KWAGEAN

NAHWU, MATEMATIKA & PERSPEKTIF HIDUP

PicsArt_1446755491753[1]
kitab nahwu
Bila manusia tidak pernah memiliki filter untuk membagi apa yang telah ditangkap inderanya, mungkin nanti itulah yang disebut sosial benar-benar saling mengerti, karena dunia telah sepakat apapun dipandang sama. tak ada perselisihan lagi antara telur atau ayam yang lebih dahulu. kekacauan selalu bermula dari cara melihat yang berbeda.

Memang benar seperti yang terkandung dalam kitab “Sullam At-Taufiq”  bahwa setiap indera manusia memiliki batasan-batasan dalam fungsinya, salah satunya pengucapan kata-kata bahwa perkataan kotor/kasar adalah perbuatan maksiat mulut dan hukumnya berdosa.

Banyak terjadi konflik hanya karena indera manusia beda perspektif, seperti contoh “seekor macan sedang menggigit rusa”, jika kata menggigit diganti dengan menerkam, memangsa, membunuh, menghabisi dsb. Maka akan terlihat lebih sadis, berbeda lagi bila disusun dengan kalimat “seekor macan sedang mencari penghidupan untuk dirinya” tentu terdengarnya lebih dingin.

Selain itu mindset atau pola fikir manusia adalah dasar perbedaan perspektif yang sangat kuat, hal itu tercipta karena pengaruh lingkungan dan kebiasaan.

Kemungkinan apabila semua perspektif manusia sama dalam satu garis tidak ada lagi perang ego atau minimal tidak “nggerundel mburi” karena sudah saling mengerti. maka rumus hidup menjadi seperti ilmu nahwu dan matematika, kalimat arab kalau ada tanwinnya sudah barang tentu adalah isim, atau tiga ditambah empat sama dengan tujuh, pasti.

Rumusnya adalah jika seseorang telah menyelesaikan soal ujian matematika atau nahwu dengan jawaban 100% benar, maka ia akan berhenti berfikir. Karena ia tidak akan berfikir lagi, sedangkan dalam kehidupan nyata tidak demikian. Walaupun mendapatkan jawaban yang tepat seseorang akan terus berfikir untuk mencari yang benar dari yang lebih tepat, begitu seterusnya.

Oleh sebab itu Tuhan merangkai hidup ini dengan unik tidak lurus kaku seperti ular menelan linggis, manusia dianugerahi hak berfikir dengan akal agar bisa memaknai sendiri keagunganNya dan menyadari bahwa titik nol dari segala perspektif adalah Allah, “inna lillahi wa inna ilaihi roji’uun”.

Wallahu a’lam.

KAIFFA