Selasa, 3 Muharram 1438 H
PP. Fathul ‘Ulum Kwagean Kediri
KAJIAN HALAQAH ASWAJA
Hulul Dan Al Ittihad Adalah Aqidah Yang Bertentangan Dengan Islam
Oleh: Ustadz ‘Asy’ari Masduki, SHI, MA
Sesungguhnya tashawwuf adalah sebuah martabat yang tinggi. Tashawwuf adalah memperbaiki hati dengan berpedoman pada adab syar’iyyah; baik dzahir maupun batin. Tashawwuf dibangun berdasarkan al Qur’an dan hadits yakni dengan mengikuti syari’at Allah ta’ala dan Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam dalam akhlak, memakan makanan yang halal dan mengikhlaskan niat dalam seluruh perbuatan serta menyerahkan segala perkara kepada Allah tanpa meremehkan perkara yang wajib dan tanpa mendekati perkara yang haram. Kesimpulannya, tashawwuf adalah mensifati diri dengan sifat-sifat yang terpuji dan meninggalkan sifat-sifat yang tercela serta merupakan jalan yang tegak di atas ilmu dan amal.
Al Kalabadzi dalam kitabnya at Ta’arruf li madzhabi ahli at Tashawwuf mengatakan bahwa Abu Ali azZaubariy ketika ditanya tentang tashawwuf mengatakan:
من لبس الصوف على الصفا وأطعم الهوى ذوق الجفا وكانت الدنيا منه على القفا وسلك منهج المصطفى
“Orang yang mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu atas dasar kebersihan hati, dan memberi makan hawa nafsual jafa (susah, berat, tidak menyenangkan), dunia baginya berada di atas tengkuknya dan menempuh manhaj (ajaran) al musthafa (nabi Muhammad)”
Sahl at Tustari ditanya, siapakah Sufi itu?,beliau menjawab:
من صفا من القدر وامتلأ من الفكر وانقطع إلى الله من البشر واستوى عنده الذهب والمدر
“Orang yang bersih hatinya dari (keinginan terhadap) pangkat/derajat dan penuh dengan pemikiran dan terputus dari manusia untuk beribadah kepada Allah dan baginya emas dan lumpur adalah sama”.
Tashawwuf ini telah masyhur sejak zaman salaf. Ahmad bin Hanbal memuji Abu Hamzah al Baghdadi as Shufiy beliau mengatakan: “Wahai Shufiy apa yang kamu katakan tentang masalah ini. Perkataan ini disebut oleh adz Dzahabi dalam kitab Sair A’lam an Nubala`.
Tashawwuf adalah buah dari mengamalkan syari’ah, ia tidak akan ada jika disertai dengan pertentangan pada akidah yang benar yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam yang bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim:
كُلُّ عَمَلٍ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهَوَ رَدَّ
“Setiap perbuatan yang tidak sesuai dengan agama kita maka tertolak”
Hadist ini menjelaskan bahwa setiap sesuatu yang tidak sesuai dengan dengan syari’at kita maka ia ditolak oleh Allah ta’ala. Pemimpin para Shufi al Junaid al Baghdadi mengatakan:
الْطَرِيْقُ إِلَى اللهِ مَسْدُوْدَةٌ إِلّاَ عَلَى الْمُقْتَفِيْنَ آثَارَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Jalan menuju Allah itu tertutup kecuali bagi orang-orang yang mengikuti atsar Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam”
Telah terjadi Syath (pujian yang melampaui batas) dan ghuluw (melampaui batas dalam pengamalan agama dari ketentuan yang diperintahkan) dari sebagian orang yang menisbatkan diri mereka pada thariqah shufi. Sehingga muncul dari mereka keyakinan-keyakinan yang bertentangan dengan Islam dan ucapan-ucapan yang buruk. Mereka mengira bahwa mereka berbicara tentang asrar (rahasia-rahasia) yang tidak diketahui oleh para penentangnya dan memiliki derajat dan kedudukan yang tinggi. Contohnya adalah kejadian yang terjadi pada al Husain bin Mansur al Hallaj, ia mengatakan akidah hulul. Al Qadli Abu Umar al Malikiy di Baghdad pada masa Khalifah al Muqtadir Billah telah mengeluarkan hukum kemurtadan al Hallaj dan kewajiban untuk membunuhnya.
