KWAGEAN

TAJHIZUL/PERAWATAN JENAZAH

MAKALAH ‘UBUDIYAH

MAJELIS MUSYAWAROH FATHUL FALAH

PONDOK PUTRA FATHUL ‘ULUM

Oleh: Kyai Imam Muharror

PERAWATAN JENAZAH

  1. Hal-Hal Yang Sunnah Dilakukan Terhadap Seseorang Yang Sudah Dinyatakan Meninggal Dunia
  1. Memejamkan kedua matanya sambil membaca :

” بسم الله وعلى مِلَّةِ رسول الله صلى الله عليه وسلم ”

  1. Mengikat dagunya dengan kain yang agak lebar keatas kepala agar mulutnya tertutup sehingga tidak dimasuki serangga dan agar tidak jelek pemandangannya.
  2. Melemaskan seluruh sendi tulang tangan dan kaki serta ruas-ruas jari dengan cara melekuk-lekukkannya lalu meluruskan agar memudahkan proses memandikan dan mengkafaninya.
  3. Melepaskan semua pakaian yang terpakai ditubuhnya, lalu menutup sekujur tubuhnya dengan kain tipis yang ujung atasnya diselipkan dibawah kepala dan ujung bawahnya diselipkan dibawah kedua kakinya agar tidak terbuka.
  4. Meletakkannya ditempat yang lebih tinggai semisal ranjang agar tubuhnya tidak segera membusuk karena pengaruh lembabnya tanah. Posisi mayit dihadapkan kearah qiblat sebagaimana dia dalam keadaan sakarotul maut (muhtadlor).
  5. Meletakkan benda seberat kira-kira 20 dirham (0,5 kg) diatas perutnya supaya perutnya tidak mengembung/membesar.

Pelaksana serangkaian diatas adalah mahrom si mayit yang paling sayang kepadanya yang sejenis dalam segi laki-laki atau perempuannya. Suami atau istri statusnya sebagaimana mahrom bahkan lebih utama untuk melaksanakan hal-hal diatas. Dan diperbolehkan laki-laki melaksanakan hal-hal tersebut diatas untuk jenazah wanita atau sebaliknya selama ada ikatan mahromiyyah. Dan hendaknya ketika melakukan hal-hal diatas selalu mendo’akan si mayit agar dikaruniai rohmah dan maghfiroh.

  1. Tajhizul Mayyit

Merawat mayit meliputi : memandikan, mengkafani, mensholati, dan mengubur hukumnya adalah fardlu kifayah.

Batas memandikan mayit setelah menghilangkan najis darinya adalah meratakan air keseluruh tubuhnya, termasuk bagian yang tampak dari kemaluan perempuan ketika duduk jongkok dan kulit yang berada dibawah qulfah anak yang belum dikhitan[1].

Sedangkan cara memandikan mayit yang lebih sempurna adalah sebagai berikut :

  1. Mayit dimandikan ditempat yang sepi beratap, tidak ada yang boleh masuk kecuali orang yang memandikan dan yang membantunya[2].
  2. Mayit dipakaikan pakaian atau ditutup dengan kain yang tipis dan diletakkan di tempat yang agak tinggi semisal diatas ranjang supaya tidak terkena percikan air.
  3. Menggunakan air asin yang dingin kecuali ada kebutuhan terhadap air hangat.

Air yang digunakan untuk memandikan mayit dimasukkan dalam tong yang diletakkan di tempat yang lebih tinggi. Bagian bawah tong diberi pipa saluran air yang ada krannya, agar mudah mengalirkan air pada badan jenazah yang dimandikan. Bila hendak menghentikan aliran air, maka cukup dengan memutar kran saja. Cara demikian itu lebih aman dan lebih praktis[3].

Sebelum mayit dimandikan, bila dalam tubuh si mayit terdapat hal-hal yang menghalangi sampainya air pada kulitnya, maka harus dibersihkan terlebih dahulu, seperti getah, dan kotoran yang berada dibawah kuku. Cara pembersihan kotoran ini bisa dilakukan dengan menggunakan sejenis lidi.

