sholeh sepertimu. Dia sekarang berada di Cianjur untuk mengontrol bisnisnya.” Paparnya.
Perkataan pak Hisyam membuatnya kaget dan terkesima. Lidahnya susah digerakkan. Ia diam. Semua yang ada dalam pembicaraan itu diam. Suasana hening sesaat. Akhirnya dia bisa menggerakkan lidah dan bibirnya.” Sa…saya akan istikharah dulu.”
***
Tiga kali istikhoroh. Setiap kali istikhoroh ia tidur dan bermimpi membaca Al-Qur’an surat Ar-Ruum ayat 21. Ia sangat yakin bahwa itu adalah ilham agar ia segera menikah. Akhirnya ia menyampaikan jawabannya untuk menerima tawaran itu dan menyampaikannya pada pak Hisyam. Jawaban Ahsan meneteskan air mata haru.
Minggu berikutnya diadakan acara ta’aruf antara Ahsan dan cucu pak Hisyam itu. Acara dihadiri oleh kepala desa. Ahsan hanya bisa menunduk dengan hati dan jantung berdebar-debar. Darah mudanya meluap. Ia penasaran. Seperti apa rupa gadis yang katanya paling cantik ini.
Istri pak Hisyam mengeluarkan minuman dan makanan. Gadis itu tidak ikut keluar. Setelah berbincang-bincang cukup lama, pak Hisyam berkata,” Nak Zahra keluarlah!”
Tak lama kemudian seorang gadis berjilbab panjang putih bersih keluar. Ia duduk di samping pak Hisyam.
“ Nak Ahsan, ini Zahra cucuku.” Kata pak Hisyam.
Ahsan mengangkat muka kearah wajah gadis itu. Si gadis juga melakukan hal yang sama. Dan….Subhanallah!! Ia teringat peristiwa tiga tahun yang lalu. Peristiwa saat ia berjualan buku dan kaset. Gadis ini bukankah? Ya, persis! Mata yang bundar dan bening. Muka yang bersih dengan tahi lalat di dagu kirinya. Si gadis sepertinya juga kaget, cukup lama mereka berpandangan.
“ Agak aneh. Apa kalian pernah saling kenal?” Pak Hisyam menangkap gelagat. Gadisitu diam. Ahsan mencoba mengingat kejadian itu. Ia bergumam,“ Masjid Raya Bandung. Kaset K.H. Zainuddin MZ berjudul: Al Mar’atusSholihah”. Gadis itu bahkan ingat dialog tawar-menawar waktu itu. Ahsan terhenyak, gadi situ masih ingat dialognya tiga tahun yang lalu. Pertemuan yang setelah itu tidak bertemu lagi kecuali saat ta’aruf itu.
Paman Hisyam dan semua yang hadir paham. Ia lalu membahas lebih dalam. Zahra dan Ahsan sama-sama ridla. Hari pernikahanpun ditentukan.
***
Musim hujan menuju musim panas yang penuh barakah. Pagi yang indah. Langit yang cerah. Orang-orang menatap hari dengan penuh gairah. Begitujuga Ahsan dan Zahra. Pagi hari Jum’at itu berlangsung akad nikah di desa yang tenang itu. Usai aka pernikahan digelar. Penduduk desaTembaga pura bersuka cita. Anak-anak mendengarkan lagu cinta dan kebahagian.
Rumah tua yang ditempati Ahsan ternyata adalah rumah Zahra dulu waktu kecil. Rumah itu telah direnovasi dan dicat kembali. Kamar pengantin dihiasi indah dan wangi.
Malam usai shalat ‘Isya Ahsan masuk kamar. Sang istri telah menanti. Kali ini tidak berjilbab. Ahsan terhenyak ketika melihat kalung permata yang dipakai Zahra. Kalung emas permata dengan permata mulia berwarna biru tua yang sangat indah. Ia memandangi kalung itu lama sekali.
Zahra herandan bertanya,” Ada apa dengan suamiku? Kenapa wajahmu pucat dan matamu berkaca-kaca saat kaumelihat kalung permataku ini?”
Ahsan berkaca-kaca dan berkata,” Jika mataku tidak salah. Aku pernah melihat kalung mutiara ini tiga tahun lalu. Pemiliknya mengatakan kalung ini dibeli di Yaman untuk hadiah putrinya yang baru hafal Al-Qur’an.”
Mendengar hal itu Zahra terisak. Ia teringat cerita almarhum ayahnya. Terbata-bata ia berkata,” Jadikaukah yang menemukan tas hitam lusuh di kamar kecil Masjid Raya Bandung itu? Kaukah yang menolak pemberian tanda terimakasih dari pemiliknya itu? ”Ahsan kaget,” Kau tahu peristiwa itu? Darimana kau tahu peristiwa itu?”
“ Kau ingat nama Salim Ali Ghani.”
“ Ya. Dia adalah pemilik tas itu.”
“ Beliau adalah ayahku.”
“ Ayahmu?”
“ Ya.”
“ Subhanallah. Ketika namamu disebut dalam akad nikah Zahra binti Salim Ali Ghani, aku tidak pernah berfikiran pemiliktas hitam lusuh itu. Sebab berapa banyak nama Salim di Indonesia ini.”
“ Hari itu aku dating ke Masjid Raya Bandung bersama ayah. Aku asyik melihat buku-bukudan kaset. Ayah yang bertanya pada pengurus Masjid. Ketika ayah bilang tas nya telah ditemukan masih utuh aku sangat bahagia. Sementara ayah menunggu di Masjid Ba’da ‘Isya, aku memilih langsung istirahat ke hotel. Sepulangnya dari Masjid ayah menangis. Aku bertanya pada ayah,” Ayah ada apa?”. Ayah menjawab,” Yang menemukantas ayah yang sangat berharga ini adalah seorang pemuda yang sangat menjaga keikhlasan dan sangat menjaga amanah. Aku akan merasa bahagia jika Allah berkenan menjodohkan dirimu dengannya”.
“ Suamiku, apakah kau tahu apa yang aku lakukan saat mendengar perkataan ayah itu!”. “ Aku tak tahu apa yang kau lakukan”.
“ Malam hari aku berdoa kepada Allah, jika pemuda itu benar-benar shaleh dan menjaga amanah semoga kelak ia benar-benar menjadi jodohku, dan Allahuakbar! Allah mengabulkan doaku”.
“ Allahuakbar! Saat itu aku menolak amplop pemberian ayahmu, dan ternyata Allah menyiapkan yang lebih berharga dari itu”.
“ Ya. Aku dan segala yang kumiliki sekarang adalah dalam kuasamu, suamiku!”.
“ Aku merasa musim ini benar-benar barokah”. Zahra mendekat dan meletakkan kepalanya pada dada Ahsan. Sesaat suasana haru nan indah memenuhi kamar pengantin. Kedua makhluk Allah itu larut dalam rasa syukur yang dalam dan panjang.
*****