Sebagian ahli tashawwuf mengikuti al Hallaj dalam penyimpangannya dari jalannya ahli tashawwuf dan mereka terkadang berbicara tentang akidah hulul dan terkadang akidah al Ittihad yang keduanya termasuk kekufuran yang paling buruk.
Akidah hulul adalah keyakinan bahwa Allah bertempat pada lainnya, sedangkan akidah al Ittihad adalah keyakinan ahli wahdah bahwa Allah adalah keseluruhan alam. Masing-masing dari kedua akidah tersebut mengeluarkan seseorang dari Islam.
Dan yang aneh lagi, bagaimana orang-orang semacam itu menisbatkan dirinya pada tashawwuf Islam. Mereka ini bertentangan dengan tashawwuf, karena tashawwuf Islam adalah adalah jalan yang ditempuh oleh al Junaid dan semacamnya dan ini sesuai dengan dengan nash-nash al Qur’an. Seperti firman Allah ta’ala:
فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ج جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا صل يَذْرَؤُكُمْ فِيْهِ ج لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْئٌ صل وَهَوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
- (dia) Pencipta langit dan bumi. dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat.
Dan firman Allah ta’ala:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)
Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa.2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (Surat al-Ikhlas)
Sesungguhnya ini sharih (jelas) bahwa Allah itu bukan asal bagi selain-Nya dan bukan cabang dari selain-Nya.Bahkan dalam firman Allah “lam yalid walam yulad” terdapat penafian terhadap maddiyah (kematerialan) dan inhilal (bertempat). Firman Allah “lam yalid” memberikan pemahaman bahwa tidak ada sesuatu yang terpisah dari Allah, yakni tidak boleh (mustahil) ada sesuatu yang terpisah dari Allah sebagaimana anak terpisah dari ibunya. Firman Allah “lam yalid” memberi pemahaman bahwa Allah tidak bertempat pada sesuatu, mereka yang mengatakan akidah al Wahdah dan hulul menabrak nash ini dan lainnya, sehingga kekufuran mereka adalah seburuk-buruk kekufuran.
Mereka telah menentang pemimpin Shufi al Imam al Junaid yang mengatakan:
إِفْرَادُ الْقَدِيْمِ مِنَ الْمُحْدَثِ
“Tauhid adalah mengesakan al Qadim (Allah) dari al Muhdats (makhluk)”
Orang yang meyakini hulul meyakini bahwa Allah setelah menciptakan alam, maka Allah bertempat pada alam. Sedangkan orang yang meyakini al Wahdah al Mutlaqah seperti kelompok Syadziliyah al Yasyruthiyyah meyakini bahwa Allah adalah keseluruhan alam dan bagian-bagian dari alam adalah bagian-bagian dari Allah. Sebagian mereka mengatakan: Aku adalah bagian dari Allah. Sebagian orang Tijaniyah mengatakan:
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَيْنِ ذَاتِكَ الْغَيْبِيَّةِ
“Ya Allah berilah tambahan keagungan pada sayyidina Muhammad dzat engkau sendiri yang ghaib”
Tidak ada takwil dari perkataan mereka dan tidak boleh ragu bahwa mereka keluar dari Islam.
Dalil yang menunjukkan kekeliruan akidah al Wahdah adalah firman Allah dalam mencela orang-orang kafir:
وَجَعَلُوْا لَهُ مِنْ عِبَادِهِ جُزْءًاج إِنَّ الْإِنْسَانَ لَكَفُوْرٌ مُبِيْنٌ
- Dan mereka menjadikan sebagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bahagian daripada-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah).
Ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang menisbatkan “bagian” kepada Allah, maka dia kafir kepada Allah, karena sesuatu yang memiliki bagian-bagian, maka ia tersusun dan susunan itu mengharuskan huduts (baharu) dan butuh, maha suci Allah dari semua itu.