Bila dalam tubuh si mayit terdapat najis ‘ainiyah, maka harus dibersihkan terlebih dahulu, sebab bila tidak, maka najis tersebut akan berpindah ketempat lain yang suci, sehingga tempat tersebut mutanajjis. Apalagi kalau najis tersebut terkena air, maka najis tersebut akan mudah menyebar dan merata ke sekujur tubuh jenazah dan juga kain yang menutupi tubuhnya. Kalau sudah demikian, kesucian jenazah akan sulit terjaga. Oleh karenanya najis ‘ainiyah harus disucikan terlebih dahulu[4].

  1. Mayit di dudukkan agak condong kebelakang, tangan kanan orang yang memandikan diletakkan pada bahu si mayit sedangkan ibu jarinya diletakkan pada tengkuk leher si mayit agar kepala tidak miring. Punggung si mayit disandarkan pada lutut kanan yang memandikan agar tidak jatuh, selanjutnya perut mayit sedikit ditekan dengan tangan kiri dari bagian atas menuju kebawah agar kotoran-kotoran yang berada di dalam perut keluar sambil terus disirami air, sehingga setelah di mandikan tidak keluar kotoran lagi. Selanjutnya mayit dibaringkan terlentang dan kedua kemaluannya disucikan dengan tangan kiri yang dibalut kain. Kemudian membalutkan kain yang lain (setelah balut yang pertama dibuang) dalam keadaan dibasahi air pada tangan kiri untuk membersihkan gigi-gigi dan kedua lubang hidung si mayit dengan telunjuk jari tangan kiri dan mengeluarkan kotoran-kotoran hidung jika ada.
  2. Kemudian mayit di wudlukan sebagaimana wudlunya orang yang masih hidup, dengan niat sebagai berikut:

” نويت الوضوء المسنون لهذا الميت ”

Al-Syaikh Ahmad Maisur didalam kitab Tamridlnya meredaksikan niat wudlu disini sebagai berikut:

” نويت توضئ هذا الميت سنة لله تعالى ”

Kemudian kepala dan jenggot si mayit dibasuh dengan air yang bercampur daun bidara atau sejenisnya dan keduanya disisir pelan-pelan dengan sisir yang giginya renggang jika ranbutnya acak-acakan. Rambut yang rontok maka wajib dikebumikan bersama mayit dan disunahkan dimasukkan dalam kafannya.

  1. Kemudian badan mayit bagian depan sebelah kanan dibasuh dengan air yang telah dicampur daun bidara atau sabun mulai dari leher hingga ujung kaki kanan, disusul kemudian bagian depan sebelah kiri mulai leher sampai ujung kaki kiri. Lalu mayit dimiringkan ke kiri untuk membasuh bagian badan sebelah kanan yang belakang mulai tengkuk sampai telapak kaki kemudian dimiringkan ke sebelah kanan untuk membasuh bagian badan belakang sebelah kiri. Untuk kepala dan jenggot tidak perlu dibasuh kembali dan haram menelungkupkannya.
  2. Kemudian mengguyurkan air yang jernih (tidak dicampur daun bidara atau sabun) untuk membilas basuhan yang pertama secara merata mulai dari kepala sampai telapak kaki[5].
  3. Kemudian mengguyur seluruh badan mayit[6] dengan air  jernih yang dicampur dengan sedikit kapur barus (sekira tidak merubah kemuthlakan air) mulai dari kepala sampai telapak kaki pada basuhan yang ketiga ini, orang yang memandikan disunnahkan berniat memandikan mayit sebagaimana berikut :

” نويت غسل هذا الميت لله تعالى ”

Tiga kali basuhan tersebut dihitung satu kali dan disunnahkan mengulangnya sampai tiga kali.

  1. Kemudian mayit diusap menggunakan kain atau handuk agar kain kafan tidak basah sehingga tidak mempercepat pembusukan mayit.

Catatan :

    1. Apabila setelah memandikan keluar najis maka wajib menghilangkan dan membasuhnya saja (tidak wajib memandikannya lagi).
    2. Yang memandikan disunnahkan untuk tidak melihat bagian-bagian selain aurot mayit kecuali sekedar kebutuhan. Adapun aurot mayit (ما بين السرة والركبة  ) maka tidak boleh dilihat.
    3. Sejak awal proses memandikan sampai akhir, wajah mayit disunnahkan ditutup.

Sebelum jenazah dikafani, seluruh lapisan kain kafan hendaknya sudah di bentangkan dan ditata rapi disuatu tempat tertentu.

Kain kafan mayit adalah kain yang diperbolehkan dipakai sewaktu dia masih hidup, untuk itu mayit laki-laki tidak boleh dikafani dengan kain sutra.

Yang lebih sempurna dalam mengkafani mayit laki-laki adalah memakai tiga lapis kain putih yang setiap lembarnya bisa menutup badan mayit, tanpa tambahan baju gamis dan surban. Rasululloh juga dikafani tiga lapis kain kafan tanpa gamis dan surban. Untuk jenazah wanita, maka yang lebih sempurna adalah dengan menggunakan beberapa potong kain yang terdiri dari : izar, gamis, tutup kepala, dua lapis kain kafan.

Mayit laki-laki yang meninggal saat ihrom maka kepalanya harus dibuka (tidak boleh ditutup dengan kain kafan). Mayit wanita yang meninggal saat melaksanakan ihrom, maka wajahnya tidak boleh ditutup dengan kain kafan.

Sebelum meletakkan mayit pada kain kafan, letakkanlah ikat terlebih dahulu dibawah kain kafan. Dan bagi mayit perempuan letakkanlah kain ikat agak lebar pada bagian dadanya atau kain yang bisa menutup bagian payudara dan diletakkan pada kafan bagian luar supaya kedua payudaranya tidak bergerak-gerak ketika dibawa ke pemakaman dan didalam kubur kain tersebut dilepas.

Setiap lapis kain kafan, sunnah ditaburi kerikan kayu cendana atau kapur barus.

Kemudian mayit diletakkan di atas kain kafan yang telah disiapkan. Tubuhnya juga ditaburi kerikan kayu cendana atau kapur barus, kemudian kedua tangannya disedakepkan di atas dada (tangan kanan memegang tangan kiri) atau dibiarkan terbujur disamping lambungnya.

Memberi kapas yang telah ditaburi kerikan kayu cendana atau kapur barus pada kedua telinga, dahi, kedua mata, hidung, mulut, kedua telapak tangan dan kaki, qubul, dubur, kedua lutut, dan semua luka-luka mayit jika ada.

Kain kafan sebelah kiri mayit dilipat menuju sebelah kanan dan yang sebelah kanan di lipat menuju sebelah kiri, begitu pula selanjutnya. Lebihan kain pada bagian kepala dianjurkan lebih banyak daripada bagian kaki. Setelah itu kedua ujung dan tengahnya di ikat agar ketika diangkat tidak lepas. Selanjutnya mayit diletakkan di keranda atau disuatu tempat untuk kemudian disholatkan.

Pelaksanaan sholat jenazah dilakukan jika jenazah sudah dimandikan (disucikan) karena mengikuti sunnah Rosul saw. Dan disunnahkan melaksanakan sholat jenazah setelah jenazah dikafani. Sedangkan mensholati jenazah yang sudah disucikan namun belum dikafani hukumnya sah, akan tetapi makruh, karena ada unsur penghinaan terhadap mayit.

  1. Orang-Orang Yang Mensholati Jenazah

Menurut qoul mu’tamad, orang yang sah mensholati jenazah adalah orang yang mendapat khitob fardlu sejak seseorang meninggal dunia hingga ia akan dikubur, kira-kira dalam jangka waktu yang cukup untuk mensholati jenazah. Hal ini dinamakan dengan waqtul wujub. Selain itu, orang tersebut tidak mengalami satupun dari mawani’us sholah (hal-hal yang menghalangi wajibnya sholat)[7].

  1. Hukum Sholat Jenazah

Hukumnya adalah fadlu kifayah bagi orang laki-laki bagi orang yang berada di daerah (baladnya) orang yang meninggal, yang tidak mengalami mawani’us sholah dan juga tidak masyaqqot (kesulitan). Ataupun orang yang di luar balad orang yang meninggal, namun jika dia datang menuju tempat tersebut, maka dia tidak mengalami masyaqqot untuk datang ke tempat jenazah baik satu balad dengan jenazah atau tidak, dinamakan ghoib dari tempat jenazah. Dengan demikian status ghoib atau hadir, pada dasarnya merupakan sifat dari orang yang mensholati. Tetapi seandainya menjadi sifatnya jenazah, maka tidak berpengaruh apa-apa, karena kaifiyyah (tata cara) mensholati jenazah ghoib atau hadir itu sama saja[8]. Orang laki-laki dan perempuan semuanya dianjurkan oleh syara’ untuk berlomba taqorrub kepada Allah swt. dengan menjalankan ibadah.