Demikian juga di antara yang menunjukkan kekeliruan perkataan penganut al wahdah adalah firman Allah:
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
- Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Dalam ayat ini Allah menetapkan adanya Allah dan adanya alam. Barang siapa yang menjadikan Allah dan alam sebagai sesuatu yang satu maka telah menentang ayat ini. Penganut al Wahdah mengatakan bahwa al Haq (Allah) itu adalah wujud yang mutlak dan alam adalah bentuk dan identitasnya. Tidak ada yang berada dalam keberadaan selain Allah ta’ala. Sesungguhnya bentuk-bentuk yang terlihat dan yang banyak disaksikan adalah ungkapan-ungkapan dan khayalan-khayalan yang tidak memiliki hakekat yang berbeda terhadap hakekat al Haq (Allah). Perkataan mereka ini keluar dari ruang lingkup akal, karena kepastian akal menjadi saksi berbilang-bilangnya sesuatu yang ada, berbilang-bilang secara hakiki (nyata) dan bahwa ia adalah dzat-dzat dan hakekat-hakekat yang berbeda-beda secara hakekat, bukan sekedar anggapan belaka, sebagaimana disebut oleh as Sayyid as Syarif dalam Hasyiyah al Tajrid.
Tidak samar bahwa dua akidah ini bertentangan dengan firman Allah ta’ala:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ صلى وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat”
Karena makna ayat tersebut adalah Allah tidak menyerupai sesuatupun dari makhluknya baik dari satu segi maupun semua segi. Orang yang mengatakan bahwa Allah bertempat pada makhluknya, maka mereka telah menjadikan serupa-serupa pada Allah dan telah menyerupakan Allah dengan makhluknya dari ucapan mereka. Dan yang mengherankan bagaimana orang-orang bodoh itu mengatakan “Tidak ada seuatu yang menyerupai Allah, Dia adalah ain (hakekat) dari segala sesuatu”. Kontradiksi antara dua ungkapan tersebut sangat jelas.
Al Imam al Qadli Abu al Hasan al Mawardi pemilik kitab al Hawi al Kabir dalam sebuah perdebatan di mana beliau mendebat para penganut paham hulul mengatakan: “tanzih disertai dengan perkataan ittihad dan hulul itu tidak bermanfaat. Karena klaim tanzih disertai dengan itu adalah ilhad (kekufuran). Bagaimana bisa dikatakan bahwa tauhid yang disertai dengan keyakinan bahwa Allah subhanahu wata’ala bertempat pada manusia adalah sah”. Disebutkan oleh as Suyuthi dalam kitabnya al Hawi li al Fatawi:
Kemudian dua akidah yang rusak ini; akidah hulul dan akidah ittihad juga bertentangan dengan ijma’ umat Islam, bahkan di antara yang disepakati oleh umat Islam, bahwa keduanya menyebabkan keluarnya orang yang mengucapkannya dari Islam.
Al Imam Abdul Qahir Abu Mansur at Taimiy al Baghdadi dalam kitab al Farqu bain al Firaq mengatakan: “Mereka bersepakat bahwa alam, yakni segala sesuatu adalah selain Allah ta’ala dan bahwa segala sesuatu yang selain Allah dan selain sifat-Nya adalah makhluk yang diciptakan, dan bahwa penciptanya bukanlah makhluk dan tidak diciptakan, dia tidak dari jenis alam dan tidak dari jenis sesuatu dari bagian-bagian alam”.
Al Qadli ‘Iyadl telah mengutip dalam kitabnya as Syifa’ mengenai ijma’ umat Islam atas kekufuran penganut hulul dan orang yang mengklaim bertempatnya al Bari’ (Allah) ta’ala pada salah seorang manusia seperti perkataan sebagain shufi.
Demikian juga as Suyuthi yang mengumpulkan antara ilmu syari’at dan tashawwuf mengutip ijma’ atas kekufuran orang-orang yang mengatakan hulul, beliau mengatakan dalam kitabnya al Hawi li al Fatawi:
بل يقطع بتكفير القائلين بالحلول إجماعا
“Bahkan dipastikan pengkafiran orang-orang yang mengatakan hulul secara ijma’”
Asy Syaikh Abu al Huda ash Shayadi ar Rifa’iy dalam kitabnya al Kaukab ad Durriy mengatakan sebagai penjelasan rusaknya dua akidah ini:
من قال أنا الله أو ما في الوجود إلا الله أو لا موجود إلا الله أو الكل هو الله أو نحو ذلك فإن كان عاقلا صاحبا في قيد التكليف فلا خلاف بين المسلمين جميعا في كفره لمخالفته نص القرآن إذ يلزم حينئذ نفي الخالق والمخلوق والرسول والمرسل إليه والجنة والنار للزوم الاتحاد من هذا القول
“Barang siapa yang mengatakan Aku adalah Allah atau tidak ada yang ada dalam keberadaan kecuali Allah atau tidak ada yang ada selain Allah atau seluruhnya adalah Allah atau semacamnya, apabila dia adalah orang yang berakal dan sadar dalam ikatan taklif, maka tidak ada khilaf antara umat Islam seluruhnya tentang kekufurannya, karena bertentangannya dengan nash al Qur’an, karena ketika itu mengharuskan penafian terhadap al Khaliq (pencipta) dan makhluk, Rasul, yang diutus kepadanya, surga dan neraka kerena keharusannya ittihad dari ucapan ini”.
Dalam pernyataan ini juga terdapat penjelasan ijma’ atas penyesatan dan keluarnya orang yang mengatakan akidah al Wahdah dari Islam.
Asy Syaikh Muhyidin ibn Arabiy radliyallahu ‘anhu dalam kitabnya al Futuhat telah mencela akidah wahdatil wujud dan akidah hulul dan mengucapkan perkataan yang keras dalam mencela dua akidah ini:
مَنْ قَالَ بِالْحُلُوْلِ فَدِيْنُهُ مَعْلُوْلٌ وَمَا قَالَ بِالْاِتِّحَادِ إِلَّا أَهْلُ اْلاِلْحَادِ
“Barang siapa yang mengatakan hulul maka agamanya cacat, dan tidaklah berkata dengan ittihad kecuali ahli ilhad”
Demikian juga asy Syaikh Izzuddin ibn Abdissalam telah menetapkan pengkafiran terhadap orang yang mengatakan akidah hulul dalam ungkapan beliau dalam qawaid al kubra:
ومن زعم أن الإله يحل في شيء من أجساد الناس أو غيرهم فهو كافر
“Barang siapa yang menganggap bahwa Tuhan itu bertempat dalam sesuatu dari jasad mansuia atau lainnya maka dia kafir”.
Al Imam Ja’far as Shadiq semoga Allah meridloinya mengatakan:
من زعم أن الله في شيء أو من شيء أو على شيء فقد أشرك إذ لو كان على شيء لكان محمزلا ولو كان في شيء لكان محصورا ولو كان من شيء لكان محدثا أي مخلوقا
“Barang siapa yang beranggapan bahwa Allah ada dalam sesuatu atau dari sesuatu atau di atas sesuatu maka dia telah musyrik, karena jika Dia di atas sesuatu maka dia dibawa (mahmul) dan jika Dia di dalam sesuatu maka dia mahshur (terbatas) dan apabila Dia dari sesuatu maka Dia makhluk“.
Disebutkan oleh al Qusyairiy dalam risalahnya.
As Suyuthi dalam risalhnya “Tanzihu al I’tiqad an al hulul wa al ittihad” mengatakan:
وما زالت العلماء ومحققو الصوفية يبينون بطلان القول بالحلول والاتحاد وينبهون على فساده ويحذرون من ضلاله
“Para ulama dan para sufi yang teliti senantiasa menjelaskan kekeliruan ucapan hulul dan ittihad dan mengingatkan kerusakannya dan mengingatkan dari kesesatannya”.
Kemudian as Suyuthi menyebutkan perkataan-perkataan para imam dalam masalah itu yang kami sebutkan sebagiannya.
Al Imam Fakhruddin ar Razi dalam kitab al Mahshal fi Ushuliddin mengatakan:
مسئلة البارئ تعالى لا يتحد بغيره لأن حال الاتحاد –يعني على زعمهم- إن بقيا موجودين فهما اثنان لا ٗواحدا
“Masalah: al Bari` ta’ala tidak bersatu dengan selainnya karena dalam kondisi bersatu –yakni menurut mereka- jika masih ada keduanya maka dia dua bukan satu”.
Pengarang kitab Nahju ar Rasyad fi ar Raddi ala ahli al Wahdah wa al Hulul wa al ittihad mengatakan: “as Syaikh Kamaluddin al Maraghi telah memberitahuku bahwa beliau berkata: Aku telah berkumpul dengan asy Syaikh Abu al Abbas al Marisiy murid asy Syaikh al Kabir Abu al Hasan asy Syadziliy, aku rundingkan kepada beliau tentang mereka yang berpaham ittihad, aku mendapati beliau sangat ingkar terhadap mereka dan melarang mengikuti jalan mereka dan berkata apakah ciptaan itu pencipta itu sendiri?!”