Hukum fardlu kifayah pada pelaksanaan sholat jenazah di atas bisa gugur bila terdapat salah satu dari empat hal, yaitu :

  1. Ada orang laki-laki, satu atau lebih yang telah menjalankan sholat jenazah.
  2. Ada orang laki-laki dan perempuan yang telah menjalankan sholat jenazah dengan berjama’ah.
  3. Ada orang perempuan yang telah menjalankan sholat jenazah ketika tidak ada orang laki-laki.
  4. Ada orang perempuan yang telah menjalankan sholat jenazah ketika ada orang laki-laki, tetapi laki-laki tersebut tidak mau mengerjakannya.

Jadi, sholat jenazah yang dilakukan oleh orang perempuan sebelum gugurnya fardlu kifayah adalah tidak sah, sebab belum masuk waktunya. Padahal mengetahui masuknya waktu sholat merupakan salah satu syarat sahnya sholat.

Sholat jenazah sunnah dilakukan di dalam masjid, karena Rasululloh saw. mensholati sahabat Suhaili bin Baidho’ dan saudaranya di dalam masjid. Selain itu, sholat jenazah juga sunnah dilakukan secara berjama’ah sebanyak tiga baris atau lebih.

Asy-Syikh Sulaiman Al-Jamal menyatakan “ Jika ada enam orang akan hadir dan akan melaksanakan sholat jenazah secara berjama’ah, maka cara mengatur barisannya adalah sebagai berikut :[9]

  1. Satu orang berdiri di sebelah kanan Imam, sedikit ke belakang, kemudian yang empat orang dijadikan dua baris, setiap satu baris berisi dua orang, sehingga seluruhnya terdapat tiga baris.
  2. Jika yang hadir tiga orang, maka satu orang berdiri sendirian sebagai Imam, satu orang berdiri di belakang Imam, dan satu orang lagi berdiri dibelakang orang itu.
  3. Jika yang hadir sudah dapat mencapai tiga baris salain Imam misalnya 7 orang dan semua satu jenis, maka supaya berbaris menjadi tiga baris di belakang Imam.
  4. Dan bila jama’ah sholat jenazah sudah berjumlah tiga shof, lalu seseorang datang, maka ia berdiri dalam barisan pertama, tidak berdiri sendiri di belakang shof ketiga, karena hal ini akan menghilangkan nama Dia juga tidak berdiri pada shof yang ketiga atau yang kedua, karena shof pertama adalah paling utama, kemudian kedua dan seterusnya.
  5. Apabila sudah terdapat tiga shof, lalu menyusul datang beberapa orang yang berlainan jenisnya, maka kelompok laki-laki dibuat tiga baris, secara terpisah dari kelompok perempuan. Dan kelompok perempuan supaya membuat barisan sendiri yang terdiri dari tiga baris di belakang kelompok laki-laki.

Untuk sholat jenazah tidak perlu dikumandangkan panggilan الصلاة جامعة kecuali bila diperlukan karena sholat Jenazah bukanlah termasuk sholat sunnah walaupun dianjurkan berjama’ah. Lafadz yang digunakan untuk memberitahukan akan dilaksanakannya sholat Jenazah adalah:[10]

” الصلاة على من حضر من أموات المسلمين ”

Posisi Imam/orang yang mensholati sendirian adalah berdiri lurus dengan pundak atau bahu mayit laki-laki, atau lurus dengan pantat jenazah perempuan. Sedangkan posisi mayit laki-laki atau perempuan mayoritas badannya berada disebelah kanan Imam atau yang mensholati sendirian. Untuk itu mayit laki-laki disunnahkan untuk dibujurkan kearah selatan (di negara kita), dan mayit perempuan dibujurkan ke utara.

Mayit harus berada didepan orang yang mensholati kecuali mayit ghoib. Antara mayit hadir dan orang yang mensholati harus tidak ada penghalang. Keranda tidak dianggap penghalang selama tidak dipaku, kecuali apabila mayit disholati didalam masjid, maka secara muthlaq keranda tidak dianggap sebagai penghalang.

Dalam sholat jenazah yang hadir, posisi jenazah terhadap Musholi adalah sama dengan posisi Imam ( نزل منزلة الإمام ) sehingga jenazah harus ada di depan Musholli (arah qiblat), sedangkan Musholli harus berada di belakangnya (jenazah berada di sebelah barat dan Musholli di sebelah timur. Hal ini berlaku untuk daerah yang berada di sebelah timur kota Makkah). Selain itu, Musholli harus bisa wushul (sampai pada jenazah) tanpa ada rintangan (haail).

Yang perlu diperhatikan dalam hal “ wushul “ adalah kaki Musholli terhadap jenazah. Oleh karena itu, seandainya jenazah berada di tempat yang tinggi, yang apabila Musholli berdiri di sisinya niscaya tidak sejajar, walaupun tangannya bisa sampai, maka sholatnya tidak sah. Dan jika di antara Musholli dan mayat, terdapat tangga, sehingga mudah bagi Musholli untuk menuju ke arah mayat, dan tangga tersebut berada di depan Musholli, maka sah sholatnya.[11]

Adapun penjelasan ulama’ tentang sahnya mensholatkan jenazah yang di angkat diatas pundak (misalnya) itu konteknya adalah tidak dalam permulaan sholat namun dipertengahan pelaksanaan sholat atau jenazah dalam keadaan سائرة (di angkat sambil berjalan).

Rukun-rukun sholat jenazah dan tatacaranya sudah ma’lum sebagaimana dalam literatur kitab-kitab klasik. Namun perlu dimengerti bahwa salam sholat jenazah menurut pendapat yang mu’tamad adalah tanpa menambahkan lafadz وبركاته.

Seusai di sholati hendaknya jenazah segera dibawa kepemakaman dengan posisi kepala jenazah didepan, pemikul jenazah adalah laki-laki bagi perempuan hukumnya makruh ikut memikul. Pengantar jenazah lebih utama berjalan didepan dengan jarak sekira jika menoleh kebelakang bisa melihat jenazah. Dimakruhkan membawa api ketika mengantarkan jenazah termasuk rokok.

Setelah jenazah sampai ditempat pemakaman maka :

  1. منها خلقناكم             pada lemparan pertama
  2. وفيها نعيدكم             pada lemparan kedua
  3. ومنها نخرجكم تارة أخرى pada lemparan ketiga

Tanah tersebut diambil dari arah kepala mayat dengan kedua tangan. Sepertil inilah kaifiyyah (tatacara) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. namun perlu diingat bahwa hal tersebut dilakukan setelah liang kubur ditutup dengan kayu atau sejenisnya[13].

Dalam menutup kuburan disunnahkan untuk meratakan tanah yang digunakan untuk menutup liang kubur (tidak berbentuk gundukan yang lazimnya disebut : geger welut/yang tengah tinggi). Pada zaman jahiliyyah, timbunan kuburan yang berbentuk gundukan digunakan sebagai tanda tempat mengubur orang meninggal. Setelah zaman islam, ketika ada jenazah akan dikuburkan, Nabi Muhammad saw. bersabda :

” سووا قبور موتاكم ”

“Ratakanlah gundukan makam orang-orang meninggal dari kamu sekalian.”

Pengertian rata disini bukan berarti rata dengan permukaan tanah di sekitarnya, seperti yang dipahami oleh sebagian orang. Tapi ada sisa tanah kira-kira setinggi satu jengkal atau sekitar 20 cm yang harus diratakan sehingga tidak berbentuk gundukan.

Permasalahan Waqi’iyyah

Telah biasa terjadi didaerah kita, adanya adzan yang dikumandangkan oleh seseorang yang berada di dalam liang kubur ketika jenazah sudah diletakkan dan akan ditimbun. Padahal, menurut fatwa Asy-Syaikh Ibni Hajar kebiasaan tersebut merupakan bid’ah yang harus diingkari[14].

  1. Pemotongan Kain Kafan
  2. Untuk Mayyit Laki-laki.

Yang kita butuhkan untuk mengkafani mayyit laki-laki:

  1. 3 lapis kain kafan dengan ukuran panjang dan lebar sama
  2. 3 tali dengan 2 ukuran sama dan 1 ukuran lebih lebar

Contoh: Untuk mayyit dengan tinggi 166 cm, kita membutuhkan kain ukuran panjang 216 cm, dengan rincian sebagai berikut:

166 cm      : Tinggi mayyit

30 cm        : Pocong atas

20 cm        : Pocong bawah

Lebar         : Lebih dari 100 cm (1 m).