Kemudian pengarang kitab nahju ar Rasyad mengatakan: “Hamba-hamba Allah yang shalih dari ahli ilmu dan iman senantiasa mengingkari keadaan para penganut paham ittihad. Asy Syaikh Sa’duddin at Tafzani dalam Syarh al Maqashid dan di antara mereka adalah sebagian sufi yang mengatakan bahwa as Salik jika banyak melakukan ibadah dan menyelam dalam samudra wushul, maka terkadang Allah bertempat pada dirinya, maha suci Allah dari apa yang orang-orang kafir katakan seperti api dalam bara, sekira tidak bisa dibedakan atau bersatu dengannya sekira tidak ada dua dan tidak ada perubahan dan sah –menurut mereka- dia mengatakan Dia adalah saya dan saya adalah Dia. At Taftazani mengatakan: “kerusakan dua pendapat itu tidak butuh penjelasan”.
Al Imam Abu Bakr Muhammad ibn al Hasan yang dikenal dengan ibn al Furak dalam kitabnya Musykil al Hadits mengatakan:
لا يجوز على الله تعالى الحلول في الأماكن لاستحالة كونه محدودا ومتناهيا وذلك لاستحالة كونه محدثا
“Tidak boleh (mustahil) bagi Allah bertempat pada tempat karena kemustahilan adanya Allah memiliki bentuk dan akhiran dan itu karena kemustahilan adanya Allah muhdats (makhluk).”
Asy Syaikh Abu al Huda ash Shayadi ar Rifa’iy dalam kitabnya Marahil as Salikin mengatakan: “Imam thariqah, pemimpin kita, al Ghauts al Akbar ar Rifa’iy radliyallahu ‘anhu berkata:
“Katakanlah kepada orang yang mengklaim al Wahdah al Muthlaqah; kamu terkelilingi dari selainmu dengan arahmu dan tempatmu dan Dia disucikan dari arah dan tempat, kamu diliputi dengan pakaianmu dan Dia (ilmunya) meliputi segala sesuatu, kamu dipagari dengan lemah dalam segala sesuatu dan Dia Maha Kuasa terhadap segala sesuatu, maka dustakanlah angan-anganmu sebagaimana keberadaanmu mendustakanmu agar kamu masuk dalam bilangan orang-orang mukmin yang shadiqin. Setiap sesuatu yang terkenai oleh kebaharuan maka dia baharu, maka bertaqwalah kepada Allah dan sucikanlah Tuhanmu karena sesungguhnya Tauhid adalah mengesakan al qidam (tidak berpermulan) dari al hadats (yang berpermulaan)”.
Dalam kitab ini ia juga berkata sebagai peringatan kepada penganut paham hulul dan ittihad, bahwa igauan mereka ini seluruhnya adalah ilhad (kekufuran) dan kezindikan dan membatalkan seluruh syari’at dan merusak dalam agama Islam, kemudian beliau berkata: “Karena ia telah maklum (diketahui) dengan pasti (tanpa perlu penjelasan) bahwa tetapnya dzat para Nabi dan syari’at mereka dan tetapnya surga dan neraka, pahala dan siksa di akhirat itu terbangun di atas tetapnya hakekat-hakekat di luar, jika ternafikan tetapnya hakekat-hakekat tersebut, maka ternafikan tetapnya dzat-dzat para nabi ‘alaihissalam dan selain mereka dari perkara-perkara yang pokok yang telah disebutkan. Maka tidak berkonsekwensi pada penetapan Rasul dan yang diutus kepadanya, dan itu berkonsekwensi batalnya seluruh permasalahan agama dan beban-beban syari’at. Sedangkan perkataan pengakuan agama-agama dan klaim iman dengan Rasul itu adalah sebagai kedok saja. Padahal dia menafikan hakekat-hakekat dan menafikan adanya sesuatu yang mengharuskan pembatalan terhadap syari’at dan agama-agama. Lihatlah dan obyektifah jika kamu orang yang obyektif.
Maka hendaknya diwaspadai dua akidah hulul dan ittihad hendaknya diwaspadai, karena orang yang meyakini bahwa Allah masuk dalam setiap sesuatu atau bersatu dengan setiap sesuatu, ia adalah orang yang paling jauh dari mengenal Allah.
Kwagean, 3 Muharram 1438 H