Karena lebar kain pabrik hanya 1 m (misalnya) maka perlu ditempoh beberapa langkah sebagai berikut:

Dengan demikian, panjang kain yang kita butuhkan secara total adalah: 216 cm X 4 = 864 cm.

108 cm

     28 cm    +

Total          1000 cm      = 10 m

  1. Untuk mayyit perempuan

Yang kita butuhkan untuk mengkafani mayyit perempuan adalah sebagai berikut:

  1. 2 lapis kain kafan dengan ukuran panjang dan lebar sama.
  2. Khimaar (tutup kepala atau kerudung)
  3. Izaar (Jarit)
  4. Qomis (baju gamis)
  5. 3 utas tali dengan ukuran sama dan satu lebih lebar.

Contoh: Untuk mayyit perempuan dengan tinggi 160 cm kita membutuhkan kain dengan ukuran panjang 210 cm dengan perincian sebagai berikut:

160 cm      : Tinggi mayyit

30 cm      : Pocong atas

20 cm      : Pocong bawah

Lebar lebih dari 100 cm (1 m)

Cara pembuatannya:

3 buah       : lebar @5 cm

1 buah       : lebar 20 cm

Jadi total kain yang kita butuhkan adalah 1100 cm (11m) dengan perincian sebagai berikut:

210 cm X 3 = 630 cm untuk 2 lapis kafan

100 cm untuk krudung

220 cm untuk gamis

115 cm untuk izaar

35 cm untuk tali

[1] Anak yang belum dikhitan apabila bagian yang berada di bawah qulf dalam keadaan suci namun tidak bisa dibuka/tidak bisa ditembus oleh air mandi, menurut Ibnu Hajar sebagai pengganti membasuh adalah ditayamumi.

[2] Mayit laki-laki dimandikan oleh orang laki-laki sedangkan mayit perempuan dimandikan oleh orang perempuan. Keterangan dibeberapa kitab yang menjelaskan bahwa jika jenazah perempuan, maka bagi orang laki-laki yang berstatus kerabat (mahromnya) boleh masuk, demikian juga jenazah laki-laki, maka orang perempuan yang menjadi kerabat (mahromnya) boleh masuk, itu maksudnya hukum diperbolehkannya melihat jenazah tersebut, karena adanya hubungan kekerabatan diantara mereka dan jenazah. Dan perlu diketahui bahwa hukum ini belum secara utuh atau menyeluruh.

Sedangkan hukum yang seutuhnya adalah wanita yang menjadi mahrom jenazah laki-laki tidak boleh ke tempat memandikan. Dikarenakan jika jenazah laki-laki, maka orang yang boleh memandikan adalah orang laki-laki, apabila perempuan dari mahrom jenazah tetap diperbolehkan masuk, maka akan terjadi percampuran (ikhtilath) antara perempuan ajnabiyah dan laki-laki ajnabi.

Jadi, ringkas dan jelas hukum seutuhnya adalah jika jenazah laki-laki, maka yang boleh masuk untuk memandikan adalah laki-laki, sedangkan perempuan tidak boleh masuk, meskipun berstatus mahrom jenazah. Demikian juga sebaliknya, jika jenazah perempuan, maka orang laki-laki tidak boleh masuk walaupun berstatus mahrom.

(At-Tamriidl, Hal : 18 karya Asy-Syaikh Maisur Sindi)

[3] At-Tamriidl, Hal : 16

[4] At-Tamriidl, Hal : 18

[5] Al-Jamal, Juz : II, Hal : 146

[6] Termasuk bagian yang tampak dari kemaluan perempuan ketika duduk jongkok.

[7] Keterangan di atas berdasarkan qoul mu’tamad.

[8] At-Tamriidl, Hal : 33

[9] Al-Jamal, Juz : II, Hal : 185

[10] Al-Bajuri, Juz : I, Hal : 168

[11] At-Tamriidl, Hal : 40

[12] Raudlatuth Thaalibin, Juz : I, Hal : 652

[13] Baca I’anatuth Tholibin dan Haamisynya, Juz : II, Hal : 135

[14] Permasalahan ini telah dikupas tuntas oleh MMPP MA dalam buku “hukum adzan dan perkuburan”.